Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Melihat Angka Inflasi AS dan Pergerakan Suku Bunga The Fed

Kompas.com - 15/12/2022, 10:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAHUN 1979, dua tahun setelah menjabat sebagai presiden, Jimmy Carter masih mendapati situasi ekonomi Amerika Serikat (AS) dalam keadaan sulit. Inflasi masih menggila, bahkan sebagian ekonom AS menyebutnya dengan sebutan era “Great Inflation,” karena untuk barang-barang tertentu kenaikannya sangat tinggi, jauh di atas "core inflation" yang tercatat 20-an persen.

Situasi ekonomi dunia ketika itu memang sedang memanas, terutama setelah eliminasi “corvertability” dollar AS terhadap emas oleh Nixon tahun 1971 (kemudian the death of Bretton Wood tahun 1973), lalu patgulipat harga minyak dunia oleh OPEC sebagai reaksi Timur Tengah atas perang Yon Kippur, invasi Soviet atas Angola (bersama dengan pasukan Kuba), berlanjut ke krisis Iran setelah revolusi Mullah, dan seterusnya.

Baca juga: Indonesia Perlu Antisipasi Dampak Resesi Ekonomi AS, Ini Saran Ekonom

Aksi moneter tegas untuk redam inflasi

Karena itu di tahun tersebut, Jimmy Carter memutuskan mengganti Gubernur Federal Reserve (The Fed), William Miller, dengan Paul Volcker, yang sebelumnya sempat menjadi Gubernur The Fed New York. Dalam beberapa minggu setelah mengambil alih kepemimpinan The Fed, Volcker dan tim berkesimpulan bahwa aksi moneter tegas (bold monetary policy) sangat diperlukan untuk menjinakan inflasi.

Untuk itu, Federal Reserve memutuskan menaikan suku bunga jangka pendek dari sekitar 10 persen menjadi 15 persen, lalu naik lagi ke level 19 persenan, menyesuaikan dengan tingkat inflasi kala itu (Taylor's Law).

Suku bunga acuan jangka pendek yang cukup tinggi itu bertahan sampai tahun 1982. Inflasi akhirnya bisa ditekan menjadi 4 persen, dengan pengorbanan di sisi lain yang cukup menyakitkan. Output industri manufaktur (Chystler harus di-bail out di tahun 1980) dan pendapatan keluarga tertekan rata-rata sebesar 10 persen, pengangguran naik hingga hampir 11 persen.

Namun, angka inflasi 4 persenan bertahan sampai 20 tahun kemudian, sampai memasuki era yang disebut oleh para ekonom AS dengan era “Great Moderation,” sebelum dihantam krisis finansial 2008.

Dengan kata lain, ada trade off yang harus dialami ketika memilih menghadapi stagflasi dengan pendekatan moneter. Stagflasi adalah anomali keynesian di satu sisi dan memudarnya validitas “kurva Phillip” di sisi lain, yang kemudian menenggelamkan keynesianisme pada tahun 1970-1980-an di AS.

Menurut kubu keynesian, niscaya inflasi terjadi bersamaan dengan “unemployment” yang tinggi karena inflasi adalah gambaran dari membaiknya “aggregate demand” (salah satu kata kunci milik kubu keynesian) dan melebarnya lapangan pekerjaan.

Sementara menurut kubu moneterist yang direpresentasikan oleh Milton Friedman, inflasi adalah soal "uang beredar terlalu banyak." Formula tersebut disederhanakan dalam ungkapan terkenal Milton Friedman kala itu, yakni "Inflation is always and everywhere a monetary phenomenon."

Dengan sudut pandang itu, cara menghadapi inflasi adalah dengan mengurangi jumlah uang beredar melalui mekanisme kenaikan suku bunga. Itulah yang dilakukan Paul Volcker ketika itu.

Walhasil, langkah Volker tersebut akhirnya menjadi pintu masuk bagi proses finansialisasi lebih dalam pada ekonomi AS untuk dekade-dekade selanjutnya. Suku bunga yang tinggi membuat produk jasa keuangan berkembang pesat, dana berbondong-bondong masuk ke sistem keuangan AS, melahirkan berbagai jenis produk investasi, terutama produk keuangan derivatif.

AS  ketiban miliaran dollar dari Jepang yang mengantongi surplus dagang besar sejak tahun 1950-an untuk menjaga agar mata uang yen tetap lemah. Lalu di awal tahun 1990-an, semakin besar dana yang mengalir, terutama dana-dana pelarian dari reruntuhan Uni Soviet.

Sejak tahun 2000-an, terutama setelah China menjadi anggota WTO, dana dari China kian membanjiri AS untuk menjaga mata uang yuan tetap undervalued.

Kelebihan likuiditas tersebut, sering disebut dengan istilah glut fund, kemudian meledak di krisis Long Term Capital Management (LTCM) di akhir tahun 1990-an, lalu meledak lagi di krisis dot com awal tahun 2000-an.

Karena sektor riil bergerak tidak secepat pergerakan modal, dana-dana akhirnya mengalir ke model bisnis baru yang berbasiskan transaksi online yang menjadi awal cerita krisis dot com.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com