Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sutawi
Dosen

Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang

Harga Beras Mahal

Kompas.com - 19/01/2023, 10:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sebagian kecil dari proses distribusi tersebut dibeli oleh Satuan Kerja Pengadaan (Satker ADA) dan disimpan di gudang-gudang Bulog yang disebut pengadaan beras dalam negeri.

Pelaku ekonomi pemasaran beras terdiri petani, tengkulak, pedagang pengumpul, penggilingan padi, pedagang besar, Bulog, pengecer, dan konsumen. Setiap pelaku mengeluarkan biaya dan mengambil keuntungan, sehingga semakin panjang rantai distribusi, maka semakin mahal harga eceran beras.

Penelitian Lasitya dkk. (2022) mencatat marjin (selisih harga eceran beras dikurangi harga GKP) pemasaran beras dengan tiga pelaku pasar sebesar Rp 5.800 per kg (61 persen harga eceran beras), sedangkan dengan lima pelaku pasar sebesar Rp 6.200 per kg (63 persen harga eceran).

Dari marjin tersebut, tengkulak menikmati keuntungan Rp 831 per kg, penggiling padi Rp 771 per kg, pedagang grosir Rp 769 per kg, dan pengecer Rp 601 per kg.

Ketiga, pembatasan kuota impor beras. Kementan (2021) mencatat nilai SSR (Self Sufficiency Ratio) beras telah mencapai 99,4 persen, berarti bahwa 99,4 persen kebutuhan beras dapat dipenuhi oleh produksi domestik.

Pemerintah mengizinkan Bulog mengimpor beras dengan kuota tertentu untuk memenuhi kebutuhan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) jika ketersediaan beras dalam negeri tidak mencukupi.

Pemerintah menetapkan Cadangan Beras Nasional (CBN) sebesar 20 persen total kebutuhan beras nasional, di mana 11,5 persen dikuasai masyarakat, 8 persen dikuasai oleh pemerintah pusat, dan 0,5 persen dikuasai pemerintah daerah.

Dengan jumlah penduduk 275 juta jiwa dan konsumsi beras 97,36 kg/kapita/tahun, maka total kebutuhan beras untuk konsumsi rumah tangga di Indonesia mencapai 26,774 juta ton setiap tahun.

Jika ditambah konsumsi di luar rumah tangga sebesar 17,24 kg/kapita/tahun, maka total kebutuhan beras Indonesia mencapai 31,515 juta ton/tahun.

Dari total kebutuhan tersebut, pemerintah harus menguasai CBP sekitar 2,68 juta ton setiap tahun, baik dari pengadaan beras dalam negeri maupun beras impor.

Pembatasan kuota impor menyebabkan harga beras domestik tetap mahal, karena beras impor yang lebih murah tidak mudah masuk ke Indonesia.

Kuota impor beras di satu sisi melindungi petani padi, tetapi di sisi lain membebani konsumen dan menyebabkan inflasi pangan cukup tinggi.

Sekitar 50 persen pengeluaran penduduk Indonesia digunakan untuk konsumsi pangan, di mana sebagian besar di antaranya untuk konsumsi beras.

BPS (2021) mencatat pengeluaran rata-rata per kapita sebulan kelompok makanan sebesar Rp 603.236, di mana sebanyak Rp 66.789 (11,07 persen) digunakan untuk membeli beras.

Harga pangan tinggi mengikis daya beli masyarakat, dengan dampak yang bervariasi pada seluruh kelompok pendapatan.

Dalam IEP December 2022 itu Bank Dunia memperkirakan peningkatan harga pangan sebesar 7,9 persen year-on-year pada September 2022, mengurangi konsumsi rumah tangga sebesar 3,7 persen pada masyarakat kelas bawah dan 2,8 persen pada masyarakat kelas atas.

Harga beras harus mahal

Bagi petani, harga beras memang harus mahal, karena mampu mengangkat harga gabah menjadi lebih mahal. Hasil kajian Lastinawati dkk. (2018) menunjukkan bahwa nilai elastisitas transmisi harga beras terhadap harga gabah sebesar 0,854-1,095.

Angka ini berarti bahwa kenaikan harga beras di tingkat konsumen sebesar satu persen menyebabkan harga gabah di tingkat petani meningkat 0,854-1,095 persen.

Harga gabah mahal inilah yang diharapkan lebih mampu meningkatkan kesejahteran (pendapatan) petani dibandingkan peningkatkan produksi padi.

Fakta membuktikan bahwa ketika Indonesia berhasil berswasembada beras selama tiga tahun berturut-turut (2019-2021) dan mendapat penghargaan dari IRRI pada Agustus 2022, kesejahteraan petani justru menurun.

BPS mencatat tren produksi beras Indonesia meningkat sebanyak 31,31 juta ton (2019), 31,5 juta ton (2020), dan 31,36 juta ton (2021).

Pada periode sama, BPS (2022) mencatat angka NTPP (Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan) menurun dari 101,72 (2019), 100,34 (2020), 98,21 (2021), menjadi 97,90 (Agustus 2022).

Angka NTPP tersebut membuktikan bahwa kesejahteraan petani padi semakin menurun pada saat pemerintah menerima penghargaan atas prestasi meningkatkan produksi padi sehingga mencapai swasembada beras.

Rendahnya kesejahteraan petani padi juga bisa dilihat dari pendapatannya. Survei BPS tentang Struktur Ongkos Usaha Tanaman Padi 2017 (SOUT Padi 2017) mencatat pendapatan petani hanya sebesar Rp 4,95 juta per musim tanam per hektare atau Rp 1,23 juta per bulan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com