PANDEMI Covid-19 telah meluluhlantakkan berbagai bidang. Tidak hanya ribuan korban melayang, karena pembatasan ruang gerak manusia mengakibatkan aktivitas ekonomi turut terhenti.
Kenihilan aktivitas ekonomi ini tampaknya membuat kinerja pelaku ekonomi (baik skala rumah tangga, UMKM, maupun korporasi) kelimpungan.
Berkurangnya permintaan produksi, menyusutnya margin, sampai dengan PHK adalah pil pahit yang harus ditelan.
Perbankan turut ikut merasakan pil pahit tersebut dengan merangkaknya angka kredit bermasalah atau NPL.
Dinilai membahayakan bagi kestabilan makro ekonomi dan keuangan, pemerintah bersama dengan otoritas ekonomi keuangan terkait menyusun berbagai paket kebijakan relaksasi yang tujuannya satu, memulihkan perekonomian dan segera bangkit dari keterpurukan.
Selang tiga tahun dari peristiwa tersebut, kondisi makro ekonomi dan keuangan saat ini tergolong pulih, namun masih luka lebam (scarring effect) di sana-sini. Perlu langkah lanjutan untuk mengobati lebam tersebut menuju pulih sempurna.
Program vaksinasi dan booster yang terus dilanjutkan, pelonggaran aktivitas usaha serta hiburan, sampai dengan ketidakwajiban memakai masker di ruang terbuka memiliki dampak langsung terhadap perekonomian yang semakin ke arah titik balik.
Kesempatan ini turut ditangkap dan dimanfaatkan oleh otoritas ekonomi dan keuangan untuk semakin menambah amunisi dan meracik pelbagai resep perbaikan.
Berkat dukungan dari seluruh komponen bangsa, terlihat arah perbaikan. Dari skala rumah tangga, indikator belanja rumah tangga menunjukkan perbaikan terutamanya didorong masih berlanjutnya efek bansos rumah tangga prasejahtera serta meningkatnya konsumsi menjelang hari besar keagamaan.
Ancaman inflasi akibat kenaikan harga BBM pada September lalu, tampaknya tidak menyurutkan langkah rumah tangga dalam berbelanja/konsumsi.
Dari sisi dunia usaha, baik skala UMKM dan korporasi menunjukkan hal yang sama. Membaiknya pola konsumsi masyarakat mendorong sektor UMKM optimistis akan produksi barang/jasa ke depan.
Sektor korporasi mencatat pula adanya pemulihan di mana terdapat kenaikan belanja modal dan pertumbuhan penjualan.
Perbaikan kinerja rumah tangga, UMKM maupun korporasi tersebut secara langsung berdampak pada kinerja perbankan sebagai pihak intermediator kredit.
Secara overall, pertumbuhan kredit secara nasional tahun 2022 berada dalam proyeksi bank sentral, yakni 9-11 persen, di mana pertumbuhan ini hampir terjadi pada semua sektor.
Kenaikkan harga komoditas tampaknya membuat berkah bagi korporasi sektor pertambangan di mana menduduki peringkat pertama dalam hal growth kredit (57,08 persen yoy), diikuti oleh jasa dunia usaha (24,9 persen yoy), jasa sosial (17,7 persen), serta industri (11,9 persen).
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, perbankan sebagai intermediasi kredit turut mempersiapkan diri atas pulihnya permintaan kredit.
Kebutuhan kredit tersebut didukung dengan likuiditas yang tetap memadai dengan mekanisme penyaluran kredit/pembiayaan yang dikondisikan tetap longgar.
Dari sisi ketahanan perbankan, bank dinilai likuiditas dan permodalannya secara agregat masih kuat dengan rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) per November 2022 sebanyak 30,42 persen rasio Capital Adequacy Ratio (CAR) per Oktober 2022 sebanyak 25,08 persen.
Korporasi merupakan segmen dengan penyumbang pertumbuhan DPK cukup tinggi dibandingkan dengan kategori pemilik lainnya.
Jadi singkatnya, korporasi merupakan kategori dengan growth pertumbuhan kredit tertinggi namun juga memiliki peran kepemilikan DPK tinggi pula diperbankan.
Suku bunga turut memainkan peran dalam peningkatan growth kredit. Kondisi sekarang, dengan suku bunga dana dan kredit yang naik namun terbatas seiring masih longgarnya likuiditas perbankan membuat suku bunga perbankan saat ini masih kondusif guna mendukung pemulihan ekonomi.
Namun, kita baiknya harus tetap mewaspadai atas dinamisasi kedepannya walaupun korporasi, UMKM, maupun sektor rumah tangga di masa pemulihan ini terus berbenah.
Faktor global berupa melambatnya pertumbuhan global dibarengi risiko stagflasi, inflasi global, terganggunya global supply chain, normalisasi kebijakan moneter global, meluasnya tensi geopolitik, serta ketidakpastian pasar keuangan global turut menahan ruang gerak pertumbuhan pemulihan ekonomi.
Sedangkan dari domestik, kita diharapkan mewaspadai berbagai risiko seperti inflasi, risiko nilai tukar dan aliran modal, risiko scarring effect untuk segmen rumah tangga, UMKM, maupun korporasi yang tidak kunjung reda.
Agar pertumbuhan kredit tetap terjaga pada targetnya, pemerintah maupun otoritas ekonomi keuangan telah menyusun beberapa strategi khususnya terkait kebijakan makroprudensial.
Strategi berupa insentif penyaluran kredit pada usaha sektor slow starter yang sangat terdampak pandemi seperti industri perhotelan, transportasi udara, kulit dan alas kaki sampai dengan industri tekstil dan turunannya.
Strategi makroprudensial lainnya berupa insentif Giro Wajib Minimum (GWM) bagi perbankan yang masif memberikan kredit UMKM pada besaran tertentu, pelonggaran Loan to Value pada kredit KPR maupun pelonggaran uang muka kendaraan, dan berlanjutnya transparansi Suku Bunga Dasar Kredit merupakan ikhtiar bersama untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.