Selain itu, membantu pemerintah dalam mengetahui nilai aktual ekuitas, serta sebagai alat bantu nasabah mengetahui kondisi kesehatan keuangan perusahaan asuransi, sehingga nasabah bisa percaya dan membeli produk asuransi tersebut.
Namun demikian, jika melihat pada kasus-kasus default perusahaan asuransi yang justru terus terjadi saat telah menggunakan metode RBC, mengapa RBC tidak dapat mengantisipasi terjadinya risiko tersebut?
Jika kita telisik masih banyak kelemahan dari metode RBC, setidaknya antara lain:
1. Tidak cukup memberikan early warning signs
RBC dilaporkan secara triwulan dan merupakan past performance sehingga kurang dapat memberikan Early Warning Signs atas risiko yang akan terjadi atas kondisi tren pemburukan kesehatan keuangan perusahaan asuransi.
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 36 tentang Akuntansi Asuransi Jiwa, yang ditujukan sebagai metode Early Warning System (EWS) perusahaan asuransi jiwa nyatanya juga tidak menjamin risiko overstated atau understated baik aset maupun liabilitas karena tetap menggunakan data dari unit kerja terkait.
2. Subyektifitas angka faktor risiko
Angka faktor risiko yang ditetapkan, sebagai pengurang nilai AYD memiliki subyektifitas alasan penetapan, tiering/spread risiko antarklaster ataupun komposit risiko serta deferensiasi angka risiko per masing-masing sektor.
Angka faktor risiko memang tidak berpengaruh signifikan pada perusahaan asuransi kecil. Namun akan berpengaruh signifikan pada perusahaan yang memiliki jumlah aset besar karena akan menjadi market maker.
Prosentasi pergerakan aset sedikit saja dapat mengubah tren harga pasar suatu instrumen investasi. Juga tidak adil terhadap perusahaan asuransi yang nyatanya telah memiliki sistem mitigasi risiko yang baik meskipun berinvestasi pada aset yang berisiko.
3. Kurang optimal mengukur sensitifitas
RBC kurang dapat memberikan gambaran real time atas sensitifitas nilai aset dan liabilitas, karena diukur hanya per periode laporan saja.
Selain itu komposisi portofolio aset perusahaan asuransi didominasi surat berharga capital market asset seperti obligasi dan saham, yang harganya fluktuatif dan sensitif tidak hanya terhadap suku bunga, namun juga terhadap sentiman pasar lainnya.
Sementara risk factoring pada RBC hanya mendasarkan pada risiko suku bunga dan risiko fundamental.
Demikian pula pada sisi liabilitas, RBC menyamaratakan diskonto untuk mencari nilai sekarang untuk semua produk walaupun profil dan jangka waktu berbeda-beda.
4. Belum mensyaratkan segregasi produk
Metode RBC menghitung solvabilitas dari total asset dan total liabilitas, tanpa melakukan segergasi per produk dan hanya memisahkan produk PAYDI.
Padahal profil setiap produk tentu beda, terutama pada pola arus kas, tenor dan suku bunga. Perbedaan ini akan berpengaruh pada valuasi nilai sekarang (Present value) asset dan liability saat ini, karena bagaimanapun sistem keuangan kita masih menggunakan rezim time value of money.
5. Ketidaksetaraan valuasi aset dan liabilitas
Hanya aset yang diperhitungkan dengan faktor risiko, sedangkan pada liabilitas tidak. Bahkan angka diskonto untuk valuasi nilai liabilitas seringkali tidak di-update sampai habis kontrak.
Kemudian angka aset dalam RBC rata-rata divaluasi dari market price dan real time/harian. Sementara nilai liabilitas hanya merupakan present value liabilitas dengan cara mendiskontokan nilai liabilitas masa depan dengan tingkat diskonto satu saat tertentu saja. Hal ini berpotensi besar melebarkan mismatch pada nominal dan durasi.
