Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Sukses SukkhaCitta Tekuni Slow Fashion hingga Mampu Berdayakan Petani Kapas dan Perajin

Kompas.com - 19/01/2023, 07:10 WIB
Agustinus Rangga Respati,
Akhdi Martin Pratama

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Bisnis pakaian slow fashion kian dapat lampu sorot. Praktik ini mengusung semangat produksi yang relatif lebih lama disertai dengan pemakaian produk fesyen dalam waktu lama.

Salah satu UMKM yang tekun menjalani laku bisnis slow fashion adalah SukkhaCitta.

Sejak 2016, UMKM yang bisa disebut perusahaan sosial ini bergerak untuk menciptakan perbaikan ekonomi kepada para perempuan pengrajin dan petani di pedesaan sambil menjaga kelestarian tradisi dan regenerasi bumi.

Founder SukkhaCitta Denica Riadini-Flesch mengatakan, Indonesia memiliki berbagai tantangan sosial, salah satunya pemberdayaan wanita dan penanganan dampak pencemaran terhadap lingkungan.

Baca juga: Cerita Galeri Kareso Anatowa yang Sukses Beri Pendampingan ke UMKM Hingga Bisa Punya Omzet Ratusan Juta Rupiah

"Saat hidup di kota, kita ingin lebih cepat dan selalu terus mengejar kesuksesan, itu yang ingin kami ingatkan kembali, bahwa ketika memakai baju ini seakan memakai selembar kain doa dari ibu yang terus mengingatkan kita apa yang sebenarnya penting," kata dia kepada media, Rabu (18/1/2022).

Ia bilang, SukkhaCitta hadir untuk untuk memberdayakan perempuan di pedesaan dengan memastikan para pekerja mendapatkan upah yang layak sambil merawat alam agar tidak tercemar

"Selama tujuh tahun berdiri, SukkhaCitta berhasil membangun kesejahteraan wanita-wanita di desa yang sebagian besar adalah seorang ibu melalui peningkatan pendapatan mereka sebanyak 60 persen dan membantu lebih dari 1.400 anggota keluarga untuk memiliki kehidupan yang layak," ujar dia.

Selain dampak sosial, SukkhaCitta juga turut berkontribusi mengurangi jejak karbon dengan memangkas 25 metrik ton emisi gas rumah kaca serta mencegah lebih dari satu juta limbah air dengan menggunakan 100 persen pewarna alami untuk tiap pakaiannya.

Pasalnya berdasarkan data yang dimilikinya, pencelupan tekstil disebut sebagai pencemar air terbesar kedua di dunia. Untuk itu, ia melihat kemungkinan lain dengan menggunakan bahan alam sebagai pewarna pakaian.

Denica menceritakan, pakaian yang diproduksi SukkhaCitta menggunakan pewarna seperti tanaman indigo, pelepah pisang, dan kayu mahoni.

Sedangkan, terkait dengan bahan dalam membuat pakaian, Denica menemukan fakta kalau lebih dari 99 persen kapas di Indonesia adalah hasil impor.

Untuk itu, ia menggandeng petani kapas yang masih ada di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk dapat menghasilkan kapas asli Indonesia sendiri.

Baca juga: Cerita Sukses Penyandang Disabilitas Bangun Peternakan Ayam Organik di Towuti Sulawesi Selatan

Adapun kapas yang ditanam secara alami hanya dapat dipanen satu kali dalam setahun. Meskipun demikian, hasil panen kapas ini justru menjadi pendapatakan musim kemarau yang sangat dibutuhkan bagi para petani kapas perempuan.

"Saat ini petani kapan perempuan itu memang rata-rata usianya sudah di atas 60 tahun. Kami ingin mulai dari sini dulu karena mereka yang masih punya ilmunya. Ketika terlihat ada dampak ekonomi yang dihasilkan, nanti pasti generasi muda di bawahnya akan itu," urai dia.

Lain padang lain ilalang, perajin kain yang semula merupakan ibu-ibu berusia di atas 50 tahun, saat ini telah bergeser dan diminati oleh perajin yang lebih muda.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com