Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ariyansah NK
Mahasiswa Pascasarjana

Saat ini sebagai mahasiswa pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti

Joe Biden dan Ancaman terhadap Transisi Energi Indonesia

Kompas.com - 08/12/2022, 09:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Prinsip itu, bisa saja terjadi dalam perjanjian-perjanjian internasional yang telah disepakati Indonesia. Salah satunya, transisi energi sebagai salah satu perwujudan komitmen Perjanjian Paris.

Kita tahu, transisi energi dari energi fosil menuju energi terbarukan bukan hal mudah bagi Indonesia. Memang bukan tidak mungkin, bukan tidak bisa, tapi pemerintah kita terlalu candu dan nyaman dengan sumber energi tak terbarukan, seperti migas dan batu bara. Hal itu menjadikan energi fosil seakan mendarah daging bagi masyarakat Indonesia.

Berat bagi negara beralih dan memaksimalkan potensi energi terbarukan. Berat bagi negara ini beralih dari sumber energi migas dan batu bara yang telah menggerakkan perekonomian bangsa berpuluh-puluh tahun.

Perpanjangan kontrak tambang batu bara kepada beberapa perusahaan awal tahun 2022, menjadi sebuah penegasan atas hal itu. Namun seperti yang dikatakan di atas, transisi energi bukanlah tidak mungkin. Meskipun berat dan tertatih.

Semangat transisi energi sebetulnya sudah tercermin dalam dokumen-dokumen perencanaan negara. RPJMN, KEN dan RUEN misalnya. Namun belum menjadi perhatian serius.

Di saat bersamaan, data bauran energi dari Dewan Energi Nasional (DEN) menunjukkan, 91 persen energi primer nasional berasal dari energi fosil (batu bara 37,15 persen, minyak bumi 33,58 persen, dan gas bumi 20,13 persen).

Selaras, tantangan Indonesia yang membuat transisi energi semakin sulit adalah pembiayaan. Selain paradigma/candu energi fosil, pemetaan potensi sumber energi terbarukan, pembiayaan juga menjadi masalah utama, termasuk keberpihakan pemerintah dalam APBN terhadap transisi energi.

Jangan mengorbankan kedalauan negara

Februari lalu, Bank Indonesia (BI) mengungkapkan, transisi energi terbarukan dari energi fosil membutuhkan biaya fantastis. Jumlahnya mencapai 3,5 triliun dolar atau sekitar Rp 50.050 triliun (kurs Rp 14.300) per tahunnya.

Salah satu jawaban atas kebuntuan pembiayaan terhadap pelaksanaan perencanaan pembangunan dalam suatu negara adalah utang luar negeri. Itu jalan pintas. Gampang namun bisa mengorbankan kedaulatan.

Pembiayaan dari utang luar negeri terhadap rencana pembangunan di Indonesia bukan hal tabu. Terkait pembiayaan pembangunan infrastruktur misalnya, dalam daftar rencana pinjaman luar negeri jangka menengah 2020-2024 yang dirilis Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, pemerintah berencana menarik utang dari pinjaman luar negeri sebesar 25,36 miliar dolar atau setara Rp 360,25 triliun (kurs Rp 14.200 per dolar AS) dalam kurun waktu 2020-2024.

Baca juga: Utang Luar Negeri RI Kuartal III-2022 Kembali Turun, Jadi 394,6 Miliar Dollar AS

Pinjaman ini akan digunakan untuk membiayai 25 program yang terdiri dari berbagai sektor. Di antaranya, ketahanan sumber daya air, infrastruktur ketahanan bencana, pembangunan jalan tol, transformasi pangan dan nilai tambah pertanian serta pembangunan desa.

Menurut Susan George (1992), utang luar negeri secara pragmatis justru menjadi bumerang bagi negara peminjam (debitur). Perekonomian di negara-negara penerima utang tidak menjadi semakin baik, melainkan bisa menjadi hancur.

