Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Buruh Soroti Pasal RKUHP, Mulai dari Pekerja Wanita Sif Malam hingga Unjuk Rasa Dipersulit

Kompas.com - 09/12/2022, 16:40 WIB
Ade Miranti Karunia,
Akhdi Martin Pratama

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) Partai Buruh Ilhamsyah menyoroti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang menurutnya tidak sedikit pasal-pasal bermasalah dan dianggap menjauh dari semangat demokrasi dan kebebasan sipil.

Pertama, terkait Living Law yang terdapat dalam Pasal 2. Menurutnya, pasal ini berbahaya, karena tidak ada batasan yang jelas mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat. Siapa pun dapat dipidana bila melakukan sesuatu yang tidak disukai oleh orang-orang yang tinggal di lingkungannya.

Hal itu membuka peluang ruang persekusi dan main hakim sendiri terhadap siapa pun yang dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di lingkungan, meskipun perbuatan tersebut bukan merupakan kejahatan.

Baca juga: Mahfud MD: Buruh dan Pengusaha Saling Membutuhkan, Keduanya Setara

"Misal ada penguasa atau siapa pun yang tak suka melihat perempuan keluar di atas jam 9 malam. Itu bisa dikriminalisasi loh. Lah, bagaimana dengan buruh perempuan yang kerja sif malam? Yang dengan presepsi tertentu dianggap perilaku yang tidak sesuai dengan norma umum di satu wilayah. Ini kan rentan," katanya melalui pernyataan tertulis, Jumat (9/12/2022).

Selain Living Law, dirinya juga menyorot pasal penghinaan presiden yang justru dianggap sangat beraroma kolonial. Pasal penghinaan tidak hanya menyangkut presiden, tetapi juga terkait lembaga negara lainnya.

Seperti diketahui, pada Pasal 349 ayat 1 RKUHP disebutkan, setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dapat dipidana hingga 1,5 tahun penjara. Ancaman pidananya bisa diperberat jika penghinaan menyebabkan kerusuhan.

Baca juga: Buruh: Menko PMK Sebaiknya Tak Berkomentar Soal No Work No Pay

"Kalau Anda sudah menjadi pejabat publik, ya enggak boleh tipis telinga. Jangan sedikit-sedikit sensi. Pejabat publik kan dihidupi dari uang rakyat, mendapat fasilitas lebih dan ragam privilege. Sementara rakyat kan tidak mendapat itu. Jadi, biarkan rakyat menikmati kebebasan sipil yang menjadi haknya," ucap Ilhamsyah.

Ilhamsyah juga menyoroti pasal yang membuat aturan unjuk rasa menjadi semakin rumit. Unjuk rasa sebagai sarana penyaluran aspirasi dalam negeri demokratis seharusnya diatur seringkas mungkin. Sepanjang tidak ada tindak kriminal, tak ada alasan untuk dipersulit.

Pada akhirnya, lanjut dia, kebebasan sipil dan demokrasi merupakan buah perjuangan anti-otoritarianisme Orde Baru di masa lalu. Kebanyakan elite yang berkuasa saat ini tidak terlibat dalam perjuangan tersebut, kecuali turut menikmati manisnya.

Dengan demikian, menjadi penting untuk merawat kebebasan sipil dan demokrasi, termasuk dalam hukum positif yang dibuat oleh negara.

Baca juga: Kala Buruh dan Pengusah Kompak Tolak Kenaikan Upah Minimum 2023

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com