Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Ekonomi Global versus Jay Powell

Kompas.com - 05/12/2022, 10:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

JEROME Powell diangkat Presiden Barack Obama menjadi salah satu anggota dewan gubernur Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed), tahun 2012, bersama dengan Jeremy Stein. Jay, begitu panggilan akrab Powell, cenderung konservatif. Dia dari Wall Street. Sementara Stein dianggap liberal dan berasal dari Harvard.

Jay secara pribadi cenderung mendukung kebijakan kenaikan suku bunga dan kurang suportif pada kebijakan quantitative easing (QE) atau pelonggaran kuantitaif yang digelorakan Ben Bernanke, gubernur the Fed kala itu, karena dianggap berisiko menciptakan bubble di pasar aset finansial.

Baca juga: Joe Biden Tunjuk Jerome Powell Kembali Pimpin The Fed, Fokus Atasi Inflasi Covid-19

Pilihan terpaksa Obama

Pilihan moderat tersebut terpaksa diambil Obama (satu liberal, satu konservatif) karena iklim politik yang sangat panas antara Partai Republik dan Partai Demorkat saat itu. Bagi pemerintahan Obama, tahun 2012 adalah salah satu tahun terberatnya secara fiskal. Isu dept ceilling mengemuka, yang memicu deadlock antara kubu Demokrat dan Republik, dan berujung dengan shut down pemerintahan federal.

Di House of Representative (DPR), Partai Republik sudah menjadi penguasa baru dengan John Bhoener sebagai pengganti Nancy Pelosi, karena memenangkan midterm election tahun 2010. Setali tiga uang dengan itu, pengaruh "young gun" dari Partai Republik dan di kaukus Tea Party menguat, yang dimotori Eric Cantor dan Paul Ryan.

Mereka berhasil memprovokasi kubu Republik di DPR untuk "vote no" atas apapun ajuan kebijakan Obama, terutama terkait kebijakan fiskal. Obama mengajukan anggaran belanja tahun 2013 sebesar 3,6 triliun dolar dengan kenaikan pajak atau penghentian kebijakan "tax break" era Bush yunior sebesar 300 miliar dolar, kenaikan pajak natural 100 miliar dolar, sehinga defisit bisa berkurang dari 1,1 triliun dolar menjadi 900 miliar dolar.

Baca juga: The Fed Jadi Pemicu Perekonomian Global Terancam Resesi?

Alasan Obama dan tim kala itu bahwa ekonomi masih dalam masa pemulihan. Jika pemangkasan belanja dilakukan, resesi akan semakin memburuk.

Namun Republik menginginkan kebijakan sebaliknya. Isu dept ceilling yang menghendaki pemerintah membatasi batas atas utang menjadi acuan utama mereka. Karena itu, yang harus dilakukan Obama, menurut mereka, adalah cut spending demi mengurangi defisit, lalu melanjutkan tax break era Bush untuk menstimulasi dunia usaha.

Kedua kubu sama-sama tidak bersedia mundur. Kubu "young gun" dari Partai Republik siap berperang di DPR untuk menolak. Di sisi lain, Obama dan tim juga dalam posisi yang sama, tak berniat mundur selangkah pun.

Saat itu, Obama nyaris berhasil membuat kesepakatan dengan ketua DPR, John Bhoener, dengan menjalin diplomasi personal di mana Bhoener menawarkan kesepakatan “big bargain”. Namun kesepakatan akhirnya gagal karena deal tersebut diketahui Republik.

Di sinilah skill Joe Biden dibutuhkan. Joe diam-diam berhasil memecah kebuntuan. Joe melakukan deal dengan Senate minority leader, Mitch McConnel kala itu. Kesepakatan tersebut kita kenal dengan nama "fiscal cliff," yang diterapkan setelah pemilihan presiden 2012.

Isinya, Republik bersedia menerima kenaikan pajak untuk kelas menengah dan kaya, bahkan lebih tinggi dari harapan Obama. Namun Obama harus bersedia menerima pemotongan yang cukup besar pada anggaran belanja pemerintahan federal, sehingga total defisit turun menjadi 500 miliar dolar.

Trio Amigos

Nah, di tengah seteru inilah Jay hadir di dewan gubernur the Fed. Di tahun itu, rencana quantitative easing episode kedua sedang disiapkan Ben Bernanke. Tapi Jay tampaknya kurang mendukung. Jay bersama dua anggota dewan gubernur lainya, Betsy Duke dan Jeremy Stein, berencana untuk memberikan "vote no."

Pertemuan ketiga angota dewan gubernur tersebut berlangsung di ruang privat kantin the Fed. Namun rencana tersebut bocor ke telinga Ben Bernanke. Karena itu, Ben kemudian menyebut aksi tersebut dengan “microinsurection” dan melabeli ketiganya sebagai "Trio Amigos."

Namun bukan karena itu Trio Amigos akhirnya batal menentang QE II. Ben Bernanke bahkan sempat terpengaruh dan bimbang menyikapi kemungkinan penolakan anggota dewan gubernur lainya atas rencana QE II, karena takut nanti dianggap the Fed tidak kompak jika terjadi perbedaan suara.

Baca juga: Menkeu AS Janet Yellen Telepon Sri Mulyani, Bahas Kerja Sama Penyelesaian Isu Global

Walhasil, Ben memberikan keterangan ambigu di konfrensi pers kala itu setelah rapat dewan gubernur. Ben mengatakan kepada awak media bahwa ada kemungkinan QE tak berlanjut.

Tak pelak, Wall Street meradang. Indeks harga saham gabungan memerah, pasar surat utang rally negatif, yang membuat "Trio Amigos" akhirnya membatalkan niatnya untuk menjegal QE II.

