Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Resesi Global, Komplikasi Ekonomi Domestik, dan Kelas Menengah ke Bawah

Kompas.com - 06/12/2022, 13:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Semua risiko di atas, akan bertransformasi menjadi ancaman nyata bagi masyarakat, terutama mayoritas kelas menengah ke bawah.

Baik pengurangan kesempatan kerja, kenaikan harga barang-barang, maupun penambahan bunga dan cicilan utang pemerintah, semuanya akan menambah beban ekonomi masyarakat.

Pemerintah bisa saja mencari aman secara fiskal dengan mencabut subsidi, sehingga anggaran negara masih dianggap aman oleh para kreditor pasar uang.

Tapi pencabutan subsidi BBM berserta multiplayer effect-nya terhadap harga komoditas pokok adalah risiko bagi pendapatan mayoritas masyarakat yang memang pas-pasan (secara per kapita jauh di bawah negara-negara emerging market lainya).

Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan, boleh saja bernarasi diplomatis layaknya politisi kacangan, terkait penikmat subsidi BBM.

Menurut beliau, sebagaimana alasan diplomatis pemerintah selama ini, bahwa penikmat BBM bersubsidi adalah kelas menengah ke atas, sebut saja para pemilik kendaraan roda empat hasil kredit murah dari dunia perbankan.

Namun kelas menengah di Indonesia bukanlah kelas menengah sebagaimana yang kita pahami di negara maju.

Kelas menengah Indonesia adalah "vurnerable middle class," yang jumlahnya sengaja dibuat besar agar terkesan bahwa pemerintah telah berhasil membangun fundamental ekonomi nasional yang berbasiskan konsumsi domestik.

Nyatanya tidak demikian, mereka mengonsumsi BBM bersubsidi bukan karena ingin mencuri kesempatan, tapi karena kalkulasi rasional bahwa pendapatan mereka memang belum aman dari berbagai tekanan ekonomi.

Jadi mayoritas kelas menengah kita masih berada di level "lower middle class" yang akan melakukan penyesuaian perilaku ekonomi saat tekanan ekonomi bertambah.

Dengan kata lain, mayoritas kelas menengah kita terpaksa berperilaku seperti kelas bawah, menikmati segala macam kemudahan ekonomi yang diberikan pemerintah, karena status kelas menengah yang mereka sandang hanya bersifat "nominal," bukan substansial.

Jika dipaksa mengubah perilaku, pendapatan mereka akan tertekan. Risikonya, segala kemudahan cicilan kredit yang mendukung gaya hidup kelas menengah mereka selama ini bisa saja terhenti dan menyebabkan peningkatan kredit bermasalah di pasar kredit nasional.

Dengan lain perkataan, kedangkalan narasi pemerintah yang keluar dari mulut seorang Moeldoko untuk menyinisi demonstrasi mahasiswa, tidak didukung data yang jelas, analitis, dan mendalam, hanya berdasarkan kalkulasi formal kelas menengah nasional.

Selain itu, agak aneh pemerintah mempersoalkan siapa penerima subsidi barang publik, ibarat mempermasalahkan siapa yang boleh atau tidak boleh menggunakan jalan umum.

Adalah risiko logis jika BBM bersubsidi akhirnya dikonsumsi oleh pengguna dari aneka ragam kelas ekonomi, karena BBM adalah barang publik yang digunakan oleh pengguna barang publik lainya, yakni jalan umum.

Jutaan pengguna mobil hasil kredit mudah, termasuk taksi online, akan mengonsumsi BBM bersubsidi, layaknya puluhan juta pengguna kendaraan roda dua. Lebih dari itu, mereka adalah masyarakat Indonesia juga.

Pendeknya, pemerintah sejatinya tidak etis bersembunyi dibalik narasi "misleading" semacam itu, hanya untuk menutupi keengganan pemerintah dalam menanggung beban subsidi barang publik seperti BBM, yang secara fundamental memiliki peran "stabilisator" dalam perekonomian kita.

Menurut hemat saya, di dalam kondisi seperti ini, akan sangat bermanfaat jika pemerintah sebisa mungkin mencari cara melindungi mayoritas masyarakat dari ancaman ekonomi global, bukan malah ikut menyakiti, jika ternyata di sisi lain pemerintah belum bisa menaikan pendapatan masyarakat.

Apalagi diikuti dengan narasi menyalahkan, setelah menyakiti. Tentu beban ekonomi tersebut akan terasa semakin berat karena ditambah dengan beban psikologis hasil formulasi narasi istana. Bukankah situasinya ibarat "difitnah" di siang bolong, setelah disakiti.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com