3. Bijak Menyikapi Ekspansi Latto-Latto di Sekolah
Sebagaimana Kompasianer Neni Hendriati, apa yang dilihat oleh Kompasianer Akbar Pitopang pun serupa: anak-anak sekolah di tempatnya mengajar pun banyak yang memainkan latto-latto.
Sebagai pengajar, Kompasianer Akbar Pitopang berpendapat kalau bermain latto-latto boleh dimainkan oleh siswa, tapi setelah proses belajar-mengajar di sekolah.
"Ketika siswa mendengar bunyi latto-latto ketika dimainkan di sekolah maka hal itu jelas sekali akan mempengaruhi konsentrasi siswa ketika sedang mengikuti pembelajaran di kelas," tulisnya.
Adapun yang paling diwanti-wanti adalah latto-latto bisa melukai siswa, seperti kepala bengkak, gigi atau rahang berdarah, dan seterusnya. (Baca selengkapnya)
4. Lato-Lato, Bukan Sekadar Mainan Viral
Fenomena lato-lato bukan sekadar mainan yang kembali viral.
Apalagi di era media sosial, menutut Kompasianer Grii Lumakto, viralitas trend memiliki ciri khas, Citayam Fashion Week, misalnya.
Namun, sepemantauan Kompasianer Giri Lumakto, ada 5 fenomena lain yang muncul dari demam lato-lato.
"Pertama, lato lato mengembalikan anak ke dunia nyata. Pas saat momen liburan anak akhir tahun kemarin, untung lato-lato viral," tulisnya.
Menurutnya, alih-alih anak terpaku di layar smartphone bermain gim online, Lato-lato justru mengembalikan esensi bermain yang melibatkan fisik, emosi, dan komunikasi antar anak-anak sepermainan. (Baca selengkapnya)
***
Untuk membaca beragam opini maupun reportase lainnya mengenain permainan latto-latto bisa dilihat lewat Topik Pilihan Kompasiana: Maianan Jadul.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.