Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ariyansah NK
Mahasiswa Pascasarjana

Saat ini sebagai mahasiswa pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti

Joe Biden dan Ancaman terhadap Transisi Energi Indonesia

Kompas.com - 08/12/2022, 09:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERTENGAHAN November lalu, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden memberi penegasan terhadap adanya rencana suntikan dana untuk transisi energi di Indonesia. Rencana mobilisasi dana itu, kata Biden, sebagai bentuk aksi nyata negara-negara G7 (AS, Inggris, Jepang, Italia, Kanada, Prancis, dan Jerman) dalam mengurangi emisi karbon.

Jumlahnya tak main-main, 20 miliar dolar AS atau sekitar Rp 310 triliun. Hal itu seakan memberi angin segar atas pembiayaan transisi energi dalam negeri yang begitu besar.

Rencana gelontoran dana dari negara-negara maju itu disambut hangat Presiden Joko Widodo (jokowi). Namun ada yang perlu digarisbawahi dari rencana Joe Biden dan kawan-kawan tersebut. Model pendanaan itu belum jelas bentuknya.

Baca juga: Leaders’ Declaration G20, Sri Mulyani Tegaskan Komitmen RI Dalam Transisi Energi

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, komitmen pendanaan masih akan dibahas rinciannya. Karena itu merupakan kombinasi dari multilateral development bank, bilateral dan filantropi, maupun hibah. Artinya, ada potensi utang di sini. Ya, pinjaman bermotif utang. Bisa dikatakan, ini ancaman kedaulatan.

Kritik Julius Kambarage Nyerere terhadap Good Governance

Saya jadi teringat kritik terhadap konsep Good Governance (GG) yang disampaikan Julius Kambarage Nyerere, presiden pertama Tanzania. Nyerere mengundurkan diri secara sukarela dari jabatannya karena menyadari kebijakan kepemilikan pertanian komunal dan kepemilikan pelayanan negaranya tak berjalan.

Kritik tersebut, disampaikan di depan Konferensi PBB tentang pemerintahan Afrika tahun 1998. Nyerere memandang GG sebagai konsep imperialistik dan menjajah. Menurut dia, GG akan mengerdilkan struktur negara-negara berkembang. Sementara kekuatan bisnis dunia makin membesar.

Perusahaan-perusahaan donor dan negara-negara maju (seperti AS dan Eropa) menentukan bahwa pemerintahan di Afrika “buruk” dan memutuskan negara-negara itu harus direformasi menjadi “baik” dengan mengecilkan ukuran negara dan administrasi publik, memperluas sektor swasta melalui privatisasi, dan membuka jalan bagi kapitalis global dalam mencari keuntungan tinggi dan terintegrasi ke pasar global.

GG sebagai konsep yang dipaksakan pada negara-negara berkembang dan terbelakang seperti Afrika oleh kekuatan Barat yang terindustrialisasi dan memiliki korporasi global - transnasional. Kata “good”, menjadi sesuatu yang hegemonik dan seragam, yang terkesan dipaksakan.

Ali Farazmand (2004) secara tegas menyebutkan hal itu sebagai bagian dari praktik penyesuaian struktural. Sebab kenyataannya, di berbagai belahan dunia, GG adalah program yang diintrodusir oleh lembaga-lembaga donor internasional, seperti World Bank, IMF, United Nation Development Programme dan European Union atau semacamnya.

Indikator akan sesuatu yang dipakai dalam mengukur berbagai praktik di negara-negara berkembang, baik Asia, Afrika maupun Amerika Selatan/Karibia, tidak ada ruang bagi lokalitas untuk mendefinisikan “good” menurut keyakinan mereka. Apa yang didefinisikan “baik” oleh orang kaya dan kaya secara historis belum tentu baik untuk kaum miskin, kelas bawah, dan massa di negara-negara kurang berkembang.

Tidak ada alasan agar kelompok-kelompok ini memercayai apa yang disebut gagasan baru tentang pemerintahan yang “baik” (Ali Farazmand, 2004).

Baca juga: RI Dapat Dana Transisi Energi dari G20 Rp 300 Triliun, Pegiat Lingkungan Soroti soal Pensiun Dini PLTU Batu Bara

Dalam konsep itu, negara-negara berkembang dan negara miskin dipaksa menerima konsep dari negara-negara superior dengan kepentingan yang kapitalistik. Pada prinsip ini, standar-standar dalam konsep GG harus dipenuhi negara-negara berkembang dan negara miskin.

Persoalannya, dalam mengejar daulat GG, kekuatan-kekuatan negara maju, berkembang dan miskin, tak sama. Di sinilah superior dan intervensi (kepentingan) negara maju bekerja. Itulah yang melatarbelakangi kritik Nyerere terhadap konsep GG. Ini, gaya penjajahan baru.

Nyerere menyebutnya sebagai konsep yang imperialistik, menjajah. Namun kita tidak bicara mendalam soal kritik terhadap konsep GG yang kemudian melahirkan konsep Sound Governance itu.

Transisi energi bukan hal mudah bagi Indonesia

Kritik terhadap GG di atas merupakan contoh sebuah “konsep” yang menjadi kesepakatan (keharusan) untuk dijalankan, tetapi kemudian berpotensi memoderasi penjajahan gaya baru (neokolonialisme) terhadap negara-negara berkembang maupun miskin.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com