Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Said Abdullah
Ketua Badan Anggaran DPR-RI

Ketua Badan Anggaran DPR-RI. Politisi Partai Demoraksi Indonesia Perjuangan.

Amankah Posisi Utang Pemerintah Kita?

Kompas.com - 16/01/2023, 10:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

UTANG pemerintah selama ini menjadi topik debat politik tak berkesudahan. Bahkan menjadi polemik politik yang tujuannya untuk menyudutkan pemerintah. Caranya menukil-nukil informasi, agar ter-framing bahwa kebijakan utang yang ditempuh pemerintah ugal-ugalan dan membahayakan negara, serta menambah beban generasi mendatang.

Pihak yang seperti itu berharap legitimasi pemerintah turun, dan mereka mendapatkan keuntungan politik. Cara berpolitik seperti ini tidak mencerdaskan rakyat, sebab hak rakyat untuk mendapatkan informasi yang utuh telah dikorupsi.

Menjelang tahun politik, perihal utang pemerintah tampaknya akan digunakan sebagai komoditas untuk terus menyerang pemerintah. Sepanjang serangan itu baik dan konstruktif, saya kira pemerintah dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai pendukung utama pemerintah akan menerima dengan terbuka. Tak ada pemerintahan yang selalu sempurna pada setiap pilihan kebijakannya.

Baca juga: Dalam Setahun, Utang Pemerintah Bertambah Rp 635 Triliun

Di banyak negara, utang telah menjadi pembiayaan penting. Sebab anggaran pembangunan tidak bisa hanya menyandarkan pada pendapatan negara. Asalkan untuk kegiatan produktif, utang justru membantu skala ekonomi (Produk Domestik Bruto/PDB) negara akan semakin membesar.

Lebih adil dan fair bila melihat besarnya utang suatu periode pemerintahan, sekaligus dampak ekonomi yang dihasilkan atas pemerintahan tersebut. Keduanya tidak boleh dipisahkan, sebab akan mendistorsi informasi.

Kita akui, membesarnya PDB bukan semata peran alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan atribusi kebijakan fiskal yang dijalankan pemerintah. Di dalamnya ada kontribusi swasta melalui keran investasi.

Namun campur tangan pemerintah punya andil sangat besar, peran pemerintah layaknya dirigen, sekaligus lokomotif, sehingga laju ekonomi terarah, terkelola dan termitigasi bila ada persoalan.

Dulu di awal Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), PDB Indonesia tahun 2015 sebesar hanya Rp 11.526 triliun, tahun 2021 PDB kita telah naik menjadi Rp 16.970 triliun, dan PDB kumulatif selama tiga kuartal 2022 sebesar Rp 14.524. Kita perkirakan sampai akhir 2022 jumlah kumulatif PDB Indonesia berkisar hampir Rp 20.000 triliun, atau meningkat 57,6 persen.

Padahal hampir tiga tahun ini situasi ekonomi nasional dihantam dampak pandemi Covid-19, lalu disusul efek Perang Rusia dengan Ukraina. Perang belum mereda, kita masih menghadapi tekanan global akibat kebijakan suku bunga tinggi dari sejumlah negara maju.

Sejauh ini kita relatif berhasil menghadapi situasi sulit itu. Tidak banyak negara sesukses Indonesia menghadapi keadaan ini. Akibat keadaan sulit itu, sebanyak 16 negara sudah menjadi pasien IMF, dan 36 negara lainnya antre diujung pintunya.

Berkah atas tumbuhnya PDB, kemiskinan dan ketimpangan Indonesia turun. Awal tahun 2015 jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 28,59 juta jiwa. Sebelum pandemi, pada akhir tahun 2019 jumlah penduduk miskin sebanyak 24,79 juta jiwa.

Pukulan pandemi memang terasa, sehingga penduduk miskin kita pada tahun 2020 naik menjadi 27,55 juta jiwa, namun awal 2022 turun ke posisi 26,16 juta jiwa. Perkiraan Bank Dunia, jika tanpa intervensi yang baik, dampak pandemi bisa menaikkan jumlah kemiskinan bertambah 5 juta jiwa.

Pembangunan yang digelorakan di seluruh Indonesia oleh Presiden Jokowi memperbaiki ekonomi luar Jawa. Semula pembangunan tampak jawasentris, Jokowi memilih pendekatan indonesia-sentris.

Hasilnya, ketimpangan sosial (gini rasio) menurun. Skala gini rasio tahun 2015 mencapai 0,408, dari akhir 2014 yang mencapai 0,414, rekor kesenjangan sosial tertinggi dalam sejarah kita. Kini angka gini rasio turun ke level 0,384.

Amankah Utang Kita?

Sejauh ini resiko utang Indonesia terkelola dengan baik. Sebab utang yang tidak terkelola malah menimbulkan beban bagi APBN, dan menyapu harapan akan tumbuhnya ekonomi dengan baik.

