Harga beras murah mempunyai dampak yang sangat baik bagi masyarakat miskin yang terus tertekan akibat tingginya inflasi dan sulitnya memperoleh pendapatan di saat pandemi Covid-19 maupun pascapendemi.
Untuk menghasilkan beras murah, maka pemerintah harus all out memberikan subsidi sarana produksi, bahkan bila perlu untuk petani di bawah 0,5 hektar diberikan bansos pupuk.
A priori bansos pupuk jauh lebih banyak manfaatnya dibandingkan mudaratnya. Argumennya, penerimanya jelas, digunakan untuk usaha produktif dan bukan konsumtif, serta menyangga produksi pangan nasional.
Dibandingkan subsidi BBM, banyak pihak yang tidak berhak bisa menikmati, tidak ada kontrol penerima karena tidak ada catatan siapa penggunanya.
BBM dalam hal tertentu juga banyak digunakan untuk kegiatan yang tidak produktif, menimbulkan kemacetan, polusi dan tidak maksimalnya angkutan publik, karena si kaya memilih mobil pribadi menggunakan BBM bersubsidi.
Mengapa alokasi pupuk bersubsidi terus digencet pemerintah dan DPR seakan tidak peduli harga bahan baku pupuk dan harga pupuk dunia melambung?
Sementara itu, alokasi BBM bersubsidi besarnya luar biasa, sehingga terkesan pemerintah dan DPR mengalah dengan tekanan publik.
Apakah petani harus mengorganisasi dirinya untuk melakukan tekanan atau bahkan melakukan pembelaan nasibnya kepada pemerintah? Jangan sampai itu terjadi, dampaknya bisa bikin kalang kabut semua pihak.
Jika pemerintah menganut rezim beras mahal, maka masuknya beras impor menjadi suatu keniscayaan dan akan terus berulang sampai akhir zaman.
Pengalaman nyata sudah terjadi untuk sapi. Tahun 1970-an, Indonesia bisa mengekspor sapi ke luar negeri.
Importasi sapi hidup, daging sapi dan jeroan yang berlebihan dengan argumen harganya murah dibandingkan harga dalam negeri, telah mengubah konfigurasi Indonesia dari eksportir menjadi net importir.
Bahkan lebih ekstrem lagi untuk kedelai, hampir 95 persen kebutuhan kedelai Indonesia dipenuhi dari impor.
Padahal tahun 1980-an, impor kedelai Indonesia dikisaran 10 persen. Semua biang keroknya karena harga komoditas sapi dan kedelai di dalam negeri sangat mahal dibandingkan impor.
Saat ini produsen kedelai dunia dengan seenaknya menaikkan harga kedelai, pemerintah tidak berdaya dan harus merogoh kocek lebih dalam untuk mensubsidi pengusaha tahu dan tempe.
Subsidi ini sesungguhnya, merupakan subsidi pemerintah yang diberikan secara tidak langsung ke petani kedelai Amerika, bukan ke pengusaha tahu dan tempe.
Akankah ini akan terjadi untuk beras? Selama ini pengamat selalu mengatakan bahwa harga beras Indonesia tidak kompetitif, karena itu menjadi peluang bagi para pemburu rente untuk memanfaatkan celah selisih harga untuk menghancurkan industri perberasan nasional.
Kalau ini terjadi, Indonesia bisa berada di jurang kehancuran. Mengapa? Karena jumlah penduduk Indonesia yang sebentar lagi mencapai 300 juta jiwa, akan sulit memenuhinya, karena ketersediaan beras di pasar internasional jumlahnya terbatas.
Lebih jauh pemerintah juga harus melakukan pembatasan investasi swasta di sektor pangan dari hulu ke hilir. Jika tidak, maka cepat dan pasti negara akan tersandera oleh konglomerasi yang selalu ingin mengeruk keuntungan tanpa peduli kondisi ekonomi negara.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.