Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pierre-Jean Châlon
Head of Hybrid Work Solutions and Peripherals, APJ, HP

Pierre-Jean Châlon adalah Head of Hybrid Work Solutions and Peripherals, APJ, HP. Châlon memiliki pengalaman lebih dari 30 tahun dalam mendorong keberhasilan di bisnis industri teknologi dalam lingkungan yang sangat kompetitif. Dia telah menetap di Kawasan Asia Pasifik selama 25 tahun dan saat ini tinggal di Singapura. Châlon dikenal dengan gaya kepemimpinan yang inklusif serta sukses membangun tim berkinerja tinggi dengan keahlian yang beragam. Châlon menyandang gelar Master di bidang rekayasa dari the Institut National Des Télécommunications (INT-Telecom SudParis), Evry, Perancis.

Gen Z dan Fleksibilitas Bekerja Tahun 2023

Kompas.com - 29/12/2022, 13:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DUNIA kerja telah mengalami perubahan besar dalam beberapa tahun terakhir. Diawali kebangkitan para pengembara digital (digital nomad) pada masa sebelum pandemi Covid-19, disusul kemunculan model kerja jarak jauh selama pandemi.

Ketika pandemi mendekati akhir, model kerja hybrid menjadi andalan banyak perusahaan.

Seperti apa kondisi dunia kerja tahun 2023, baik dari persepsi para karyawan maupun tempat kerja itu sendiri?

Fleksibilitas dan model kerja hybrid

Pada tahun 2023, ‘kerja hybrid’ tidak lagi menjadi tren, namun sudah menjadi bagian dari kerja keseharian yang intinya adalah fleksibilitas.

Sebuah studi mengungkapkan bahwa 66 persen karyawan di Indonesia ingin bekerja secara remote atau hybrid. Mereka kini lebih memprioritaskan kesehatan dan wellbeing ketimbang pekerjaan, dibandingkan saat sebelum pandemi.

Laporan IDC terbaru juga mengungkapkan sentimen yang sama di seluruh Asia Pasifik. Sebanyak 56 persen karyawan di kawasan ini menginginkan model kerja fleksibel dengan pilihan untuk bekerja di kantor dan dari jarak jauh.

Sementara itu, dunia usaha kini lebih terbuka terhadap kerja hybrid. Dalam survei terbaru yang dilakukan Centre for Creative Leadership, para pemimpin perusahaan di Jepang, Australia, dan Vietnam lebih terbuka terhadap pengaturan kerja karyawan yang tidak 100 persen bekerja di kantor.

Singapura berada di posisi teratas dalam menerapkan normalisasi kerja hybrid, dan menawarkan fleksibilitas kepada para karyawan mereka untuk bekerja di mana saja, kapan saja.

Kecil sekali kemungkinan perusahaan akan meminta karyawan mereka untuk sepenuhnya bekerja di kantor.

Tentunya sangat menggembirakan melihat banyak perusahaan memiliki pandangan demikian. Meskipun harus diakui tidak semua posisi bisa diisi karyawan yang bekerja secara hybrid.

Future of Work Survey 2022 yang dilakukan JLL, mengungkapkan bahwa 56 persen responden perusahaan-perusahaan di Asia Pasifik berencana menerapkan model kerja remote lagi bagi semua karyawan tahun 2025.

Kecenderungan serupa terjadi di Indonesia. Meski tidak ditemukan data riset, banyak perusahaan di Jakarta, misalnya, diketahui telah menerapkan model kerja hybrid yang hanya mewajibkan karyawan datang ke kantor 2-3 hari dalam seminggu.

Bahkan tidak sedikit perusahaan yang menerapkan model kerja dari mana saja, tanpa kewajiban bagi karyawan untuk datang ke kantor, kecuali jika ada keperluan mendesak. Model kerja seperti ini diperkirakan akan berlanjut hingga tahun depan.

