Hal itu kemudian disikapi oleh Gubernur The Fed yang baru ketika itu, Alan Greenspan, dengan semakin melandaikan suku bunga The Fed, yang memicu dana semakin banyak mengalir ke aset-aset keuangan berbasiskan kredit sektor perumahan berisiko tinggi (supreme mortgage) seperti Mortgage Backed Securities (MBS), Collateralized Dept Obligation (CDO), dan Credit Dept Swap (CDS).
Baca juga: Tahun Depan, The Fed Diyakini Tak Akan Seagresif 2022
Setelah pecah gelembung LTCM, lalu gelembung dot com, kemudian tahun 2008 gelembung aset sampah berbasis kredit perumahan berisiko tinggi itu pun ikut pecah. Bukan hanya AS yang dibuat sakit perut, seluruh dunia pun terbawa mual-mual, termasuk dengan tumbangnya Bank Century di Indonesia tahun 2008.
Para moneteris menyalahkan Alan Greenspan yang membiarkan suku bunga sangat rendah dalam rentang waktu yang lama. Alan dituduh terlalu berpihak kepada inovasi produk-produk keuangan, mulai dari yang berbasiskan teknologi sampai pada produk dengan leverage tinggi (derivatif), yang menyebabkan gelembung berbahaya.
Namun menurut para new keynesian, kebijakan suku bunga rendah Alan Greenspan sangat bisa dipahami mengingat “aggregate demand” yang rendah kala itu sehingga The Fed terus melonggarkan kredit agar sektor riil bisa tetap mendapat kelimpahan dana.
Selain kasus AS di tahun 1970-80-an, pengalaman China setelah Peristiwa Tianamen Square layak dijadikan pelajaran. Inflasi China kala itu sampai 28 persen akibat peningkatan tajam aggregate demand yang dipicu oleh kebijakan pintu terbuka Deng Xiaping. Secara politik, setelah peristiwa Tianamen, pemerintahan Jiang menerapkan martial law.
Secara moneter, pemerintah mencekik likuiditas. Walhasil, pertumbuhan ekonomi China "nyungsep" dari 11, 2 persen di tahun 1988 menjadi 4,2 persen di tahun 1989, lalu turun lagi menjadi 3,9 di tahun 1990. Pertumbuhan ekonomi China baru kembali ke jalur awal setelah kembali kepada kebijakan liberalisasi ekonomi pasca "southern tour" Deng Xiaping di tahun 1992.
Tahun itu, ekonomi China kembali tumbuh dua digit, 14,2 persen. Tahun 1993 tumbuh 13,9 persen, tahun 1994 tumbuh 13 persen, dan tahun 1995 tumbuh 11 persen.
Kini, AS kembali kembali berada pada era yang mirip dengan era 1970-an akhir dan 1980-an awal. Perekonomian AS, setelah dibuat lunglai oleh pandemi Covid-19 dua tahun terakhir, kini diterpa inflasi tinggi dan pengangguran yang juga tinggi (stagflasi).
The Fed terlihat bimbang. Berbulan-bulan sejak pertengahan tahun lalu The Fed mengulur-ngulur waktu kenaikan suku bunga dan penghentian kebijakan Quantitative Easing (QE). Pasalnya, kondisi overheated kali ini bukan karena peningkatan “aggregate demand,” tapi karena kenaikan harga komoditas dunia dan kelangkaan supply akibat perang dagang dan perang Ukraina di satu sisi serta terlalu banyak uang yang beredar di sisi lain akibat kebijakan QE di masa lalu dan menggelembungnya utang pemerintahan di sisi lain (money printing).
The Fed sangat tidak mungkin mengambil langkah agresif dengan menaikan nominal suku bunga yang tinggi, sebagaimana yang dilakukan Paul Volcker, karena akan menekan kesempatan kerja di satu sisi dan memperburuk performa ekonomi global di sisi lain, yang akan merugikan ekspor dan investasi luar negeri perusahaan-perusahaan AS.
Baca juga: The Fed Naikkan Lagi Suku Bunga 75 Bps ke Level Tertinggi sejak 2008
Namun membiarkan ekonomi overheated di saat “aggregate demand” yang biasa-biasa saja akan merusak fondasi ekonomi dan industri negeri AS. Daya beli kelas menengah dan kelas bawah akan hancur di satu sisi dan daya saing industri dalam negeri akan berantakan dihantam produk-produk impor murah di sisi lain.
Kehati-hatian tersebut sangat bisa dipahami mengingat dual mandat yang diemban The Fed, yakni pengendalian inflasi dan peningkatan lapangan pekerjaan (inflation and unemployment). Karena itu, dalam hemat saya, suku bunga The Fed akan naik sampai level lima persen, lalu bertahan untuk waktu yang cukup lama.
Artinya, lima persen adalah angka moderat bagi AS untuk menjinakan inflasi di satu sisi dan menjaga “aggregate demand” di sisi lain.
Agak berbeda dengan Bank Indonesia (BI) yang sejak beberapa tahun belakangan lebih fokus pada pendekatan Inflation Targeting Framework (ITF). Namun demikian, berkaca pada pengalaman AS di era Great Inflation dan kehati-hatian The Fed hari ini, sangat wajar jika BI juga berhati-hati dalam mereaksi tingkat inflasi di satu sisi dan menyikapi kebijakan The Fed di sisi lain.
Inflasi Indonesia secara komparatif tidaklah tinggi, tapi angka pengangguran mulai agak mengkhawatirkan. Inflasi di Indonesia sejak Mei lalu lebih banyak disebabkan oleh kelangkaan dan mahalnya harga komoditas di satu sisi dan tata kelola rantai pasok di sisi lain, bahkan besar kemungkinan juga masuk kategori “greedflation” (meminjam istilah David Ruccio), alias inflasi akibat permainan oligarki komoditas untuk meraub cuan sebesar-besarnya.
Artinya, menaikan suku bunga hanya karena mereaksi The Fed rasanya menjadi kebijakan yang kurang fair untuk ekonomi nasional, terutama jika dikaitkan dengan misi pelebaran tenaga kerja dan penjagaan pertumbuhan ekonomi nasional yang dengan segala cara sedang diupayakan pemerintah. Namun semakin tipisnya jarak antara suku bunga The Fed dan suku bunga acuan BI akan memperbesar peluang capital outflow di satu sisi dan menekan rupiah secara masif di sisi lain (sebagaimana yang terjadi beberapa bulan belakangan).
Baca juga: Ada Tren Kenaikan Suku Bunga BI, Ini Dampaknya ke Bunga Simpanan Bank
Jadi bagaimanapun, dunia usaha dalam negeri harus siap menerima suku bunga acuan BI parkir di angka 6-7 persen di saat suku bunga The Fed nanti sampai ke level lima persen.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.