Lantas seberapa resiko utang pemerintah kita? Undang-Undang No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur ketentuan tentang utang. Pada bagian penjelasan beleid ini dinyatakan bahwa defisit anggaran di batas maksimal 3 persen PDB, dan jumlah pinjaman maksimal 60 persen PDB.

Baca juga: Utang Pemerintah Tembus Rp 7.496 Triliun, Kemenkeu Bilang Masih Aman

Posisi utang pemerintah pada akhir 2022 lalu mencapai Rp 7.554,25 triliun atau 38,65 persen PDB yang terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman. Porsi SBN sebesar 88,66 persen dari total utang pemerintah, sedangkan pinjaman 11,34 persen.

Mari kita bandingkan dengan sejumlah negara maju. Rasio utang Tiongkok terhadap PDB mereka 71,5 persen, kawasan Eropa 95,6 persen, Finlandia 72,4 persen, Perancis 113 persen, Jerman 69,3 persen, Inggris 97,4 persen, Amerika Serikat (AS) 137 persen, Jepang 262 persen, Singapura 160 persen.

Kita juga perlu membandingkan dengan negara yang apple to apple dengan Indonesia. Rasio utang India terhadap GDP-nya 89,26 persen, Malaysia 63,3 persen, Filipina 60,4 persen, Afrika Selatan 69,9 persen, Thailand 59,6 persen, dan Vietnam 39,6 persen.

Terlihat rasio utang pemerintah terhadap PDB dibandingkan dengan negara lain masih jauh lebih rendah. Walau begitu, prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan utang terus dilakukan oleh pemerintah di bawah pengawasan DPR.

Berlapis pengamanan terus dilakukan untuk menjalankan mitigasi resiko utang pemerintah. Pertama, untuk mengurangi resiko beban bunga, pemerintah memilih menggunakan fix rate. Porsi fix rate mendominasi komposisi utang pemerintah sebesar 83,28 persen, sisanya sebesar 16,72 persen menggunakan floating rate.

Kedua, untuk mengurangi resiko eksternal, sejak pandemi Covid-19 melanda negeri kita awal tahun 2020, Banggar DPR dan pemerintah sepakat mengembangkam (SBN) melalui denominasi rupiah. Langkah ini sebagai antisipasi ketidakmenentuan kurs, apalagi pada saat itu semua negara butuh pembiayaan.

Strategi ini sekaligus untuk menyerap likuiditas perbankan yang tertahan, sebab pandemi menurunkan kinerja kredit. Kita juga libatkan Bank Indonesia (BI) melalui skema burden sharing untuk menyerap SBN. Posisi BI sangat penting sebagai standby buyer, tanpa mengurangi kecukupan modal BI di bawah batas aman.

Hasilnya, sangat terlihat penurunan porsi valas pada SBN, dari posisi tahun 2019 sebanyak 38,57 persen, turun ke level 25,16 persen pada akhir tahun 2020. Pada tahun 2021 saat kita mengalami puncak Covid-19, strategi mengandalkan pembiayaan dalam negeri terus kita pertahankan.

Porsi valas pada SBN kita pada tahun 2021 terus turun menjadi 19 persen, dan akhir 2022 sekitar 14 persen.

Pilihan tidak mengandalkan valas sejak pandemi rupayanya berbuah manis. Saat tahun 2022 banyak negara ekonominya pulih, permintaan barang dan jasa melonjak, celakanya pecahnya Perang Rusia dan Ukraina yang menahan suplai barang dan jasa. Akibatnya, inflasi menjalar di seluruh dunia. Sejumlah bank sentral negara maju menaikan suku bunga acuannya secara agresif sampai kini.

Dampaknya, biaya dana di seluruh dunia kian mahal. Bayangkan jika saat itu kita mengobral SBN dalam bentuk valas, kian besar beban imbal hasil yang kita tanggung.

Pilihan memperbesar dominasi rupiah pada postur utang pemerintah membuat resiko nilai tukar terus menurun. Tahun 2017 resiko nilai tukar sebesar 41 persen, tahun 2019 turun ke level 37,9 persen, tahun 2020 kembali turun le level 33,5 persen, dan tahun 2021 terus turun ke level 30 persen, serta tahun 2022 turun di bawah 29 persen.

Ketiga, pemerintah telah merumuskan strategi pengelolaan utang pada rentang 2023-2026. Strategi ini disertai beberapa indikator resiko sebagai patokan, misalnya utang tingkat bunga variabel terhadap total outstanding maksimal 20 persen, utang jatuh tempo kurang dari 1 tahun terhadap total outstanding maksimal 12,5 persen, average time to maturity/ATM minimum 7 tahun, besaran pembayaran bunga utang terhadap PDB maksimal 3 persen, dan mematok tingkat utang terhadap PDB pada kisaran 40 persen.

Terlihat jelas berlapis-lapis pengamanan untuk mengurangi resiko utang, dan dilakukan secara pruden.

Semoga tulisan ini menjernihkan perdebatan soal utang dan segala resikonya yang terkelola dengan baik; siapa pun yang akan menggunakan persoalan utang pemerintah sebagai isu politik bisa lebih bijak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com