Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Refleksi Pembangunan Ekonomi Nasional

Kompas.com - 20/12/2022, 13:50 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PASCA-Orde Baru, Indonesia tidak lagi mempunyai pendekatan ekonomi strategis developmental untuk menguatkan fondasi dan struktur perekonomian nasional sebagaimana yang pernah ditawarkan Mafia Berkeley kepada Soeharto.

Meskipun mengantongi citra negatif di dalam negeri, para ekonom besutan California University tersebut berhasil membangun "basement" ekonomi dengan developmental platform yang kokoh di Bappenas, kemudian merembes ke Kementerian Keuangan, kementerian Pertanian, dan Kementerian Industri dan Perdagangan di satu sisi dan Bank Indonesia di sisi lain (represi finansial).

Walhasil, Orde Baru yang otoriter sekalipun ikut tertular nutrisi keajaiban Asia yang dimulai oleh Jepang sejak tahun 1950-an dengan angka pertumbuhan rata-rata 7 persen per tahun.

Bahkan setahun menjelang dihantam krisis moneter, Orde Baru masih percaya diri mencatatkan angka pertumbuhan nyaris 8 persen pada 1996.

Soeharto tidak sepenuhnya alias setengah hati mengikuti langkah Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan, plus diskresi kepada kroni dan anggota keluarga Cendana, sehingga saat berhadapan dengan krisis, rezim ekonomi Orde Baru ikut kolaps keprabon.

Chalmers Johnson memperkenalkan istilah "developmental state" tahun 1982 terkait dengan keajaiban ekonomi Jepang dengan peran strategis yang dimainkan oleh Minister of International Trade dan Industry (MITI-satara dengan Bappenas era Soeharto dan National Development and Reform Commission di China hari ini pengganti Central Planning Commission) dalam mendorong secara maksimal Jepang menjadi negara maju dalam waktu yang jauh lebih singkat dibanding Inggris dan Amerika.

Dan kemudian, Robert Wade tahun 1990 menguatkan konsep tersebut dengan memperkenalkan istilah "Governed Market" terkait dengan gaya pembangunan ekonomi Taiwan dan Korea Selatan yang menjiblak dari Jepang di satu sisi dan kecipratan keajaiban ekonomi Jepang di sisi lain, yang membuat kedua negara tersebut juga lebih cepat dibanding Jepang dalam mencapai posisi negara berpendapatan menengah.

Menurut Joe Studwell, secara ideasional Jepang berhasil mengambil posisi tengah antara kiri ekstrem dan kanan ekstrem dan berhasil menyejajarkan diri sebagai negara industri dengan negara-negara Eropa dan Amerika Utara sebelum perang dunia pertama.

Jepang, tulis Studwell, justru kepincut dengan ide proteksi industri versi Friederich List, ketimbang ide Karl Marx dan Adam Smith.

Dan memang, Friederich List, nampaknya adalah ekonom besar dari Jerman yang ketenarannya mengekor di belakang Karl Marx.

Di masa restorasi Meiji, pemerintahan Jepang memilih mengirim birokrat-birokratnya ke Jerman untuk mempelajari keberhasilan industrialisasi Rezim Otto Von Bismarch, sebelum Inggris dan Perancis cemburu, lalu mendorong dunia tergelincir ke dalam perang dunia pertama.

Dan pascaperang dunia kedua, di bawah supervisi dan technical assistance dari Amerika, Jepang justru tidak berpaling begitu saja kepada model ekonomi Paman Sam, tapi meneruskan tradisi indistrialisasi sebelumnya, dengan diawali reformasi agraria terukur di bawah supervisi Wolf Ladejinsky, ekonom pertanian yang kabur dari Rusia pascarevolusi komunis 1917, lalu bekerja untuk departemen pertanian Amerika setelah mendapat gelar master dari Columbia University.

Pada mulanya, Ladejinsky disiapkan oleh Amerika untuk membantu Chiang Kai Shek di China, terutama untuk menyiapkan konsep reforma agraria yang akan menyaingi ide kolektivisasi lahan versi Mao.

Namun setelah Chiang gagal dan minggir ke Taiwan yang sejak 1885 telah dikuasai Jepang, Ladejinsky diperbantukan untuk Supreme Commander Asia Pasifik yang incharge di Jepang, Jenderal Douglas McArthur, di mana Walt Rustow sang penulis The Stages of Economic Growth juga ikut ambil andil.

Di sanalah Ladejinski menunjukan kebolehan ide reforma agrarianya. Sekitar satu juta lahan nonproduktif dan 4 jutaan lahan milik tuan tanah (landlord) berhasil dialihmilikan kepada masyarakat Jepang dengan konsesi surat utang negara berbunga 3 persen kepada para tuan tanah, yang menjadi landasan dasar revolusi pertanian dan bermulanya industrialiasi di perkotaan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com