Pabrik itu bisa memproduksi banyak komponen sekaligus karena bisa dijual dan dipakai untuk beberapa jenis pesawat sehingga proses produksinya lebih efektif efisien.
Pabrik komponen pesawat tersebar di seluruh dunia, termasuk di antaranya PTDI Indonesia. Walaupun tersebar, kualitas komponennya sama, karena harus sesuai dengan konsep desain yang dikembangkan oleh pabrik “asembly” pesawat itu.
Sebelum pabrik komponen dikontrak, akan diaudit dulu oleh pabrik pesawat sehingga nanti produksinya sesuai dengan yang dibutuhkan.
Setelah pesawat selesai dirakit, harus menjalani tes keselamatan dan kelaikudaraan (laik terbang) oleh otoritas penerbangan asal pabriknya dan kemudian mendapat sertifikasi sehingga dapat dijual ke seluruh dunia.
Saat maskapai di suatu negara ingin membeli pesawat ini, maka pesawatnya juga harus diuji sertifikasi dulu oleh negara asal maskapai tersebut.
Misalnya TransNusa yang membeli, maka pesawat itu harus diuji dulu oleh Direktorat Kelaikudaran dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKUPPU) Kementerian Perhubungan Indonesia.
Semua itu untuk memastikan bahwa pesawat tersebut laik untuk terbang dengan selamat dan nyaman.
Kembali ke pesawat ARJ 21, mesinnya pakai GE CF34-10A produksi General Electric dan perangkat tenaga cadangan (auxiliary power unit /APU) memakai APS2600A produksi Pratt & Whitney, keduanya pabrik dari Amerika. Begitupun sistem avioniknya dari pabrikan Rockwell Collins, Amerika.
Sedangkan sistem roda pendarat (landing gear) dari Liebherr, Swiss. Kokpit pesawat memakai filosofi dark cockpit, yaitu dalam keadaan normal, tidak ada lampu yang menyala. Filosofi ini dikembangkan oleh Airbus, pabrikan dari Eropa.
Desain ARJ 21 sebenarnya juga pengembangan dari pesawat produksi pabrikan McDonell Douglas dari AS, yaitu seri MD 80 – 90 yang dibeli lisensinya oleh COMAC. Jadi boleh dikata, ini pesawat China tapi rasa dunia.
Mungkin banyak yang bertanya, mengapa TransNusa akan memakai pesawat yang terbilang mungil, karena kapasitasnya hanya 100-an kursi, jika dibanding dengan Boeing 737 NG atau Airbus A320 yang kapasitasnya 180-200 kursi dan selama ini banyak dipakai masakapai Indonesia?
Jawaban pastinya tentu hanya manajemen TransNusa yang tahu. Namun saya bisa menganalisanya begini.
Walaupun mungil, pesawat jet ini ternyata bisa dikatakan sebagai mesin pencetak uang bagi maskapai penerbangan.
Hal ini karena sejak awal kapasitasnya dibuat kecil dan biaya operasionalnya disesuaikan dengan kapasitasnya, tapi tetap mempunyai daya jelajah yang jauh karena memakai mesin jet, bukan propeller atau baling-baling.
Maka pesawat ini akan efisien terutama untuk menerbangi rute dengan pasar yang tidak terlalu besar. Begitu juga akan efisien untuk mengangkut penumpang yang tidak bisa dilayani oleh maskapai yang memakai pesawat lebih besar.