Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Said Abdullah
Ketua Badan Anggaran DPR-RI

Ketua Badan Anggaran DPR-RI. Politisi Partai Demoraksi Indonesia Perjuangan.

Mengantisipasi Perang Harga Minyak di Tahun 2023

Kompas.com - 30/12/2022, 11:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERANG Rusia dan Ukraina merembet kemana-mana, bukan hanya perlombaan peralatan tempur di wilayah Ukraina seperti di Donbas dan sekitarnya.

Awal Desember ini Uni Eropa dan negara-negara yang tergabung dalam G 7 serta Australia membuat langkah bersama terhadap perdagangan minyak bumi. Mereka menerapkan batasan harga minyak mentah lintas laut Rusia sebesar 60 dolar AS per barel. Perusahaan-perusahaan yang berbasis di Uni Eropa (UE) dan negara-negara G7 serta Australia dilarang untuk menyediakan layanan yang memungkinkan transportasi laut, seperti asuransi, bagi minyak Rusia yang dijual di atas batas harga yang ditentukan.

Langkah bersama itu mereka niatkan untuk membuat harga minyak bumi Rusia kian jatuh. Melalui kebijakan tersebut mereka berharap dompet Rusia menipis sehingga kemampuan pembiayaan perangnya di Ukraina menurun.

Sebab berkah harga minyak dan gas bumi yang tinggi akibat perang membuat pundi-pundi Rusia kian menebal sehingga kemampuan Rusia membiayai operasi militer mereka di Ukraina kian panjang.

Baca juga: G7 Mulai Berlakukan Batas Harga Minyak Rusia

Presiden Rusia, Vladimir  Putin, tidak tinggal diam. Selasa lalu dia mengumumkan kebijakan balasan. Per 1 Februari 2023, Rusia akan melarang pasokan minyak ke negara-negara yang telah memberlakukan batasan harga pada produk minyak bumi Rusia. Rusia akan mempertimbangkan untuk menggunakan mekanisme penetapan harga maksimum.

Pengumuman kebijakan Putin itu berdampak pada sentimen kenaikan sejumlah harga minyak bumi jenis brent maupun WTI, meskipun hanya menguat tipis. Sebagai negara penghasil minyak bumi terbesar kedua di dunia, dengan kapasitas produksi yang mencapai 10,5 juta barel per hari, keputusan Putin itu akan berdampak global jika diberlakukan per 1 Februari 2023.

Seperti yang baru saja kita alami pada 2022 ini, negara-negara penghasil minyak bumi kian menikmati berkah kenaikan harga minyak bumi dunia. Walaupun bukan anggota OPEC, Indonesia termasuk negara yang ikut menikmati “durian runtuh” atas kenaikan harga minyak bumi dari sisi pendapatan negara.

Bahkan pendapatan yang diterima oleh Pertamina pada semester 1 tahun 2022 mencapai 45 miliar dolar, setara Rp 675 triliun (kurs Rp 15.000).

Sesungguhnya kenaikan harga minyak bumi tidak selalu berbuah manis. Dari sisi belanja negara kita terkoreksi cukup besar. Anggaran kompensasi energi pada APBN 2022 sebelumnya kami sepakati bersama pemerintah hanya Rp 18,5 triliun. Akibat melonjaknya harga minyak bumi dan telah bergeser jauh dari asumsi patokan ICP, semula 63 dolar per barel menjadi rata rata di atas 100 dolar per barel.

Hal itu berkonsekuensi munculnya tambahan alokasi anggaran kompensasi energi sebesar Rp 275 triliun. Dengan demikian, total anggaran kompensasi energi menjadi Rp 293,5 triliun. Realisasi anggaran kompensasi energi hingga 14 Desember 2022 mencapai Rp 268,1 triliun (91,3 persen).

Demikian halnya dengan alokasi anggaran subsidi energi, semula APBN 2022 mengalokasi sebesar Rp 207 triliun. Namun per Mei 2022 naik menjadi Rp 283,7 triliun. Beruntung realisasi subsidi energi lebih rendah dari plafon, per 14 Desember 2022 sebesar Rp 206,9 triliun atau 72,9 persen.

Baca juga: Putin Larang Jual Minyak Rusia ke Negara yang Terapkan Batasan Harga, Balas Barat

Terlihat sensitivitas APBN sangat besar terhadap perubahan harga minyak bumi. Oleh sebab itu, berulang kali saya tegaskan, kita perlu mengubah pola konsumsi energi yang bertumpu pada minyak bumi. Kita memerlukan percepatan perubahan kebijakan struktural untuk mengurangi kencanduan minyak bumi.

Terobosan

Kita harus memetik pelajaran dari masa lalu. Produksi minyak bumi tetap kita upayakan meningkat. Potensi cekungan migas kita yang cukup besar tetap kita jajaki pada menu investasi strategis, sebab hal ini tetap menjanjikan pundi-pundi besar. Namun dari sisi konsumsi energi domestik harus berubah.

