Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Disrupsi Kereta Cepat

Kompas.com - 24/12/2022, 16:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ITALIA mulai memperkenalkan kereta cepat tahun 2008 dengan hadirnya perusahaan kereta cepat Frecciarossa yang melayani rute pertamanya dari Roma ke Milan. Rutenya terus berkembang dari tahun ke tahun, hampir meliputi semua kota besar di Italia.

Lalu tahun 2012, muncul kereta cepat pendatang baru berbaju swasta bernama Nuovo Trasporto Viaggiatori, yang sampai tahun 2021 lalu telah memiliki 54 rute di hampir semua kota besar di Italia.

Namun tanggal 14 Oktober 2021, perusahaan penerbangan Italia, Alitalia Airlines, melakukan rute penerbangan terakhirnya, sebelum tutup usia pada tahun yang sama. Mengapa Alitalia tutup usia? Jawabannya adalah Frecciarossa dan Nuovo Trasporto Viaggiatori.

Dua operator kereta cepat tersebut telah membunuh Alitalia Airlines secara perlahan selama lebih kurang 11 tahun.

Dengan peningkatan penumpang rata-rata 7 persen per tahun, sangat bisa dipahami mengapa kereta cepat di Italia mendadak menjadi predator yang membuat Alitalia Airlines berada di posisi korban sebelas tahun kemudian.

Namun keputusan Italia sangat bisa dipahami mengingat Italia bukanlah pemain penting dalam industri pesawat terbang atau otomotif.

Tak berbeda dengan Jepang, misalnya, yang juga bukan pemain utama dalam industri pesawat terbang. Pun kereta cepat tak melibas industri otomotif Jepang karena pasar domestik bukanlah target utama industri otomotif negari Sakura tersebut.

Sangat berbeda dengan Amerika, misalnya, yang sampai hari ini masih memosisikan opsi proyek kereta cepat "off the table."

Di Amerika, industri pesawat terbang, industri otomotif, industri tambang migas, dan jasa layanan jalan tol, adalah empat jenis industri yang berpengaruh signifikan dalam perekonomian Amerika.

Memang mobil Jepang, terutama Toyota, telah berhasil menyudutkan industri otomotif Amerika sejak tahun 1980-an karena irit bensin (tahun 1970-1980 terjadi krisis harga minyak dunia).

Meski demikian, industri otomotif Amerika masih memiliki peran penting, terutama industri truk dan trailer.

Truk dan trailer bergerak lincah di jalan tol antarnegara bagian (interstates highway). Mereka membawa berbagai jenis muatan dan menjadi salah satu kunci "supply chain" di Amerika sampai hari ini.

Di sisi lain, para traveler pun demikian. Mereka mengendarai mobil pribadi secara bebas via jalan tol lintas negara bagian dan membakar puluhan juta galon bensin dan menyerap jutaan produksi industri mobil setiap tahun.

Tak diragukan lagi, mereka adalah tipikal manusia-manusia yang mewakili wajah "American Dream" di satu sisi dan telah menopang industri migas, otomotif, dan layanan jalan bebas hambatan di Amerika sejak awal abad 20 di sisi lain.

Begitu pula industri pesawat terbang. Bersaing dengan Airbus, Boeing adalah satu dari dua pemain utama industri pesawat terbang dunia, yang mewakili Amerika sebagai negara pelopor teknologi tinggi.

Eksistensi Boeing dan besarnya pasar industri layanan penerbangan domestik (alternatif utama bagi traveler selain jalur darat) di Paman Sam adalah satu dari beberapa pertimbangan penting mengapa Amerika belum juga melirik kereta cepat.

Lantas bagaimana dengan kereta cepat di Indonesia, tepatnya kereta cepat Jakarta-Bandung?

Ya, tak ada rute penerbangan antara kedua kota, karena jaraknya yang tidak terlalu jauh, plus minus 140-an km. Jadi tak akan ada korban di industri penerbangan jika kereta cepat diterapkan. Kalau rutenya sampai ke Surabaya, mungkin ceritanya akan berbeda.

Tapi ada beberapa moda transportasi dan ada layanan jalan bebas hambatan dari Jakarta ke Bandung. Moda transportasi tersebut adalah kereta api (ekonomi dan eksekutif), bus, travel, dan kendaraan pribadi.

Semuanya rerata memakan waktu plus minus 3-4 jam perjalanan. Butuh waktu untuk membuktikan moda transportasi Jakarta-Bandung mana yang akan terkapar duluan setelah kereta cepat dimulai.