Aksesibilitas lebih penting dibanding kehadiran

Salah satu justifikasi terbesar yang mendorong karyawan datang ke kantor adalah kebutuhan terkoneksi lebih baik dengan para kolega mereka untuk menyelesaikan pekerjaan kantor.

Ketika karyawan terus mendorong agar fleksibilitas menjadi standar, maka perusahaan perlu mencari cara lain agar karyawan tetap bisa membuat koneksi yang tepat untuk menyelesaikan pekerjaan.

Ketika pergi ke kantor terasa tidak masuk akal, misalnya waktu tempuh dari rumah ke kantor yang sangat lama, maka teknologi yang tepat bisa membantu para karyawan untuk bertatap muka meskipun secara virtual.

Investasi dalam teknologi bisa membuat seluruh karyawan merasakan pengalaman kerja yang setara. Teknologi tersebut bisa berupa video yang membuat kehadiran peserta di rapat virtual terasa sangat penting, atau audio yang membuat suara para peserta rapat terdengar jelas tanpa suara berisik yang mengganggu.

Pada saat yang sama, solusi kolaborasi yang tidak tergantung pada platform teknologi tertentu membuat departemen IT bisa meraih manfaat dari model kerja hybrid tanpa harus menggelar infrastruktur audio dan video baru.

Para karyawan bertemu langsung di kantor adalah satu cara untuk menyelesaikan pekerjaan. Namun teknologi yang tepat bisa membantu menghubungkan para karyawan yang bekerja di lokasi dan zona waktu berbeda untuk bersama-sama memecahkan tugas-tugas besar perusahaan.

Kebangkitan Gen Z

Gen Z atau Zoomers, adalah mereka yang lahir antara tahun 1997 dan 2010, dengan usia tertua saat ini 23 tahun.

Kaum Gen Z di diperkirakan akan mewakili sekitar 27 persen dari total tenaga kerja global tahun 2025. Mereka adalah generasi digital pertama sesungguhnya yang tidak bisa tanpa internet.

Gen Z merupakan anak-anak muda digital native yang penuh percaya diri dan kehidupan keseharian mereka tidak lepas dari teknologi.

Jadi tidak heran jika di lingkungan kerja, ekspektasi mereka seputar teknologi sangat berbeda dengan karyawan dari generasi sebelumnya.

Mereka juga lebih pragmatis dalam membangun hubungan pribadi maupun kemitraan di tempat kerja.

Bagi mereka, pengalaman belajar lebih penting dari kesetiaan terhadap tempat kerja dan pekerjaan adalah sarana untuk mencapai tujuan akhir dalam kehidupan karir mereka.

Dengan kehadiran karyawan dari kalangan Gen Z, para pemimpin bisnis harus menyesuaikan ekspektasi mereka. Hal-hal yang sesuai untuk karyawan millennial, apalagi Boomer, tidak akan sesuai dengan Zoomer.

Oleh karena itu, praktik-praktik seperti budaya organisasi, pelatihan dan retensi karyawan harus ditata ulang demi mengakomodasi kebutuhan dan ekspetasi kelompok karyawan ini.

Tentunya tetap memastikan agar kebutuhan dan ekspetasi karyawan dari generasi sebelumnya juga bisa terpenuhi.

Perusahaan bisa membangun fondasi yang lebih kuat bagi karyawan generasi baru ini dengan cara berupaya untuk lebih memahami personal lingkungan kerja mereka, atau model kerja yang lebih mereka sukai.

Opini dan reaksi mereka terhadap kebijakan kerja juga harus dipertimbangkan. Informasi seperti ini sangat bermanfaat bagi perusaaan karena bisa membantu mengarahkan agar investasi mereka dalam solusi teknologi dan gedung kantor bisa membuat para karyawan bekerja dengan lebih baik.

Jadi, guna menarik dan mempertahankan para karyawan berbakat, saat ini para pemimpin perusahaan harus benar-benar memperhatikan suara dari karyawan mereka, baik kalangan Gen Z atau generasi lain.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com