Kenapa harus berubah? Indonesia harus menunjukkan keseriusannya terhadap upaya penurunan emisi. Hasil studi yang dilakukan Kelompok Keahlian Pengelolaan Udara dan Limbah ITB menyebutkan 46 persen polusi udara di Jakarta disumbang dari sektor transportasi.

Emisi karbon untuk jarak tempuh 10 km menggunakan BBM adalah 2,4 kg CO2 dan 2,6 kg CO2 menggunakan diesel, jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan mobil listrik yang hanya 0,85 kg CO2.

Kedua; sektor transportasi menyedot kebutuhan energi nasional paling besar, terutama terhadap BBM (bahan bakar minyak). Kontribusi BBM terhadap total energi nasional hanya 15 persen.

Batubara memasok kebutuhan energi nasional, porsinya mencapai 67 persen. Namun dari sisi konsumsi, sektor transportasi menyerap konsumsi energi nasional hingga 41 persen. Keadaan inilah yang membuat kita “berdarah-darah” atas kebutuhan kompensasi dan insentif BBM.

Apalagi sektor hulu migas tidak tumbuh dengan baik, kita masih menggantungkan harapan dari sumur-sumur tua, dan kilang-kilang minyak berteknologi rendah. Akibatnya kebijakan minyak bumi nasional bertahun-tahun dipermainkan oleh para trader.

Cerita ini makin menggenapi kisah nestapa dari cermin retak kebijakan energi nasional pada masa lalu yang imbasnya kita terima hingga kini. Keadaan tidak menguntungkan ini terus kita terima jika tidak segera berbenah, kita sangat rentan menerima resiko atas perang minyak yang terus eskalatif sampai pada tahun depan.

Pemerintah pada tahun 2019 telah menggulirkan Perpres No 55 tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik. Kebijakan ini patut kita apresiasi sebagai usaha melakukan langkah besar untuk mengubah pola konsumsi energi kita, khususnya sektor transportasi, untuk menjawab problem kencanduan kita terhadap minyak bumi.

Namun realisasi kebijakan ini tidak mudah. Tantangan yang harus terselesaikan adalah membangun ekosistem kendaraan listrik secara pararel. Sebab bila mengandalkan skema insentif pembelian kendaraan listrik saja hanya menjawab sebagian pokok persoalan.

Pengadaan mobil listrik memang lebih mahal diharga beli, sebab harga on the road (otr) mobil listrik lebih tinggi dibanding mobil yang menggunakan BBM. Satu mobil listrik seharga Rp 697 juta jauh lebih tinggi dibandingkan ke kelas yang sama untuk mobil BBM yang seharga Rp 393 juta.

Akan tetapi bila dikonversikan dengan biaya perhitungan energi per bulan mobil listrik lebih ekonomis ketimbang mobil BBM. Biaya energi mobil listrik per bulan mencapai Rp 296 ribu. Dengan kelas dan pemakaian yang sama untuk mobil BBM bisa mencapai Rp 1,3 juta, terdapat selisih sejuta tiap bulan.

Baca juga: Ekspor Minyak Rusia Naik, tapi Pendapatan Moskwa Justru Turun

Jika dihitung keseluruhan dari harga beli dan ongkos operasional dalam tempo lima tahun pemakaian, investasi mobil listrik memang lebih mahal. Akan tetapi ada komponen subsidi dan kompensasi BBM yang belum terhitung dan menjadi beban APBN.

Terobosan yang bisa kita tempuh tidak harus membeli mobil listrik baru, terutama dari konsumen yang belum mampu. Kebijakan insentif kendaraan listrik kalaupun dijalankan harus ditempatkan pada porsi yang pas.

Saya kira percepatan penggunaan mobil listrik dapat dikonversikan atas mobil BBM yang ada, pilihan ini mungkin paling rasional. Caranya sumber energi penggerak BBM digantikan dengan baterai listrik melalui teknologi plug and play. Harusnya pabrikan atau perusahaan manufaktur bisa mengusahakan hal tersebut, dan kebijakan insentif kendaraan listrik bisa diarahkan untuk hal ini.

Saya kira DPR akan memberikan dukungan anggaran melalui relokasi sebagian anggaran subsidi dan kompensasi BBM untuk mendorong percepatan kendaraan listrik. Namun pemerintah harus bisa meyakinkan publik, terutama DPR, seberapa besar relokasi anggaran ini bisa menurunkan penggunaan kendaraan BBM, baik mobil maupun motor yang tersubtitusi oleh kendaraan listrik.

Agenda ini harus mencerminkan target dari konversi mobil BBM ke listrik dengan jelas

Percepatan kendaraan listrik sangat baik, namun pada saat yang sama pemerintah harus memiliki perhitungan fiskal yang utuh. Sebab kita membutuhkan kelonggaran fiskal menghadapi gejolak ekonomi global, perang harga minyak bumi, serta kebutuhan mendasar untuk menjaga daya beli rumah tangga miskin melalui program perlindungan sosial. Penting dipertimbangkan oleh pemerintah bahwa porsi kebijakan insentif kendaraan listrik tidak mengoreksi agenda agenda penting kita di atas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com