Adopsi dan penerapan IFRS 17 atau draft PSAK 74 mungkin akan sedikit mereduksi bias valuasi liabilitas ini, terutama dari sisi up date periode valuasi, namun tetap tidak dapat se-up date valuasi aset. Apalagi bila tetap menggunakan tenor jatuh tempo bukan durasi.
6. Belum menggambarkan pola cashflow
RBC hanya menghitung proyeksi dan risiko likuiditas berdasarkan jatuh tempo dan per nominal secara terpisah dan tidak per produk. Sehingga berpotensi menyebabkan kesalahan baru pada penempatan aset investasi selama kontrak asuransi.
Kegagalan pemenuhan kewajiban di perusahaan asuransi, sebagian besar dikarenakan adanya asset liability mismatch, baik secara nominal maupun waktu pembayaran.
Jadi penyebab masalah bisa dari hulu hingga hilir, bukan kesalahan pengelolaan investasi saja namun besar kemungkinan berawal dari mal design produk yang menyebabkan produk bleeding.
Di hilir, misalnya menjual produk asuransi jangka panjang, sementara menginvestasikan asetnya pada instrumen short term dengan yield tinggi sehingga sangat berisiko mengalami penurunan nilai apabila suku bunga mengalami penurunan.
Berbeda dengan industri keuangan lainnya, bisnis perusahaan asuransi adalah bisnis jangka waktu panjang dan sangat panjang, sehingga tentu penuh ketidakpastian. Hasil usaha bisa saja yang terjadi lebih baik dari yang diprediksikan, namun bisa juga lebih buruk.
Namun sebaliknya perusahaan memiliki tujuan yang pasti, yaitu untuk selalu profit, menjaga going concern sehingga valuasi perusahaan terus meningkat, termasuk dapat memenuhi semua kewajiban dengan baik.
Nah, Asset Liability Management (ALM) dapat membantu memberikan peta arah jalan untuk mencapai tujuan tersebut. ALM adalah suatu proses berkelanjutan untuk merumuskan, menerapkan, memantau, dan merevisi strategi yang berkaitan dengan pengelolaan aset dan kewajiban agar selalu sepadan d iantara berbagai kendala risiko tertentu.
ALM berguna bagi perusahaan asuransi yang umumnya menjual produk jangka panjang, namun menginvestasikan asetnya pada instrumen jangka pendek, menjual produk yang memberikan benefit fixed rate, sementara instrumen investasi rata-rata tidak dapat memberikan fixed rate karena adanya risiko pasar yang memengaruhi harga instrument investasi, juga rata-rata terjadi konflik atau deviasi nilai kontrak dengan nilai asset underlying.
Metode ALM secara teknis adalah cara bagaimana mengelola aset dan liability sedemikian rupa sehingga dapat memastikan suku bunga teknis dan uang pertanggungan dapat dipenuhi sesuai kontrak polis dan memberikan keuntungan jangka panjang untuk pemegang polis dan pemegang saham.
Dibandingkan dengan RBC, ALM mempunyai beberapa kelebihan, di antaranya :
1. Dapat memberikan informasi nilai aset dan liability lebih riil karena masing-masing divaluasi dengan memasukkan risiko-risiko yang lebih luas dan spesifik per instrumen aset dan disegregasi per produk.
Segregasi portofolio underlying aset per produk adalah keharusan agar metode ALM dapat berfungsi efektif.
2. Selain ukuran solvabilitas, ALM sekaligus dapat memberikan informasi likuiditas, profitabilitas, dan rentabilitas serta going concern perusahaan.
3. Fungsi ALM yang paling penting adalah dapat memberikan early warning signs dan memberikan arah untuk strategics asset allocation (SAA) karena pada dasarnya pengelolaan investasi di perusahaan asuransi adalah disesuaikan dengan profil kewajiban/produk atau biasa disebut Liability Driven Investment.
4. Memberikan gambaran proyeksi nilai, pola, tenor, cashflow aset dan liability lebih akurat daripada metode RBC yang hanya memisahkan jangka waktu saja.