Saat Janet Yellen menggantikan Ben tahun 2014, situasi ekonomi mulai membaik. Yellen yang menjadi "patner in crime" setia Ben bersedia pelan-pelan menaikan suku bunga dan melepas aset-aset finansial yang telah terserap program QE I dan II.

Kemudian masuk ke era Donald Trump. Pada saat kampanye, Trump memang menyerang kebijakan suku bunga rendah, karena hanya menguntungkan Wall Street. Namun setelah berkuasa, Trump membalik kebijakan pajak Obama. Trump meloloskan legislasi "Tax Cut" yang sebenarnya justru juga menguntungkan Wall Street.

Kendati demikian, kebijakan tersebut membuka pintu bagi Yellen dan the Fed untuk menaikan suku bunga pelan-pelan, sebagai substitusi kebijakan "Tax Cut."

Di tahun 2018, Jay mendapat kesempatan. Masa jabatan Yellen habis dan Jerome Powell akhirnya ditunjuk Trump untuk menggantikan, berkat dukungan penuh dari Steve Mhuncin, menteri keuangan AS saat itu.

Setahun menjelang pandemi Covid-19, yaitu tahun 2019, Wall Street bergejolak. Yield repo melebar sampai 9 persen lebih, dari normalnya 2 persenan. Jay yang berambisi mengurangi intervensi, mau tak mau, harus mendukung suntikan dana dari the Fed ke pasar repo.

Setahun kemudian, datang pandemi. Tak bisa tidak, Jay dan the Fed harus proaktif. Paket penyelamatan moneter disiapkan sekitar 4 triliun dolar, melalui special vehicle (SPV) alias perusahaan cangkang, yang harus didahului dengan pengadaan dana via menteri keuangan sebanyak 10 persennya atau 400 miliar dolar (via acc parlemen tentunya).

Saatnya bagi Powel untuk kembali ke keyakinannya

Intervensi the Fed melebar jauh melampaui era Bernanke karena harus menyerap surat utang perusahaan swasta non finansial, plus mem-bail out usaha menengah dan kecil. Setali tiga uang dengan itu, suku bunga mau tak mau harus kembali ditekan ke batas paling bawah alias melahirkan kembali kebijakan ZIRP (Zero Interest Rate Policy).

Walhasil, inflasi datang di tahun 2022. Memang the Fed bukan penyebab satu-satunya. Ada stimulis fiskal jumpo sejak pemerintahan Trump sampai Joe Biden, ada perang dagang China-Amerika yang ikut menyumbat global supply chain, dan ada perang Rusia-Ukraina yang memanaskan harga komoditas global, sebagai penyebab lainya.

Meski begitu, ini saatnya bagi Jay untuk kembali pada keyakinan pribadinya bahwa ZIRP dan QE harus diakhiri. Dan..., di sinilah dunia hari ini, di mana ekonomi dunia sedang diperaruhkan untuk kesehatan ekonomi AS.

Jay memang bukan penggemar utama Paul Volcker, yang menaikan suku bunga The Fed sampai dengan 19 persen pada tahun 1980an demi menjinakan inflasi. Aksi Volcker menyisakan trauma bagi AS karena merusak fundamental ekonomi negeri Paman Sam, output manufaktur menyusut tajam lebih dari 11 persen dan pedapatan rumah tangga masyarakat AS tertekan luar biasa.

Baca juga: Quantitative Easing, Taper Tantrum dan Ekonomi Indonesia

Jika mau dicarikan kesamaan, Jay segaris dengan Thomas Hoenig, gubernur The Fed Arkansas yang memberikan “vote no” untuk kebijakan suku bunga nol dan QE II di tahun 2010-2011, dan pensiun setelah itu (salah satu Gubernur Regional The Fed yang membuat Ben Bernanke kesal).

Jay dan Hoenig memahami betul bagaimana suku bunga nol dan QE membuka peluang bagi para spekulan untuk melakukan “patgulapat berisiko” di pasar finansial demi mendapatkan yield, lalu akan berujung bubble. Penyebabnya, pertama adalah easy money. Kedua adalah sulitnya mendapatkan yield karena suku bunga nol.

Walhasil, easy money akan dipakai untuk transaksi berisiko (spekulasi pada repo, spekulasi berbagai jenis mortgage, dan merger atau akuisi perusahaan yang berisiko meningkatkan utang perusahaan, dll) di satu sisi atau dipakai untuk mencari yield di emerging market (hot money) di sisi lain, yang meningkatkan kerentanan finansial di negara berkembang.

Namun tidak berarti membalik arah kebijakan risikonya akan hilang. Jika The Fed menaikan suku bunga, ada dua efek pada pasar surat utang AS. Pertama, yield surat utang bertenor panjang (10 tahun ke atas) akan ikut naik. Tetapi, kedua, harga (catat: bukan yield) surat utang berjangka pendek (lima tahun ke bawah) akan turun. Pasalnya, kenaikan suku bunga akan mengerek yield surat utang swasta bertenor pendek yang terbit setelah suku bunga naik, sementara itu yield surat utang swasta bertenor pendek yang terbit sebelum suku bunga naik masih berada di bawah suku bunga hari ini sehingga menjadi tidak kompetitif.

Walhasil, surat utang korporasi bertenor pendek otomatis akan dijual murah. Jadi dua instrumen finansial ini, surat utang jangka pendek (karena harga murah) dan jangka panjang (karena yield naik) akan menjadi magnet yang akan menyedot dolar dari negara berkembang, termasuk Indonesia.

Nah, dalam perspektif inilah signifikansi Jay Powell dikaitkan dengan kesehatan ekonomi global.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com