Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Resesi Global, Komplikasi Ekonomi Domestik, dan Kelas Menengah ke Bawah

Kompas.com - 06/12/2022, 13:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DARI sisi ekonomi makro, resesi global akan berimbas pada pelemahan permintaan atas komoditas ekspor nasional karena pertumbuhan ekonomi di negara-negara destinasi ekspor Indonesia akan ikut terseret turun, seperti Amerika, China, Jepang, dan Uni Eropa.

Situasi ini akan membuat kalkulasi para produsen komoditas ekspor nasional (termasuk UMKM) berubah. Mereka berpeluang menurunkan volume produksi.

Tentu ada opsi lain, jika tak tega mengurangi tenaga kerja. Misalnya, mereka berpeluang tidak mengurangi produksi, tapi menyiasatinya dengan mengubah komposisi pemasaran produk dengan menambah proporsi produksi untuk pasar dalam negeri sebagai substitusi atas pasar ekspor yang berkurang.

Risikonya, akan ada penurunan harga jual akibat kelebihan supply domestik di tengan pelemahan permintaan dalam negeri.

Selain itu, secara temporal mereka juga masih punya opsi lainya, jika tidak mengambil dua opsi tersebut, yakni tetap berproduksi dengan volume semula, dengan risiko volume "inventory" akan berlipat.

Namun risiko lanjutanya, jika dalam waktu lama permintaan tak juga membaik, justru mereka (produsen komoditas dan produk ekspor) akan mengalami bubble produksi.

Namun karena kondisi dalam negeri kurang prospektif akibat beberapa kebijakan ekonomi domestik belakangan sangat berpotensi menambah inflasi dan menekan permintaan, menurut hemat saya, kemungkinan besar para produsen komoditas ekspor akan mengurangi produksi.

Risikonya, akan ada "lay off" tenaga kerja yang jumlahnya tentu akan berbanding lurus dengan pengurangan kapasitas produksi.

Rentetannya tentu sudah bisa ditebak. Daya serap ekonomi nasional atas angkatan kerja, baik yang lama maupun yang baru, akan berkurang.

Pengangguran akan bertambah, kemiskinan pun demikian. Dan akhirnya permintaan dalam negeri juga akan ikut tertekan. Walhasil, akan ada tambahan "deflationary pressure" pada perekonomian nasional.

Jika tak terlalu siap, maka resesi akan terjadi, lalu berujung dengan stagnasi untuk waktu yang cukup lama.

Di sisi lain, secara moneter, resesi global akan menimbulkan ketidakpastian pasar, terutama bagi pelaku pasar finansial.

Semakin tidak pasti prospek ekonomi global, akan semakin banyak investor yang akan memindahkan dananya ke instrumen "safe heaven" dan "hard currency," salah satunya ke mata uang dollar AS.

Dengan kata lain, ancaman capital outflow akan semakin besar bagi Indonesia. Pelepasan berbagai macam instrumen investasi finansial (terutama surat utang) akan terjadi.

Arti lainya, demand terhadap dollar AS akan tinggi, sementara demand terhadap rupiah akan menurun drastis. Walhasil, nilai tukar rupiah akan ikut terjun bebas.

Jika rupiah melemah tajam dalam waktu yang lama, maka biaya impor akan ikut naik, lalu memaksa para produsen berbagai macam barang untuk pasar domestik yang berbasiskan bahan baku impor akan ikut mengubah perhitungan bisnisnya.

Jalan terpahit tentu dengan menaikan harga jual, seperti yang dilakukan pemerintah dan Pertamina atas harga BBM. Ujungnya, ekonomi nasional yang sudah dihantui inflasi akan semakin diselimuti inflasi lebih lanjut.

Secara moneter, ancaman resesi global tidak saja datang dari kenaikan harga-harga komoditas dunia akibat seteru Rusia-Ukraina dan perang dagang Amerika-China, tapi juga karena kebijakan Bank Sentral Amerika yang mulai menghentikan non conventional monetary policy bernama Quantutative Easing bersamaan dengan menaikan suku bunga acuan.

Kecenderungan psikologi "strong dollar" akibat ketidakpastian global berpadupadan dengan peningkatan daya tarik intrumen investasi finansial negeri Paman Sam akibat kenaikan suku bungan acuan the Fed.

