Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Melewatkan Kesempatan Renegosiasi Kereta Cepat

Kompas.com - 07/12/2022, 09:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Produsen kereta nasional, sebut saja misalnya BUMN Inka, tidak dilibatkan sebagai perusahaan yang akan menjalankan fungsi alih teknologi kereta cepat dari China Railway. Tidak ada puluhan atau ratusan karyawan atau insinyur di BUMN Inka yang belajar ke kantor pusat China Railway di China tentang bagaimana membuat kereta cepat.

Dengan lain perkataan, produsen kereta nasional tidak menuai prospek cerah di masa depan yang semestinya hal itu bisa diawali dengan proyek kereta cepat Jakarta- Bandung.

Renegosiasi dengan belajar dari Mahatir

Lantas, apakah Indonesia benar-benar tidak memiliki tenaga untuk bisa bernegosiasi dengan prospek hasil yang lebih baik ketimbang yang kita dapat hari ini? Menurut saya sangat bisa.

Pertama, pasar domestik Indonesia adalah modal negosiasi penting. Indonesia adalah pasar potensial kereta cepat di tahun-tahun mendatang mengingat teknologi kereta cepat masih benar-benar baru di sini.

Kedua, kapasitas dan kemampuan diplomasi para pemimpin nasional. Mahathir Muhamad berhasil merenegosiasi jalur kereta cepat Kuala Lumpur Singapore atau East Coast Rail Link (salah satu proyek Belt and Road Initiative (BRI) di Malaysia).

China akhirnya setuju untuk mengurangi biaya konstruksi dan segala biaya penyelesaiannya, dari 15,81 miliar dolar AS turun menjadi 10,7 miliar dolar. Walhasil, proyek dimulai kembali pada Juli 2019.

Tak diragukan lagi, Mahathir memiliki jam terbang yang tinggi. Rasanya memang agak kurang sepadan jika dibandingkan dengan Joko Widodo (Jokowi) yang belum terlalu teruji dalam urusan diplomasi unilateral.

Dalam sebuah wawancara dengan New York Times, Mahathir dengan sangat piawai membingkai narasinya dalam konteks sejarah yang jauh lebih luas dan komparatif.

“China memahami betul bahwa China pernah berurusan dengan perjanjian yang tidak setara di masa lalu yang dipaksakan kepada China oleh kekuatan Barat (maksudnya pasca perang Candu dan Pemberontakan Beiping yang memojokan Dinasti Qing-pen). Jadi, China seharusnya bersimpati kepada kami. Mereka tahu kami tidak mampu membayar,” kata Mahathir.

Baca juga: Luhut Sebut Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Bakal Rampung Sesuai Jadwal

Sebagaimana dibahas secara apik oleh David Shambaugh dalam buku terbarunya, Where Great Powers Meet. China and America in Southeast Asia (2021), narasi yang digaungkan Mahathir, menurut sebagian besar analis, berhasil beresonansi di Beijing, yang membuat posisi China atas proyek-proyek Belt and Road Initiative (BRI) di Malaysia menjadi agak fleksible.

Pesan dari narasi tersebut nyatanya memang benar-benar sampai ke Xi Jinping dan diterima dengan sangat baik. Walaupun, baik secara prinsipil maupun secara teknis, proyek BRI di Malaysia tak berbeda dengan proyek BRI di Indonesia, terutama kereta cepat Jakarta-Bandung. Mulai dari pembiayaan, teknologi, barang modal, dan sebagian tenaga kerjanya berasal dari China.

Artinya, secara geoekonomi dan geopolitik, China berpeluang untuk tidak peduli dengan usulan renegosiasi dari Mahathir. Tapi risikonya China akan kehilangan Malayasia dalam proyek-proyek BRI lainya, jika China menolak renegosiasi, karena sebelumnya Mahathir memang berhasil mempertontonkan keberaniannya dalam menghentikan beberapa proyek BRI di Malaysia yang telah dimulai di era Najib Razak.

Nah, Jokowi tidak mesti menjadi presiden sepuluh tahun lagi untuk bisa menjadi seperti Mahathir karena pemikiran tersebut akan membuat Jokowi melanggar konstitusi alias harus berkuasa lebih dari dua periode.

Yang harus dilakukan Jokowi adalah menjadikan pengalaman Mahathir sebagai preseden dan referensi untuk dibawa bernegosiasi ulang dengan China, sembari menekankan pentingnya transfer teknologi kepada BUMN-BUMN yang terkait dengan produksi dan pengelolaan kereta cepat, ketimbang menelan mentah-mentah skema awal yang nyatanya semakin memberatkan Indonesia di hari ini dan di masa-masa mendatang.

Saya cukup yakin, dengan dukungan penuh dari Luhut Binsar Panjaitan (yang memang dekat dengan petinggi-petinggi China) dan Prabowo Subianto sebagai Menhan, beserta diplomat-diplomat ulung di Kementerian Luar Negeri, Jokowi akan mendapatkan ruang yang cukup untuk mengubah permainan, baik keringanan biaya proyek maupun soal aksentuasi transfer teknologi.

Pada ujungnya, proyek kereta cepat tidak saja menghasilkan kereta tercepat pertama di Indonesia, tapi juga menjadi proyek yang juga dikalkulasi secara cermat dan presisi, baik dalam konteks bisnis-komersial, ekonomi politik, sustainability, pertahanan keamanan, dan geoekonomi-geopolitik, demi kepentingan bangsa di masa mendatang.

Tetapi sayang, kesempatan renegosiasi tersebut tidak pernah dilirik oleh pemerintah alias terlewatkan begitu saja, meskipun akhirnya anggaran negara ikut menambal kekurangan dana proyek kereta cepat akibat miskalkulasi para pihak yang ada di dalam proyek tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com