Kita semua harus belajar dari ambruknya swasembada kedelai nasional, yang semakin hari makin mengenaskan. Bisa dikatakan hampir mustahil swasembada itu diraih kembali, karena 95 persen kebutuhan kedelai dalam negeri dipenuhi melalui impor.
Kita harus kompak dari awal. Presiden, Badan Pangan Nasional, Menko Perekonomian semestinya setiap saat memantau komoditas strategis nasional seperti beras agar tidak disergap kartel pangan yang maruk keuntungan sesaat dan sesat.
Sebagai negara berpenduduk 270 juta jiwa tentu menjadi incaran dan rebutan negara-negara produsen pangan dunia untuk menjadi pasar potensialnya.
Debat konvensional antara impor beras atau memenuhi dari produksi dalam negeri sudah berlangsung lama. Artinya solusi yang dilakukan selama ini parsial, temporer dan tidak menyelesaikan masalah fundamental. Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah?
Join project produksi, penyerapan gabah dan monitoring yang transparan dan akuntabel antara Kementerian Pertanian, Kementerian BUMN, Badan Pangan Nasional di bawah Koordinasi Menko Perekonomian sudah seharusnya dilakukan secara real time.
Argumennya, monitoring yang transparan memungkinkan semua pihak dapat melihat kemampuan dan kinerja masing-masing dalam produksi dan penyerapan harga.
Apalagi zaman IT yang serba modern, lokasi pengolahan tanah, tanam, fase vegetatif, panen dapat dipantau secara real time, sehingga kemampuan produksi padi dapat diketahui publik.
Stok gudang bulog juga harus transparan dilaporkan, sehingga Menko Perekonomian dapat memantau kinerja masing-masing pemangku kepentingan.
Monitoring sangat penting, karena jika publik mengetahui secara terbuka, maka keputusan importasi juga akan lebih mudah diterima masyarakat.
Sebaliknya jika importasi tidak didasari argumen yang kuat, pasti publik akan menilai siapa yang kinerjanya tidak baik dan siapa yang memanfaatkan impor untuk kepentingan di luar pemenuhan pangan nasional.
Presiden juga perlu mendapatkan laporan yang utuh agar dapat mengambil keputusan penting jika terjadi anomali produksi dan atau impor beras.
Ironis, kita baru saja mendapatkan piagam dari FAO dan tinta itu belum kering tanda tangannya, tetapi Indonesia harus mengumumkan akan mengimpor beras 600.000 ton agar cadangan beras bulog mencapai 1,2 juta ton.
Mengapa tidak pemerintah membangun sistem informasi pengambilan keputusan yang dapat dibangun oleh Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) sebagai alat bantu pengambilan keputusan (decision support system tool), apakah produksi padi cukup atau kurang, di mana, berapa, sehingga cepat diambil keputusan.
Impor dan ekspor sesunggunya merupakan hal normal. Namun untuk pangan, utamanya beras, kita harus ekstra hati-hati karena dampaknya bisa merugikan negara dan rakyat, baik dalam pasokan, harga dan kedaulatan pangan dalam jangka panjang.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian perlu segera mengambil langkah koordinasi dan sinkronisasi, agar bola liar diskusi publik yang kontra produktif tentang pangan dapat dihentikan dan dicari solusinya.
Pesan moralnya, beras jangan dipolitisasi, apalagi dimainkan untuk kepentingan sesaat untuk mengeruk margin.
Jika itu tetap dilakukan, maka yakinlah bahwa beras pada saatnya nanti akan membuat pusing semua orang, yaitu ketika kedaulatan beras nasional ambruk seperti halnya kedelai.
Jika sudah masuk perangkap pangan, maka Indonesia bisa menjadi pasar pangan permanen bagi produsen beras dunia dan akan menguras devisa sangat besar.
*Analis Kebijakan Utama, Kementerian Pertanian
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya