JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad mengatakan, kondisi nasional yang memasuki tahun poiltik yang dibarengi berlanjutnya gejolak ekonomi global di tahun depan, akan menambah ketidakpastian ekonomi domestik.
Ia menjelaskan, secara historis, peningkatan risiko ketidakpastian di tahun politik selalu terjadi setahun sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Seperti pada 2013 dan 2018 -saat pemilihan presiden berlangsung di 2014 dan 2019- kinerja saham Indonesia pada masa itu menurun drastis.
“Dunia begitu gelap di tahun mendatang, sehingga akan berimplikasi ke dalam situasi domestik, apalagi tahun depan itu masuk politik, penuh ketidakpastian," ujar Tauhid dalam seminar Indef, Senin (5/12/2022).
Baca juga: Di Depan Jokowi, Sri Mulyani Sebut Ekonomi RI dalam Tren Pemulihan Berkat Kerja Keras APBN
Melalui buku Proyeksi Ekonomi Indonesia 2023, Indef menilai tahun depan menjadi tahun dengan ketidakpastian yang tinggi dibandingkan 2022, karena dipengaruhi kondisi politik nasional dan geopolitik di internasional.
Pada tahun depan, akan banyak dilontarkan visi-visi ekonomi oleh para tokoh politik yang akan mencerminkan beragam ketidakpastian. Salah satu ketidakpastian adalah kebijakan ekonomi yang telah diputuskan dalam pemerintahan sebelumnya, apakah akan dilanjutkan atau tidak.
Misalnya, terkait upaya hilirisasi sumber daya alam beragam produk pertambangan, minyak dan gas (migas), hingga perkebunan dan perikanan. Hilirisasi dapat meningkatkan investasi, nilai tambah, ekspor, dan penyerapan tenaga kerja.
Namun di saat yang sama, hilirisasi juga dihadapkan pada harga komoditas yang tinggi sehingga daya tarik eskpor bahan mentah menjadi lebih menarik.
Baca juga: Data Ekonomi RI Positif, BI Diminta Tak Terapkan Kebijakan Moneter Restriktif
Ketidakpastian lainnya yang akan dihadapi yakni sejauh mana pemerintah akan memberikan dukungan terhadap gejolak ekonomi global.
Hal itu akan tercermin dari bantalan subsidi yang akan diberikan seiring dengan naiknya harga komoditas energi.
Baca juga: Ekonomi RI Masih Baik, BI: Kenaikan Suku Bunga Acuan Tak Harus Seagresif Negara Lain