Santer dikabarkan bahwa Argo Parahyangan, layanan kereta api eksekutif Jakarta-Bandung, akan menjadi korban pertamanya.

Tapi nampaknya tak ada masalah bagi BUMN PT. KAI yang mengoperasikan Argo Parahyangan. Pasalnya, PT. KAI adalah salah satu pemegang saham terbesar kereta cepat Jakarta-Bandung.

Boleh jadi bagi PT. KAI, keputusan menutup Argo Parahyangan untuk menoleransi eksistensi kereta cepat adalah pilihan bisnis yang masuk akal.

Sebut saja dalam istilah bisnis apa yang dilakukan PT. KAI adalah "hedonic adjustment" alias peningkatan kualitas produk. Atau dalam bahasa Schumpeter, "creative destruction".

Ya, ibarat sekuensi produk Iphone 6 ke Iphone 7 lalu ke Iphone 8, 9,10,11 dan seterusnya. Tak masalah pakai layanan kredit atau Paylater dari aplikasi ecommerce yang pemilik saham utamanya adalah Ali Baba, yang penting bisa pakai Iphone terbaru.

Tapi lagi-lagi pertanyaanya, apakah masuk akal secara bisnis? Boleh jadi masuk akal. Kereta cepat Jakarta Bandung menarget pasar sekitar 31.000 penumpang per hari. Sementara Argo Parahyangan hanya mengantongi rerata 11.000 penumpang per hari.

Dari mana sisanya? Jawabannya, pengguna kendaraan pribadi yang melewati jalan Tol Jakarta Bandung dan pengguna travel premium.

Sebut saja 11.000 penumpang Argo Parahyangan bermigrasi ke kereta cepat, lalu Argo Parahyangan menjadi "almarhum".

PT. KAI kehilangan bisnis kereta eksekutif Jakarta-Bandung, pembeli mobil pribadi dan pengguna tol mungkin berkurang, serta pengguna travel eksekutif juga demikian.

Sebagai gantinya, PT. KAI mendapat teknologi baru bernama kereta cepat dan mendapatkan sebagian besar proporsi saham yang menjadi bagian pemain dalam negeri (sekian persen dari 60 persen saham kereta cepat).

Penjualan mobil dan pengguna jalan tol boleh jadi berkurang, pengusaha travel permium gigit jari, tapi tentu bukan urusan PT. KAI. Setidaknya, diasumsikan macet akan berkurang di jalur Jakarta-Bandung

Namun "kehilangan" Argo Parahyangan tidak serta merta bisa ditambal dengan hadirnya kereta cepat Jakarta-Bandung. Karena utang tentu harus dibayar terlebih dahulu, mungkin beberapa puluh tahun.

Teknologinya tetap punya China karena semuanya dibuat di sana, walaupun dipasang di sini.

Lebih dari itu, sebelumnya PT. KAI menikmati bisnis Argo Parahyangan sendiri, tapi nanti tentu harus berbagi dengan yang lain, baik dengan sesama pemilik saham dalam negeri maupun dengan China yang memiliki 40 persen saham kereta cepat.

Dengan demikian, apakah masuk akal secara bisnis? Menurut PT. KAI, keputusan memangkas waktu perjalanan menjadi 40 menit dan mengistirahatkan Argo Parahyangan tersebut masuk akal.

Jadi, anggap saja masuk akal. Toh di dalam PT. KAI sendiri, dan di dalam banyak BUMN lainya, memang banyak orang pintar dan mereka pastinya telah melakukan perhitungan bisnis terlebih dahulu.

Walhasil, mereka telah memutuskan untuk "sticked with the plan", jadi mari kita nikmati saja. Kita bisa bilang apa, toh?

Kalau Anda pernah naik kereta cepat Tokyo-Kyoto atau Mekah-Medinah, misalnya, pasti anda akan menyukainya. Nyaman dan menyenangkan.

Pengurangan jam perjalanan dari 4 jam menjadi 40 menit adalah "good deal", setidaknya begitu menurut PT. KAI atau menurut Xi Jinping.

Ongkosnya memang naik menjadi Rp 200.000 - Rp 350.000, tapi itu risiko bagi penumpang, bukan risiko bagi PT. Setidaknya, secara sarkastik kereta cepat adalah good deal. Ya, sekali lagi, good deal. Ya, secara sarkastik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com