Pada mulanya, jika hanya berpatokan kepada kebijakan moneter Amerika, terutama soal kenaikan suku bunga the Fed, saya masih "sanksi" akan terjadi capital outflow besar-besaran di Indonesia.

Pasalnya, kebijakan the Fed menaikan suku bunga bukanlah karena faktor ekonomi Paman Sam yang sudah "overheated" sebagai akibat dari peningkatan "aggregate demand," tapi justru sebaliknya (pelemahan permintaan), yang berpadu dengan inflasi tinggi alias stagflasi.

Dengan kata lain, ekonomi Amerika memang sedang memburuk yang akan membuat daya tarik investasi di sana juga ikut menurun.

Sementara itu, perekonomi kita, baik pertumbuhan maupun level inflasi, masih jauh lebih baik dibanding Amerika. Dengan asumsi itu, ancaman capital outflow semestinya tidak akan terlalu besar.

Namun seiring berjalannya waktu, di satu sisi inflasi di negera-negara maju semakin menggila dan di sisi lain pertumbuhan di negara besar seperti China juga semakin menurun, menguatkan sinyal bahwa resesi global pelan-pelan sudah merangsek ke dapan mata kita.

Situasi ini akan membuat para investor global yang mengantongi berbagai macam instrumen investasi finansial di dalam negeri mulai berhitung ulang, apakah akan bertahan atau hengkang.

Bertahan dengan kondisi ekonomi domestik yang tidak terlalu buruk, tapi secara terang-terangan dihantui ketidakstabilan moneter dan fiskal, terutama ancaman degradasi nilai mata uang dalam negeri di satu sisi dan memburuknya kapasitas fiskal sebagai jaminan kemampuan membayar kembali utang pemerintah di sisi lain, memang bukan pilihan yang mudah.

Sebagian nampaknya sudah memilih hengkang, baik atas nama managemen risiko, atau atas nama spekulasi mata uang atau pula atas nama "carry trader" pasar surat utang (berpindah ke negara lain yang menawarkan yield yang lebih besar).

Artinya, mereka hengkang tidak melulu harus kembali ke Amerika, sebagaimana dikhawatirkan banyak pihak. Boleh jadi ke tempat lain selain negeri Paman Sam.

Sampai saat ini, tanpa perlu menyebutkan angka, cukup melihat reaksi Bank Indonesia saja, kita sudah bisa memahami bahwa jumlahnya pasti tidak sedikit.

Pelepasan aset-aset finansial berupa surat utang negara, dalam batas tertentu, masih bisa disambut oleh BI dengan dalih devisa negara masih kuat menahannya.

Tapi pelepasan aset-aset di pasar modal, mau tak mau, akan ikut menggeret valuasi beberapa emiten, lalu menekan nilai saham gabungan. Jika terjadi dalam jumlah yang besar, lampu kuning akan menyala di Bursa Efek Nasional.

Di sisi lain, jika BI terus menerus mengintervensi dengan membeli segala instrumen investasi domestik yang dilepas investor global, agar rupiah tidak jatuh lebih dalam, lama-lama devisa negara (foreign exchange reserve) bisa menipis.

Apalagi, performa ekspor nasional sudah sejak lama memang tak lagi prima, bahkan acapkali defisit. Tentu ingatan kita akan kembali ke krisis 1997, di mana devisa negara mendadak cekak.

Karena alasan inilah BI langsung menaikan suku bunga acuan beberapa kali, untuk mencegah capital outflow lebih lanjut.

Kenaikan suku bunga akan mendorong pemerintah menaikan yield surat utang, agar para investor surat utang tidak kabur dan investor baru tertarik untuk segera masuk.

Walhasil, akan dibutuhkan tambahan anggaran untuk menambal tambahan yield surat utang di waktu mendatang di satu sisi.

Tapi juga akan terjadi penipisan likuiditas antar perbankan di sisi lain (karena bunga penjaman ke BI atau pinjaman antar bank), yang berisiko menekan pertumbuhan dari sisi investasi

Meski begitu, tidak berarti urusan selesai sampai di situ. Selama ketidakpastian global masih berlangsung, kita akan terus was-was.

