Prinsip itu, bisa saja terjadi dalam perjanjian-perjanjian internasional yang telah disepakati Indonesia. Salah satunya, transisi energi sebagai salah satu perwujudan komitmen Perjanjian Paris.
Kita tahu, transisi energi dari energi fosil menuju energi terbarukan bukan hal mudah bagi Indonesia. Memang bukan tidak mungkin, bukan tidak bisa, tapi pemerintah kita terlalu candu dan nyaman dengan sumber energi tak terbarukan, seperti migas dan batu bara. Hal itu menjadikan energi fosil seakan mendarah daging bagi masyarakat Indonesia.
Berat bagi negara beralih dan memaksimalkan potensi energi terbarukan. Berat bagi negara ini beralih dari sumber energi migas dan batu bara yang telah menggerakkan perekonomian bangsa berpuluh-puluh tahun.
Perpanjangan kontrak tambang batu bara kepada beberapa perusahaan awal tahun 2022, menjadi sebuah penegasan atas hal itu. Namun seperti yang dikatakan di atas, transisi energi bukanlah tidak mungkin. Meskipun berat dan tertatih.
Semangat transisi energi sebetulnya sudah tercermin dalam dokumen-dokumen perencanaan negara. RPJMN, KEN dan RUEN misalnya. Namun belum menjadi perhatian serius.
Di saat bersamaan, data bauran energi dari Dewan Energi Nasional (DEN) menunjukkan, 91 persen energi primer nasional berasal dari energi fosil (batu bara 37,15 persen, minyak bumi 33,58 persen, dan gas bumi 20,13 persen).
Selaras, tantangan Indonesia yang membuat transisi energi semakin sulit adalah pembiayaan. Selain paradigma/candu energi fosil, pemetaan potensi sumber energi terbarukan, pembiayaan juga menjadi masalah utama, termasuk keberpihakan pemerintah dalam APBN terhadap transisi energi.
Februari lalu, Bank Indonesia (BI) mengungkapkan, transisi energi terbarukan dari energi fosil membutuhkan biaya fantastis. Jumlahnya mencapai 3,5 triliun dolar atau sekitar Rp 50.050 triliun (kurs Rp 14.300) per tahunnya.
Salah satu jawaban atas kebuntuan pembiayaan terhadap pelaksanaan perencanaan pembangunan dalam suatu negara adalah utang luar negeri. Itu jalan pintas. Gampang namun bisa mengorbankan kedaulatan.
Pembiayaan dari utang luar negeri terhadap rencana pembangunan di Indonesia bukan hal tabu. Terkait pembiayaan pembangunan infrastruktur misalnya, dalam daftar rencana pinjaman luar negeri jangka menengah 2020-2024 yang dirilis Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, pemerintah berencana menarik utang dari pinjaman luar negeri sebesar 25,36 miliar dolar atau setara Rp 360,25 triliun (kurs Rp 14.200 per dolar AS) dalam kurun waktu 2020-2024.
Baca juga: Utang Luar Negeri RI Kuartal III-2022 Kembali Turun, Jadi 394,6 Miliar Dollar AS
Pinjaman ini akan digunakan untuk membiayai 25 program yang terdiri dari berbagai sektor. Di antaranya, ketahanan sumber daya air, infrastruktur ketahanan bencana, pembangunan jalan tol, transformasi pangan dan nilai tambah pertanian serta pembangunan desa.
Menurut Susan George (1992), utang luar negeri secara pragmatis justru menjadi bumerang bagi negara peminjam (debitur). Perekonomian di negara-negara penerima utang tidak menjadi semakin baik, melainkan bisa menjadi hancur.
Hal itu merupakan salah satu kesimpulan dari hasil penelitian Susan George, yang menunjukkan bahwa pada tahun 1980-an, arus modal yang mengalir dari negara-negara industri maju, yang umumnya merupakan negara kreditur, ke negara-negara yang sedang berkembang dalam bentuk bantuan pembangunan (official development assistance), kredit ekspor, dan arus modal swasta, seperti bantuan bilateral dan multilateral; investasi swasta langsung (PMA); portfolio invesment; pinjaman bank; dan kredit perdagangan (ekspor/impor), lebih kecil daripada arus aliran dana dari negara-negara yang sedang berkembang ke negara-negara maju tersebut dalam bentuk cicilan pokok utang luar negeri dan bunganya, royalti, deviden, dan keuntungan repatriasi dari perusahaan-perusahaan negara maju yang berada di negara-negara yang sedang berkembang.
Kesimpulan Susan George itu, memperkuat argumentasi yang pernah disampaikan GJ Meier (1970), bahwa arus modal asing dari negara maju ke negara dunia ketiga tidak pernah meningkat, dan masalah pelunasan utang luar negeri semakin memberatkan.
Karena itu surplus impor yang ditunjang modal asing semakin merosot, dan pengalihan sumber-sumber di luar impor yang didasarkan pada ekspor menjadi relatif tidak penting bagi sebagian besar negara dunia ketiga.