PASCA-Orde Baru, Indonesia tidak lagi mempunyai pendekatan ekonomi strategis developmental untuk menguatkan fondasi dan struktur perekonomian nasional sebagaimana yang pernah ditawarkan Mafia Berkeley kepada Soeharto.
Meskipun mengantongi citra negatif di dalam negeri, para ekonom besutan California University tersebut berhasil membangun "basement" ekonomi dengan developmental platform yang kokoh di Bappenas, kemudian merembes ke Kementerian Keuangan, kementerian Pertanian, dan Kementerian Industri dan Perdagangan di satu sisi dan Bank Indonesia di sisi lain (represi finansial).
Walhasil, Orde Baru yang otoriter sekalipun ikut tertular nutrisi keajaiban Asia yang dimulai oleh Jepang sejak tahun 1950-an dengan angka pertumbuhan rata-rata 7 persen per tahun.
Bahkan setahun menjelang dihantam krisis moneter, Orde Baru masih percaya diri mencatatkan angka pertumbuhan nyaris 8 persen pada 1996.
Soeharto tidak sepenuhnya alias setengah hati mengikuti langkah Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan, plus diskresi kepada kroni dan anggota keluarga Cendana, sehingga saat berhadapan dengan krisis, rezim ekonomi Orde Baru ikut kolaps keprabon.
Chalmers Johnson memperkenalkan istilah "developmental state" tahun 1982 terkait dengan keajaiban ekonomi Jepang dengan peran strategis yang dimainkan oleh Minister of International Trade dan Industry (MITI-satara dengan Bappenas era Soeharto dan National Development and Reform Commission di China hari ini pengganti Central Planning Commission) dalam mendorong secara maksimal Jepang menjadi negara maju dalam waktu yang jauh lebih singkat dibanding Inggris dan Amerika.
Dan kemudian, Robert Wade tahun 1990 menguatkan konsep tersebut dengan memperkenalkan istilah "Governed Market" terkait dengan gaya pembangunan ekonomi Taiwan dan Korea Selatan yang menjiblak dari Jepang di satu sisi dan kecipratan keajaiban ekonomi Jepang di sisi lain, yang membuat kedua negara tersebut juga lebih cepat dibanding Jepang dalam mencapai posisi negara berpendapatan menengah.
Menurut Joe Studwell, secara ideasional Jepang berhasil mengambil posisi tengah antara kiri ekstrem dan kanan ekstrem dan berhasil menyejajarkan diri sebagai negara industri dengan negara-negara Eropa dan Amerika Utara sebelum perang dunia pertama.
Jepang, tulis Studwell, justru kepincut dengan ide proteksi industri versi Friederich List, ketimbang ide Karl Marx dan Adam Smith.
Dan memang, Friederich List, nampaknya adalah ekonom besar dari Jerman yang ketenarannya mengekor di belakang Karl Marx.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.