KOMPAS.com - Tim kuasa hukum lima pihak terlapor dari Grup Wilmar dalam perkara dugaan kartel minyak goreng (migor) mengatakan, selama persidangan berlangsung, tidak ada bukti kesepakatan dari para pihak terlapor untuk menaikkan harga ataupun menahan pasokan migor.
Sejumlah perusahaan dalam Grup Wilmar yang dituduhkan melakukan kartel harga minyak goreng antara lain PT Multi Nabati Sulawesi, PT Multimas Nabati Asahan, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Cahaya Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
"Sepanjang persidangan (di Komisi Pengawas Persaingan Usaha/KPPU), tidak ada satu pun bukti tertulis ataupun rekaman yang memperlihatkan adanya kesepakatan itu," ujar Rikrik Rizkiyana selaku anggota tim kuasa hukum lima pihak terlapor dari Grup Wilmar itu, dilansir dari Antara, Minggu (15/3/2023).
Padahal dari sisi teori, lanjut dia, sesuatu dapat dikategorikan sebagai tindakan kartel apabila ditemukan bukti berupa kesepakatan antara pelaku usaha tertentu untuk menyepakati keputusan strategis mereka di pasar, seperti terkait harga, produksi, dan penjualan.
Baca juga: Ini Perbedaan UMK dan UMR yang Kerap Disalahpahami
Lebih lanjut dalam kesempatan yang sama, anggota tim kuasa hukum lainnya, yakni Farid Nasution menyampaikan dalam perkara dugaan kartel minyak goreng ini, KPPU menduga penetapan harga dilakukan oleh 27 perusahaan dari 13 kelompok usaha yang berbeda.
Dengan banyaknya jumlah terlapor dalam kasus itu, menurut Farid, kartel penetapan harga menjadi sangat sulit atau bahkan tidak mungkin dilakukan.
“Hal ini diperkuat dengan keterangan para saksi yang sudah dihadirkan di persidangan, baik oleh investigator maupun terlapor yang mengaku tidak mengetahui adanya koordinasi antara pengusaha untuk menaikkan harga jual,” ucap dia.
Farid menambahkan investigator KPPU juga tidak dapat membuktikan bahwa pembatasan peredaran minyak goreng dilakukan oleh produsen.
Baca juga: 10 Daerah UMR Tertinggi di Indonesia 2023, Karawang Juaranya
Ini karena produsen minyak goreng tidak punya kendali atas rantai distribusi minyak goreng yang begitu panjang, mulai dari produsen, distributor, subdistributor, agen, pedagang grosir, supermarket/swalayan, pedagang eceran, sampai dengan konsumen akhir.
“Berdasarkan keterangan saksi-saksi di persidangan, kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng bukan karena masalah produksi, melainkan karena kenaikan harga CPO (crued palm oil/minyak sawit mentah) penerapan HET (harga eceran tertinggi), dan kendala distribusi. Tidak ada saksi yang mengatakan kelangkaan karena produsen menahan pasokan,” ucap Farid.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.