Menurut Bank of International Settlement (BIS), sekitar 80 persen bank sentral di dunia sedang mengekplorasi dan mendalami kemungkinan penerbitan mata uang digital milik bank sentral (CBDC) sejak pandemi Covid-19, meningkat 10 persen dibanding tahun sebelum pandemi, termasuk Bank Indonesia (BI) yang mengumumkan buku putih soal rupiah digital (E-Rupiah) di akhir tahun ini.
Perkembangan teknologi pembayaran digital memang telah mendegradasi penggunaan uang fisik (kartal) yang menjadi produk langsung dari bank sentral dan mentransformasikannya menjadi model pembayaran digital (dengan teknologi token). Namun underlying-nya tetap mengacu kepada nilai mata uang negara yang bersangkutan.
Sementara di sisi lain, cryptocurrency (dengan teknologi blockchain) jauh lebih disruptif lagi karena hadir dengan tujuan yang jauh lebih besar dan revolusioner, yakni untuk menggantikan mata uang dari bank sentral, baik fisik maupun nilai.
Crytocurrency berusaha menjalankan ketiga fungsi utama uang yang dikelola oleh bank sentral, yakni sebagai alat pembayaran (medium of exchange), satuan hitung (unit of account), dan lindung nilai dan investasi (store of value), meskipun tidak memiliki underlying yang jelas.
Di Indonesia, fungsi ketiga sangat menonjol, yakni cryptocurrency sebagai instrument lindung nilai (investasi), bahkan sebagai instrumen spekulasi, yang ditawarkan beberapa start up jasa layanan keuangan.
Di level dunia pun sebenarnya tak jauh berbeda, cryptocurrency masih jauh dari cita-cita yang diimpikan untuk menggantikan mata uang besutan bank sentral. Bahkan pada akhirnya hanya menjadi instrumen spekulasi karena nilainya yang cenderung kurang stabil,seperti Bitcoin (stabilitas nilai menjadi salah satu syarat mata uang).
Nah, berdasarkan fakta inklusi keuangan di Indonesia yang terbilang masih rendah, IMF menyarankan BI mengambil opsi pertama dengan menjadi ratailer langsung atas uang rupiah digital. Namun rekomendasi tersebut masih perlu dipertimbangkan secara matang.
BI bisa saja mengambil dua opsi sekaligus, dengan tetap menggandeng semua perbankan yang memiliki layanan pembayaran digital dan perusahaan-perusahaan fintech yang memiliki layanan e-wallet untuk daerah perkotaan, sembari menjadi retailer langsung untuk daerah-daerah yang masih rendah tingkat ingklusi keuangannya.
Di satu sisi, rupiah digital bisa menjadi "isi" berupa uang tunai digital di dalam dompet-dompet digital (miniapps di dalam superapps). Di sisi lain, rupiah digital juga bisa menjadi aplikasi uang digital tersendiri bagi nasabah baru yang sama sekali belum memiliki rekening bank atau e-wallet.
Atas perkembangan di atas, beberapa catatan yang terkait dengan migrasi sebagian uang rupiah tunai menjadi uang rupiah digital perlu dipahami bersama. Pertama, kehadiran rupiah digital (semestinya) tidak menghilangkan hak siegniorage untuk BI/negara (selisih antara biaya produksi dan nominal uang).
Meskipun uang kartal berubah menjadi data visual di layar ponsel atau komputer, hak siegniorage BI harus dipertahankan.
Baca juga: Apa Beda Rupiah Digital dengan Uang Tunai dan Uang Kripto?
Kedua, suku bunga. Rupiah digital tidak dikenai aturan suku bunga persis seperti uang tunai yang beredar di tengah masyarakat selama ini. Meskipun nanti rupiah digital tetap tersimpan pada miniapps yang ada di dalam superapps milik fintech atau aplikasi mobile banking, selama masih berupa rupiah digital, maka aturan suku bunga tidak berlaku.
Tiga, sifat anonimitas uang akan melemah (privacy). Penggunaan uang tunai memang jamak dengan privacy alias tidak terikat secara personal dengan penggunanya (anonim). Karena itu, penggunaan uang tunai sulit terlacak. Namun perpindahan rupiah menjadi mata uang digital akan menggerus sifat anonimitas tersebut (tracable).
Memang akan ada aturan main dan perjanjian khusus, baik dengan bank sentral sebagai pemilik aplikasi langsung rupiah digital atau dengan aplikasi perantara (fintech atau mobile banking app) untuk menjaga secara ketat privasi nasabah. Namun tidak berarti jejak digitalnya hilang. Jejak digital akan tersimpan di beberapa perusahaan teknologi terkait, mulai dari bank atau fintech terkait, sampai pada pihak ketiga dan perusahaan pengembang aplikasi yang menjadi mitra fintech dan bank terkait, termasuk merchant-merchant di mana nasabah melakukan transaksi.
Keempat, terlepas BI akan menggunakan jenis teknologi apa (blockchain atau token), tetap akan ada disrupsi secara pelan-pelan pada industri perbankan di satu sisi dan penetrasi masif perusahaan fintech atau bank digital kepada kalangan non-bankable yang selama ini belum tersentuh oleh layanan perbankan konvesional di sisi lain (pengguna uang tunai).