Hal itu merupakan salah satu kesimpulan dari hasil penelitian Susan George, yang menunjukkan bahwa pada tahun 1980-an, arus modal yang mengalir dari negara-negara industri maju, yang umumnya merupakan negara kreditur, ke negara-negara yang sedang berkembang dalam bentuk bantuan pembangunan (official development assistance), kredit ekspor, dan arus modal swasta, seperti bantuan bilateral dan multilateral; investasi swasta langsung (PMA); portfolio invesment; pinjaman bank; dan kredit perdagangan (ekspor/impor), lebih kecil daripada arus aliran dana dari negara-negara yang sedang berkembang ke negara-negara maju tersebut dalam bentuk cicilan pokok utang luar negeri dan bunganya, royalti, deviden, dan keuntungan repatriasi dari perusahaan-perusahaan negara maju yang berada di negara-negara yang sedang berkembang.

Kesimpulan Susan George itu, memperkuat argumentasi yang pernah disampaikan GJ Meier (1970), bahwa arus modal asing dari negara maju ke negara dunia ketiga tidak pernah meningkat, dan masalah pelunasan utang luar negeri semakin memberatkan.

Karena itu surplus impor yang ditunjang modal asing semakin merosot, dan pengalihan sumber-sumber di luar impor yang didasarkan pada ekspor menjadi relatif tidak penting bagi sebagian besar negara dunia ketiga.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Indofarma Akui Belum Bayar Gaji Karyawan Periode Maret 2024, Mengapa?

Indofarma Akui Belum Bayar Gaji Karyawan Periode Maret 2024, Mengapa?

Whats New
Pesetujuan KPR BSI Kini Hanya Butuh Waktu Satu Hari

Pesetujuan KPR BSI Kini Hanya Butuh Waktu Satu Hari

Spend Smart
Bank Sentral Inggris Diprediksi Pangkas Suku Bunga pada Mei 2024

Bank Sentral Inggris Diprediksi Pangkas Suku Bunga pada Mei 2024

Whats New
Cara Membuat Kartu ATM BCA Berfitur Contactless

Cara Membuat Kartu ATM BCA Berfitur Contactless

Work Smart
Pertanyaan Umum tapi Menjebak dalam Wawancara Kerja, Apa Itu dan Bagaimana Cara Jawabnya?

Pertanyaan Umum tapi Menjebak dalam Wawancara Kerja, Apa Itu dan Bagaimana Cara Jawabnya?

Work Smart
Menko Airlangga soal Kondisi Geopolitik Global: Belum Ada Apa-apa, Kita Tenang Saja...

Menko Airlangga soal Kondisi Geopolitik Global: Belum Ada Apa-apa, Kita Tenang Saja...

Whats New
Pasar Perdana adalah Apa? Ini Pengertian dan Alur Transaksinya

Pasar Perdana adalah Apa? Ini Pengertian dan Alur Transaksinya

Work Smart
Apa Dampak Konflik Iran-Israel ke Industri Penerbangan Indonesia?

Apa Dampak Konflik Iran-Israel ke Industri Penerbangan Indonesia?

Whats New
HUT Ke-35 BRI Insurance, Berharap Jadi Manfaat bagi Masyarakat

HUT Ke-35 BRI Insurance, Berharap Jadi Manfaat bagi Masyarakat

Rilis
Menperin Siapkan Insentif untuk Amankan Industri dari Dampak Konflik Timur Tengah

Menperin Siapkan Insentif untuk Amankan Industri dari Dampak Konflik Timur Tengah

Whats New
Respons Bapanas soal Program Bantuan Pangan Disebut di Sidang Sengketa Pilpres

Respons Bapanas soal Program Bantuan Pangan Disebut di Sidang Sengketa Pilpres

Whats New
Freeport Indonesia Catat Laba Bersih Rp 48,79 Triliun pada 2023, Setor Rp 3,35 Triliun ke Pemda Papua Tengah

Freeport Indonesia Catat Laba Bersih Rp 48,79 Triliun pada 2023, Setor Rp 3,35 Triliun ke Pemda Papua Tengah

Whats New
KPLP Kemenhub Atasi Insiden Kebakaran Kapal di Perairan Tanjung Berakit

KPLP Kemenhub Atasi Insiden Kebakaran Kapal di Perairan Tanjung Berakit

Whats New
Wamenkeu Sebut Suku Bunga The Fed Belum Akan Turun dalam Waktu Dekat

Wamenkeu Sebut Suku Bunga The Fed Belum Akan Turun dalam Waktu Dekat

Whats New
PNS yang Dipindah ke IKN Bisa Tempati Apartemen Mulai September

PNS yang Dipindah ke IKN Bisa Tempati Apartemen Mulai September

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com