1. Top line to bottom Line
Selama ini bisnis asuransi banyak diukur dari perolehan premi asuransi yang berhasil dibukukan sebagai penjualan (top line oriented). Sejumlah rating asuransi oleh media keuangan menggunakan kategori premi bruto sebagai dasar pemeringkatan.
Baca juga: Mencari Jalan Terang Inklusi Keuangan Industri Asuransi
Sangat sedikit perhatian asuransi pada perolehan laba (bottom line oriented) . Dengan orientasi pada perolehan premi sebanyak-banyaknya terkandung biaya akuisisi atau komisi yang besar diberikan kepada pihak ketiga sebagai sumber bisnis atau agen asuransi.
Hal ini tampak pada rasio BOPO (biaya operasional pendapatan operasional ) asuransi umumnya lebih besar dibandingkan dengan rasio BOPO industri keuangan lainnya misalnya perbankan.
Merujuk data perbankan per Mei 2021, perbankan Indonesia dapat dikatakan masih cukup efisien, ditandai dari rasio BOPO yang berada pada level 85,49 persen. Tingkat efisiensi ini membaik ketimbang awal pandemi yaitu Maret 2020 yang berada pada level 88,70 persen, dibandingkan BOPO rata-rata bank di negara ASEAN berkisar 40 – 60 persen.
Data riset sebuah media atas neraca publikasi asuransi 2021 menunjukan rasio beban (klaim, usaha, dan komisi) terhadap pendapatan premi neto asuransi umum rata-rata tercatat sebesar 107 persen dan asuransi jiwa rata rata 118, 02 persen.
Indikator rasio beban digunakan untuk mengukur efisiensi core business asuransi. Secara umum dapat dikatakan, makin kecil angka rasionya, semakin bagus karena operasional perusahaan lebih efisien.
Rumusnya adalah beban klaim ditambah komisi, ditambah beban usaha, dibagi pendapatan premi neto, dikalikan 100 persen. Rasio terbaik di bawah 100 persen.
2. Cash flow underwriting to prudent actuarial underwriting
Dorongan kompetisi yang ketat di pasar asuransi membuat perusahaan asuransi kerap abai pada proses akseptasi underwriting penilaian risiko yang didasarkan statistik aktuarial.Perusahaan lalu hanya mengejar perolehan cash flow pendapatan premi.
Cash flow underwriting ditandai dengan penetapan harga atau pricing yang tidak memadai, pencadangan yang tidak tepat dan terms and conditions yang sangat longgar dan agresif (Delil Khairat, 2022 )
3. Overseas placement to domestic placement
Undang-Undang Perasuransian mengatur, obyek asuransi di Indonesia hanya dapat diasuransikan pada perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah di Indonesia dan penutupan obyek asuransi tersebut harus memperhatikan optimalisasi kapasitas perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, perusahaan reasuransi syariah dalam negeri.
Guna mengimbangi kebijakan tersebut, pemerintah dan atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan upaya untuk mendorong kapasitas asuransi dan reasuransi dalam negeri. Peraturan tersebut tertuang dalam POJK Nomor 39 /POJK.05/2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/POJK.05/2015 Tentang Retensi Sendiri Dan Dukungan Reasuransi Dalam Negeri. Bahwa perusahaan asuransi wajib memperoleh dukungan reasuransi seratus persen dari reasuradur dalam negeri untuk pertanggungan yang memiliki risiko sederhana.
Namun acapkali perusahaan asuransi justru mendahulukan penempatan risiko di luar negeri daripada di dalam negeri. Akibatnya telah lama kita ketahui terjadi pelarian devisa asuransi ke luar ngeri dengan akibat terjadinya defisit neraca pembayaran asuransi kita dengan luar negeri karena kecilnya claim recovery diperoleh dari luar negeri.