PERTENGAHAN November lalu, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden memberi penegasan terhadap adanya rencana suntikan dana untuk transisi energi di Indonesia. Rencana mobilisasi dana itu, kata Biden, sebagai bentuk aksi nyata negara-negara G7 (AS, Inggris, Jepang, Italia, Kanada, Prancis, dan Jerman) dalam mengurangi emisi karbon.
Jumlahnya tak main-main, 20 miliar dolar AS atau sekitar Rp 310 triliun. Hal itu seakan memberi angin segar atas pembiayaan transisi energi dalam negeri yang begitu besar.
Rencana gelontoran dana dari negara-negara maju itu disambut hangat Presiden Joko Widodo (jokowi). Namun ada yang perlu digarisbawahi dari rencana Joe Biden dan kawan-kawan tersebut. Model pendanaan itu belum jelas bentuknya.
Baca juga: Leaders’ Declaration G20, Sri Mulyani Tegaskan Komitmen RI Dalam Transisi Energi
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, komitmen pendanaan masih akan dibahas rinciannya. Karena itu merupakan kombinasi dari multilateral development bank, bilateral dan filantropi, maupun hibah. Artinya, ada potensi utang di sini. Ya, pinjaman bermotif utang. Bisa dikatakan, ini ancaman kedaulatan.
Saya jadi teringat kritik terhadap konsep Good Governance (GG) yang disampaikan Julius Kambarage Nyerere, presiden pertama Tanzania. Nyerere mengundurkan diri secara sukarela dari jabatannya karena menyadari kebijakan kepemilikan pertanian komunal dan kepemilikan pelayanan negaranya tak berjalan.
Kritik tersebut, disampaikan di depan Konferensi PBB tentang pemerintahan Afrika tahun 1998. Nyerere memandang GG sebagai konsep imperialistik dan menjajah. Menurut dia, GG akan mengerdilkan struktur negara-negara berkembang. Sementara kekuatan bisnis dunia makin membesar.
Perusahaan-perusahaan donor dan negara-negara maju (seperti AS dan Eropa) menentukan bahwa pemerintahan di Afrika “buruk” dan memutuskan negara-negara itu harus direformasi menjadi “baik” dengan mengecilkan ukuran negara dan administrasi publik, memperluas sektor swasta melalui privatisasi, dan membuka jalan bagi kapitalis global dalam mencari keuntungan tinggi dan terintegrasi ke pasar global.
GG sebagai konsep yang dipaksakan pada negara-negara berkembang dan terbelakang seperti Afrika oleh kekuatan Barat yang terindustrialisasi dan memiliki korporasi global - transnasional. Kata “good”, menjadi sesuatu yang hegemonik dan seragam, yang terkesan dipaksakan.
Ali Farazmand (2004) secara tegas menyebutkan hal itu sebagai bagian dari praktik penyesuaian struktural. Sebab kenyataannya, di berbagai belahan dunia, GG adalah program yang diintrodusir oleh lembaga-lembaga donor internasional, seperti World Bank, IMF, United Nation Development Programme dan European Union atau semacamnya.
Indikator akan sesuatu yang dipakai dalam mengukur berbagai praktik di negara-negara berkembang, baik Asia, Afrika maupun Amerika Selatan/Karibia, tidak ada ruang bagi lokalitas untuk mendefinisikan “good” menurut keyakinan mereka. Apa yang didefinisikan “baik” oleh orang kaya dan kaya secara historis belum tentu baik untuk kaum miskin, kelas bawah, dan massa di negara-negara kurang berkembang.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.