Situasinya memang cukup sulit. Setelah menaikan harga BBM, meski terkesan egois, pemerintah boleh jadi merasa sudah berada dalam posisi lumayan aman secara fiskal karena beban subsidi berkurang alias masih ada ruang fiskal untuk menutup bunga dan cicilan utang.

Tapi ancaman lain juga menghantui, yakni nominal utang dalam rupiah berpeluang terus meningkat. Semakin rupiah terpuruk, semakin bertambah nominal rupiah utang pemerintah dan perusahaan swasta, meskipun nominal dollarnya tetap sama.

Hal ini menjadi masalah penting karena anggaran pemerintah dan perusahaan swasta, terutama terkait perhitungan pemungutan pajak dan kalkulasi bisnis dalam negeri, dilakukan dalam mata uang rupiah.

Jadi jika rupiah melemah secara tajam, maka akan ada penambahan rupiah untuk setiap dollar utang lama pemerintah maupun utang lama swasta.

Semua risiko di atas, akan bertransformasi menjadi ancaman nyata bagi masyarakat, terutama mayoritas kelas menengah ke bawah.

Baik pengurangan kesempatan kerja, kenaikan harga barang-barang, maupun penambahan bunga dan cicilan utang pemerintah, semuanya akan menambah beban ekonomi masyarakat.

Pemerintah bisa saja mencari aman secara fiskal dengan mencabut subsidi, sehingga anggaran negara masih dianggap aman oleh para kreditor pasar uang.

Tapi pencabutan subsidi BBM berserta multiplayer effect-nya terhadap harga komoditas pokok adalah risiko bagi pendapatan mayoritas masyarakat yang memang pas-pasan (secara per kapita jauh di bawah negara-negara emerging market lainya).

Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan, boleh saja bernarasi diplomatis layaknya politisi kacangan, terkait penikmat subsidi BBM.

Menurut beliau, sebagaimana alasan diplomatis pemerintah selama ini, bahwa penikmat BBM bersubsidi adalah kelas menengah ke atas, sebut saja para pemilik kendaraan roda empat hasil kredit murah dari dunia perbankan.

Namun kelas menengah di Indonesia bukanlah kelas menengah sebagaimana yang kita pahami di negara maju.

Kelas menengah Indonesia adalah "vurnerable middle class," yang jumlahnya sengaja dibuat besar agar terkesan bahwa pemerintah telah berhasil membangun fundamental ekonomi nasional yang berbasiskan konsumsi domestik.

Nyatanya tidak demikian, mereka mengonsumsi BBM bersubsidi bukan karena ingin mencuri kesempatan, tapi karena kalkulasi rasional bahwa pendapatan mereka memang belum aman dari berbagai tekanan ekonomi.

Jadi mayoritas kelas menengah kita masih berada di level "lower middle class" yang akan melakukan penyesuaian perilaku ekonomi saat tekanan ekonomi bertambah.

Dengan kata lain, mayoritas kelas menengah kita terpaksa berperilaku seperti kelas bawah, menikmati segala macam kemudahan ekonomi yang diberikan pemerintah, karena status kelas menengah yang mereka sandang hanya bersifat "nominal," bukan substansial.

Jika dipaksa mengubah perilaku, pendapatan mereka akan tertekan. Risikonya, segala kemudahan cicilan kredit yang mendukung gaya hidup kelas menengah mereka selama ini bisa saja terhenti dan menyebabkan peningkatan kredit bermasalah di pasar kredit nasional.

Dengan lain perkataan, kedangkalan narasi pemerintah yang keluar dari mulut seorang Moeldoko untuk menyinisi demonstrasi mahasiswa, tidak didukung data yang jelas, analitis, dan mendalam, hanya berdasarkan kalkulasi formal kelas menengah nasional.

Selain itu, agak aneh pemerintah mempersoalkan siapa penerima subsidi barang publik, ibarat mempermasalahkan siapa yang boleh atau tidak boleh menggunakan jalan umum.

Adalah risiko logis jika BBM bersubsidi akhirnya dikonsumsi oleh pengguna dari aneka ragam kelas ekonomi, karena BBM adalah barang publik yang digunakan oleh pengguna barang publik lainya, yakni jalan umum.

