Dari riset ini, ada perbedaan tingkat self-awareness antara pemimpin dan pekerja. Pekerja yang mengatakan dirinya stres sadar bahwa perusahaannya tidak menerapkan kebijakan well-being yang memadai.
Mungkin, justru pemimpin di perusahaannya yang kurang aware dengan kesejahteraan pekerjanya, walaupun mereka menganggap well-being merupakan prioritas.
Oleh karena itu, pemimpin saat ini harus lebih self-aware terhadap dirinya. Kemungkinan, itulah yang membuat kebijakannya kurang tepat di mata pekerjanya.
Sandra Loughin, pakar perubahan organisasi, mengatakan bahwa, “.... before taking a team of employees into the unknown, leaders should look inward and examine their ability to react to change.”
Beberapa riset telah membuktikan akibat dari pemimpin yang kurang memahami dirinya.
Harvard Business Review melakukan riset pada 2017 dengan meneliti 440 CEO. Tim peneliti Harvard membagi 440 CEO menjadi dua kelompok: CEO yang punya gelar MBA dan yang tidak memiliki.
Peneliti Harvard menemukan bahwa CEO yang tidak memiliki gelar berperforma lebih baik.
Studi dari Miller & Xu (2019) juga menyimpulkan hal yang serupa. CEO yang bergelar MBA bagus dalam strategi jangka pendek, tetapi kurang dalam jangka panjang.
Ini bukan berarti lulusan MBA tidak berkualitas. Mereka kurang satu aspek yang fundamental, yaitu self-awareness.
Dengan dampak negatif yang besar, saya rasa tahun ini jadi waktu yang tepat untuk kita mengubah pendekatan dalam bekerja.
Pemimpin harus lebih paham dengan dirinya, karakternya, dan responnya terhadap perubahan. Dengan begitu, ia bisa lebih akurat dalam membuat kebijakan dan membangun timnya lebih baik lagi.
Pemimpin saat ini harus mementingkan pertumbuhan organisasi dan memperhatikan well-being dari pekerja kita, baik itu dalam aspek mental maupun psikologis.
Kita ciptakan lingkungan di mana pekerja bisa aman menyuarakan ide-idenya. Kita perlu bertransformasi menjadi seorang human leader yang mampu mengakomodasi kebutuhan pekerja.
Kita bisa belajar dari Nestle. Pada hari Disabilitas Internasional 3 Desember 2022, Nestle meluncurkan program magang SETARA.
Singkatnya, Nestle ingin menciptakan budaya inklusif di mana setiap orang, khususnya teman disabilitas, mendapatkan kesempatan sama.
Budaya yang diusung Nestle membuat banyak teman disabilitas mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan kapabilitasnya. Nestle mengondisikan iklim kerjanya agar setiap orang mampu berkontribusi.
Penelitian menunjukkan bahwa pemimpin yang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi cenderung lebih efektif dalam meningkatkan kinerja dan kepuasan pengikut.
Selain Nestle, Traveloka juga memiliki budaya kerja yang memanusiakan manusia. Pada masa pandemi, Traveloka menyediakan berbagai kebutuhan kesehatan, seperti menggelar olahraga virtual, program konseling bersama psikolog, hingga menyediakan asuransi kesehatan.
Traveloka juga menganjurkan pekerja untuk memaksimalkan penyelesaian pekerjaan di jam kerja (09:00-18:00) dan meminimalkan interaksi di luar jam kerja. Tak lupa, Traveloka juga menyediakan akses untuk pengembangan diri.
Kebijakan dari dua perusahaan ini berupaya semaksimal mungkin untuk mengakomodir keinginan pekerja.
Para pemimpin di dua perusahaan tersebut paham pentingnya memberikan kesempatan yang sama, lalu menyediakan insentif yang dapat menunjang well-being pekerja. Ini menjadi cara pemimpin merawat timnya supaya mereka tetap sehat secara mental dan psikologis.
Terlebih, menurut survei HR.com tahun 2022, faktor terpenting dari well-being adalah keadaan mental dan emosional (78 persen) dan lingkungan kerja yang sehat (70 persen).
Bagi saya, tahun 2023 menjadi tahun kebangkitan dan transformasi. Dan salah satu titik terpenting adalah bagaimana organisasi bisa menjadi tempat yang nyaman untuk berkontribusi.
Aspek psikologis menjadi aspek terpenting dalam menciptakan organisasi yang sehat. Sebagai pemimpin, tugas kita adalah menciptakan budaya yang mampu memanusiakan sesama di segala aspek.
Terakhir, Marcus Aurelius, salah satu pelopor filosofi stoik yang juga merupakan pemimpin besar imperium Romawi, berpesan. “Look well into thyself; there is a source of strength which will always spring up if thou wilt always look.”
Semoga, makin banyak pemimpin yang memiliki self-awareness yang tinggi, sehingga dapat menjadi pemimpin humanis dan semakin berdampak bagi timnya!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.