Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Resesi Global, Komplikasi Ekonomi Domestik, dan Kelas Menengah ke Bawah

Kompas.com - 06/12/2022, 13:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dengan kata lain, ekonomi Amerika memang sedang memburuk yang akan membuat daya tarik investasi di sana juga ikut menurun.

Sementara itu, perekonomi kita, baik pertumbuhan maupun level inflasi, masih jauh lebih baik dibanding Amerika. Dengan asumsi itu, ancaman capital outflow semestinya tidak akan terlalu besar.

Namun seiring berjalannya waktu, di satu sisi inflasi di negera-negara maju semakin menggila dan di sisi lain pertumbuhan di negara besar seperti China juga semakin menurun, menguatkan sinyal bahwa resesi global pelan-pelan sudah merangsek ke dapan mata kita.

Situasi ini akan membuat para investor global yang mengantongi berbagai macam instrumen investasi finansial di dalam negeri mulai berhitung ulang, apakah akan bertahan atau hengkang.

Bertahan dengan kondisi ekonomi domestik yang tidak terlalu buruk, tapi secara terang-terangan dihantui ketidakstabilan moneter dan fiskal, terutama ancaman degradasi nilai mata uang dalam negeri di satu sisi dan memburuknya kapasitas fiskal sebagai jaminan kemampuan membayar kembali utang pemerintah di sisi lain, memang bukan pilihan yang mudah.

Sebagian nampaknya sudah memilih hengkang, baik atas nama managemen risiko, atau atas nama spekulasi mata uang atau pula atas nama "carry trader" pasar surat utang (berpindah ke negara lain yang menawarkan yield yang lebih besar).

Artinya, mereka hengkang tidak melulu harus kembali ke Amerika, sebagaimana dikhawatirkan banyak pihak. Boleh jadi ke tempat lain selain negeri Paman Sam.

Sampai saat ini, tanpa perlu menyebutkan angka, cukup melihat reaksi Bank Indonesia saja, kita sudah bisa memahami bahwa jumlahnya pasti tidak sedikit.

Pelepasan aset-aset finansial berupa surat utang negara, dalam batas tertentu, masih bisa disambut oleh BI dengan dalih devisa negara masih kuat menahannya.

Tapi pelepasan aset-aset di pasar modal, mau tak mau, akan ikut menggeret valuasi beberapa emiten, lalu menekan nilai saham gabungan. Jika terjadi dalam jumlah yang besar, lampu kuning akan menyala di Bursa Efek Nasional.

Di sisi lain, jika BI terus menerus mengintervensi dengan membeli segala instrumen investasi domestik yang dilepas investor global, agar rupiah tidak jatuh lebih dalam, lama-lama devisa negara (foreign exchange reserve) bisa menipis.

Apalagi, performa ekspor nasional sudah sejak lama memang tak lagi prima, bahkan acapkali defisit. Tentu ingatan kita akan kembali ke krisis 1997, di mana devisa negara mendadak cekak.

Karena alasan inilah BI langsung menaikan suku bunga acuan beberapa kali, untuk mencegah capital outflow lebih lanjut.

Kenaikan suku bunga akan mendorong pemerintah menaikan yield surat utang, agar para investor surat utang tidak kabur dan investor baru tertarik untuk segera masuk.

Walhasil, akan dibutuhkan tambahan anggaran untuk menambal tambahan yield surat utang di waktu mendatang di satu sisi.

Tapi juga akan terjadi penipisan likuiditas antar perbankan di sisi lain (karena bunga penjaman ke BI atau pinjaman antar bank), yang berisiko menekan pertumbuhan dari sisi investasi

Meski begitu, tidak berarti urusan selesai sampai di situ. Selama ketidakpastian global masih berlangsung, kita akan terus was-was.

Situasinya memang cukup sulit. Setelah menaikan harga BBM, meski terkesan egois, pemerintah boleh jadi merasa sudah berada dalam posisi lumayan aman secara fiskal karena beban subsidi berkurang alias masih ada ruang fiskal untuk menutup bunga dan cicilan utang.

Tapi ancaman lain juga menghantui, yakni nominal utang dalam rupiah berpeluang terus meningkat. Semakin rupiah terpuruk, semakin bertambah nominal rupiah utang pemerintah dan perusahaan swasta, meskipun nominal dollarnya tetap sama.

Hal ini menjadi masalah penting karena anggaran pemerintah dan perusahaan swasta, terutama terkait perhitungan pemungutan pajak dan kalkulasi bisnis dalam negeri, dilakukan dalam mata uang rupiah.

Jadi jika rupiah melemah secara tajam, maka akan ada penambahan rupiah untuk setiap dollar utang lama pemerintah maupun utang lama swasta.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com