UTANG pemerintah selama ini menjadi topik debat politik tak berkesudahan. Bahkan menjadi polemik politik yang tujuannya untuk menyudutkan pemerintah. Caranya menukil-nukil informasi, agar ter-framing bahwa kebijakan utang yang ditempuh pemerintah ugal-ugalan dan membahayakan negara, serta menambah beban generasi mendatang.
Pihak yang seperti itu berharap legitimasi pemerintah turun, dan mereka mendapatkan keuntungan politik. Cara berpolitik seperti ini tidak mencerdaskan rakyat, sebab hak rakyat untuk mendapatkan informasi yang utuh telah dikorupsi.
Menjelang tahun politik, perihal utang pemerintah tampaknya akan digunakan sebagai komoditas untuk terus menyerang pemerintah. Sepanjang serangan itu baik dan konstruktif, saya kira pemerintah dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai pendukung utama pemerintah akan menerima dengan terbuka. Tak ada pemerintahan yang selalu sempurna pada setiap pilihan kebijakannya.
Baca juga: Dalam Setahun, Utang Pemerintah Bertambah Rp 635 Triliun
Di banyak negara, utang telah menjadi pembiayaan penting. Sebab anggaran pembangunan tidak bisa hanya menyandarkan pada pendapatan negara. Asalkan untuk kegiatan produktif, utang justru membantu skala ekonomi (Produk Domestik Bruto/PDB) negara akan semakin membesar.
Lebih adil dan fair bila melihat besarnya utang suatu periode pemerintahan, sekaligus dampak ekonomi yang dihasilkan atas pemerintahan tersebut. Keduanya tidak boleh dipisahkan, sebab akan mendistorsi informasi.
Kita akui, membesarnya PDB bukan semata peran alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan atribusi kebijakan fiskal yang dijalankan pemerintah. Di dalamnya ada kontribusi swasta melalui keran investasi.
Namun campur tangan pemerintah punya andil sangat besar, peran pemerintah layaknya dirigen, sekaligus lokomotif, sehingga laju ekonomi terarah, terkelola dan termitigasi bila ada persoalan.
Dulu di awal Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), PDB Indonesia tahun 2015 sebesar hanya Rp 11.526 triliun, tahun 2021 PDB kita telah naik menjadi Rp 16.970 triliun, dan PDB kumulatif selama tiga kuartal 2022 sebesar Rp 14.524. Kita perkirakan sampai akhir 2022 jumlah kumulatif PDB Indonesia berkisar hampir Rp 20.000 triliun, atau meningkat 57,6 persen.
Padahal hampir tiga tahun ini situasi ekonomi nasional dihantam dampak pandemi Covid-19, lalu disusul efek Perang Rusia dengan Ukraina. Perang belum mereda, kita masih menghadapi tekanan global akibat kebijakan suku bunga tinggi dari sejumlah negara maju.
Sejauh ini kita relatif berhasil menghadapi situasi sulit itu. Tidak banyak negara sesukses Indonesia menghadapi keadaan ini. Akibat keadaan sulit itu, sebanyak 16 negara sudah menjadi pasien IMF, dan 36 negara lainnya antre diujung pintunya.
Berkah atas tumbuhnya PDB, kemiskinan dan ketimpangan Indonesia turun. Awal tahun 2015 jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 28,59 juta jiwa. Sebelum pandemi, pada akhir tahun 2019 jumlah penduduk miskin sebanyak 24,79 juta jiwa.
Pukulan pandemi memang terasa, sehingga penduduk miskin kita pada tahun 2020 naik menjadi 27,55 juta jiwa, namun awal 2022 turun ke posisi 26,16 juta jiwa. Perkiraan Bank Dunia, jika tanpa intervensi yang baik, dampak pandemi bisa menaikkan jumlah kemiskinan bertambah 5 juta jiwa.
Pembangunan yang digelorakan di seluruh Indonesia oleh Presiden Jokowi memperbaiki ekonomi luar Jawa. Semula pembangunan tampak jawasentris, Jokowi memilih pendekatan indonesia-sentris.
Hasilnya, ketimpangan sosial (gini rasio) menurun. Skala gini rasio tahun 2015 mencapai 0,408, dari akhir 2014 yang mencapai 0,414, rekor kesenjangan sosial tertinggi dalam sejarah kita. Kini angka gini rasio turun ke level 0,384.
Sejauh ini resiko utang Indonesia terkelola dengan baik. Sebab utang yang tidak terkelola malah menimbulkan beban bagi APBN, dan menyapu harapan akan tumbuhnya ekonomi dengan baik.