KITA sudah berada di Tahun Baru 2023 . Perjalanan bisnis asuransi di tahun yang baru saja berlalu, 2022, penuh lika liku.
Sebuah media merangkum setidaknya 10 kejadian paling mengguncang industri asuransi, mulai dari kasus sengketa nasabah unit-link yang melibatkan sejumlah perusahaan asuransi; program restrukturisasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) memasuki babak akhir yang ditandai dengan rencana pengalihan portofolio (polis), aset, dan liabilitas dari Jiwasraya kepada IFG Life; kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha atau lebih dikenal dengan Wanaartha Life (PT WAL) berlanjut dengan keputusan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin usaha PT WAL.
Kejadian lain adalah pemegang polis Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 mendapatkan titik terang pembayaran klaim yang belum juga terselesaikan dalam lima tahun terakhir; sejumlah industri asuransi umum di Tanah Air kembali mengingatkan kepada masyarakat pentingnya memiliki asuransi bencana alam, salah satunya asuransi gempa bumi.
Peristiwa lainnya yaitu OJK mengumumkan 13 perusahaan asuransi berada dalam pengawasan khusus atau bermasalah. Perusahaan-perusahaan tersebut terdiri dari tujuh perusahaan asuransi jiwa dan enam perusahaan asuransi umum, termasuk reasuransi.
Baca juga: Ada Perang Tarif di Industri Asuransi, Ini Kata OJK
Selain itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan omnibus law keuangan atau Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) untuk menjadi Undang-Undang (UU) pada 15 Desember 2022. UU P2SK bertujuan antara lain menjaga kestabilan sistem keuangan dalam rangka penguatan jaring pengamanan sistem keuangan.
Ruang lingkup UU itu mencakup program penjaminan polis, usaha bersama, konglomerasi keuangan mikro, hingga koperasi di sektor jasa keuangan. UU PPSK juga mengamanatkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjadi penjamin polis asuransi.
Dalam UU itu dijelaskan tujuan penyelenggaraan program penjaminan polis adalah melindungi pemegang polis, tertanggung, atau peserta dari perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah yang dicabut izin usahanya akibat mengalami kesulitan keuangan.
Penyelenggaraan program penjaminan polis mulai berlaku 5 tahun terhitung sejak UU ini diundangkan atau pada 2027 mendatang.
Permasalahan utama bisnis asuransi adalah good corporate governance atau tata kelola usaha asuransi. Tugas pembenahan usaha asuransi harus didahului oleh niat baik para pelaku usahanya meski peran pengawasan lembaga resmi semacam OJK tentu tak bisa dikesampingkan.
Beberapa tahun terakhir kita dikejutkan oleh kasus yang menimpa industri asuransi di Indonesia. Sebut saja kasus Bakrie Life, Bumiputera , Jiwa Sraya, ASABRI, Kresna Life, dan kasus terakhir yang menimpa Wana Artha Life.
Kita sadari bersama bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam melaksanakaan tugasnya sebagai pengawas sudah melakukan bagiannya sebagaimana amanat undang undang. Organ perusahaan dan instansi pemerintah yang berfungsi melakukan pengawasan juga sudah sedemikian banyak dan berlapis .
Ada satuan pengawas intern sebagai internal audit, ada kantor akuntan publik sebagai eksternal audit, ada organ komite audit, ada dewan komisaris, ada BPK, BPKP, kejaksaaan dan aparat kepolisian. Belum lagi KPK dan DPR sebagai pengawas ekstern.
Ditambah pula uji kepatutan dan kelayakan atau fit & proper test bagi setiap calon direksi dan komisaris perasuransian. Termasuk kewajiban mengungkapkan hubungan persaudaraan di antara sesama direksi dan komisaris dan larangan rangkap jabatan lebih dari dua perusahaan dengan tidak boleh merupakan perusahaan sejenis.
Akan tetapi seperti kita saksikan bersama masih juga terjadi perusahaan asuransi yang gagal bayar. Sikap mental para pelaku bisnis ini dari mulai agen hingga level direksi harus menjadi lebih baik. Bukankah pengawasan terbaik dimulai dari sikap mental diri sendiri?
Untuk itu ada enam pilar transformasi praktik bisnis asuransi di Tanah Air yang perlu dijadikan agenda aksi ke depan.