NAMPAKNYA, amarah Bupati Kepulauan Meranti M Adil kepada pemerintah pusat sudah sampai di ubun-ubun. Dia sampai menyebut, apakah Kementerian Keuangan diisi iblis atau setan?
Hal itu disampaikannya di dalam pertemuan yang dihadiri Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri, serta kepala daerah.
Apa yang membuat Adil begitu marah? Persoalannya Anda sudah tahu: mengenai bagi hasil minyak bumi. Pernyataan Adil itu memecah keheningan hubungan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.
Pernyataan Bupati Meranti direspons banyak pihak, mulai dari anggota DPR, Kementerian Keuangan, sampai Kementerian Dalam Negeri. Apa yang bisa kita pelajari dari kasus Meranti itu?
Sebenarnya, apa yang terjadi di Meranti bukan hal baru, dialami oleh banyak daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak dan gas.
Setidaknya, dari kasus Meranti kita dapat membaca dua hal: Pertama, hubungan yang tidak setangkup antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (selanjutnya saya menyebutnya pusat dan daerah). Kedua, kemiskinan di daerah penghasil sumber daya alam.
Hubungan pusat dan daerah ini memang jatuh bangun, kembang kempis. Pada masa orde baru, sistem pemerintahan sangat sentralitik. Semua berasal dari pusat.
Pada fase ini kreatifitas dan keberagaman daerah mati suri, atau lebih tepatnya dimatikan, semua hendak diseragamkan.
Misalnya saja penyebutan desa, padahal masing-masing daerah memiliki nama tersendiri, semisal Gampong di Aceh, Nagari di Sumatera Barat, dan beberapa penyebutan lain.
Upaya penyeragaman itu bukan hanya dari penyebutan istilah, namun juga penyusunan program. Pusat seolah-olah yang paling mengetahui kebutuhan daerah.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.