Jutaan pengguna mobil hasil kredit mudah, termasuk taksi online, akan mengonsumsi BBM bersubsidi, layaknya puluhan juta pengguna kendaraan roda dua. Lebih dari itu, mereka adalah masyarakat Indonesia juga.

Pendeknya, pemerintah sejatinya tidak etis bersembunyi dibalik narasi "misleading" semacam itu, hanya untuk menutupi keengganan pemerintah dalam menanggung beban subsidi barang publik seperti BBM, yang secara fundamental memiliki peran "stabilisator" dalam perekonomian kita.

Menurut hemat saya, di dalam kondisi seperti ini, akan sangat bermanfaat jika pemerintah sebisa mungkin mencari cara melindungi mayoritas masyarakat dari ancaman ekonomi global, bukan malah ikut menyakiti, jika ternyata di sisi lain pemerintah belum bisa menaikan pendapatan masyarakat.

Apalagi diikuti dengan narasi menyalahkan, setelah menyakiti. Tentu beban ekonomi tersebut akan terasa semakin berat karena ditambah dengan beban psikologis hasil formulasi narasi istana. Bukankah situasinya ibarat "difitnah" di siang bolong, setelah disakiti.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Whats New
Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Whats New
Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Whats New
Puasa Itu Berhemat atau Boros?

Puasa Itu Berhemat atau Boros?

Spend Smart
Kadin Proyeksi Perputaran Uang Saat Ramadhan-Lebaran 2024 Mencapai Rp 157,3 Triliun

Kadin Proyeksi Perputaran Uang Saat Ramadhan-Lebaran 2024 Mencapai Rp 157,3 Triliun

Whats New
Kebutuhan Dalam Negeri Jadi Prioritas Komersialisasi Migas

Kebutuhan Dalam Negeri Jadi Prioritas Komersialisasi Migas

Whats New
Ratusan Sapi Impor Asal Australia Mati Saat Menuju RI, Badan Karantina Duga gara-gara Penyakit Botulisme

Ratusan Sapi Impor Asal Australia Mati Saat Menuju RI, Badan Karantina Duga gara-gara Penyakit Botulisme

Whats New
Watsons Buka 3 Gerai di Medan dan Batam, Ada Diskon hingga 50 Persen

Watsons Buka 3 Gerai di Medan dan Batam, Ada Diskon hingga 50 Persen

Spend Smart
Utang Pemerintah Kian Bengkak, Per Februari Tembus Rp 8.319,22 Triliun

Utang Pemerintah Kian Bengkak, Per Februari Tembus Rp 8.319,22 Triliun

Whats New
Heran Jasa Tukar Uang Pinggir Jalan Mulai Menjamur, BI Malang: Kurang Paham Mereka Dapat Uang Dari Mana...

Heran Jasa Tukar Uang Pinggir Jalan Mulai Menjamur, BI Malang: Kurang Paham Mereka Dapat Uang Dari Mana...

Whats New
Dongkrak Performa, KAI Logistik Hadirkan Layanan 'Open Side Container'

Dongkrak Performa, KAI Logistik Hadirkan Layanan "Open Side Container"

Whats New
Sumbangan Sektor Manufaktur ke PDB 2023 Besar, Indonesia Disebut Tidak Alami Deindustrialisasi

Sumbangan Sektor Manufaktur ke PDB 2023 Besar, Indonesia Disebut Tidak Alami Deindustrialisasi

Whats New
Harga Bahan Pokok Jumat 29 Maret 2024, Harga Ikan Tongkol Naik

Harga Bahan Pokok Jumat 29 Maret 2024, Harga Ikan Tongkol Naik

Whats New
Modal Asing Kembali Cabut dari RI, Pekan Ini Nilainya Rp 1,36 Triliun

Modal Asing Kembali Cabut dari RI, Pekan Ini Nilainya Rp 1,36 Triliun

Whats New
Kerap Kecelakaan di Perlintasan Sebidang, 5 Lokomotif KA Ringsek Sepanjang 2023

Kerap Kecelakaan di Perlintasan Sebidang, 5 Lokomotif KA Ringsek Sepanjang 2023

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com