Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ekonomi Global Gelap, Ini Cara Indonesia Jadi "Lilin Penerang"

Kompas.com - 19/01/2023, 14:32 WIB
Yohana Artha Uly,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah akan waspada dan antisipatif dalam menghadapi perekonomian tahun ini. Berbagai strategi dan kebijakan pun disiapkan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,3 persen pada 2023.

Ia menuturkan, ekonomi global masih "berawan hitam" atau diliputi ketidakpastian. Namun Managing Director IMF Kristalina Georgieva menyebut Indonesia sebagai cahaya terang dalam kegelapan karena pertumbuhan ekonomi yang masih di atas 5 persen.

"Nah tentu Indonesia berharap, karena kita punya resiliensi selama penanganan pandemi Covid-19, ini juga berharap punya resiliensi untuk di tahun 2023 ini,” ujar Airlangga dalam keterangan tertulis, Kamis (19/1/2023).

Baca juga: Jokowi Sebut 47 Negara Sudah Jadi Pasien IMF, yang Antre Masih Banyak

Airlangga mengungkapkan, pemerintah akan mendorong kinerja dari sisi industri manufaktur. Pada akhir tahun lalu, PMI manufaktur RI masih berada di level ekspansif yakni mencapai 50,9, naik dibandingkan November 2022 yang sebesar 50,3.

Maka untuk menjaga kinerja sektor manufaktur, kata Airlangga, pemerintah perlu optimis, tetap menjaga permintaan (demand), serta melakukan tindak lanjut hilirisasi dan pengembangan ekosistem di sektor manufaktur.

Pada sektor riil, lanjutnya, pemerintah akan meningkatkan kinerja industri berorientasi ekspor yang semakin berdaya saing. Saat ini terdapat tiga primadona ekspor Indonesia yakni nikel, kelapa sawit dan turunannya, serta batu bara.

Baca juga: Ramalan Buruk IMF: Sepertiga Ekonomi Dunia Bakal Resesi pada 2023


Di sisi lain, pemerintah juga telah menetapkan kebijakan larangan ekspor bauksit yang akan berlaku mulai Juni 2023. Kebijakan ini untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral Indonesia sebelum akhirnya diekspor.

Ia bilang, selama ini sebagian besar kebutuhan alumina masih impor, sehingga pembangunan smelter di dalam negeri menjadi prospek yang menjanjikan.

Untuk mendorong percepatan pembangunan smelter, pemerintah akan mengidentifikasi dan merumuskan dukungan kebijakan terutama yang terkait dengan kebijakan insentif fiskal.

Baca juga: Jokowi: RI Jadi Titik Terang di Tengah Gelapnya Ekonomi Global, tapi Tetap Perlu Waspada

"Karena memang harga bauksit itu relatif rendah, di bawah 60 dollar AS. Tetapi kalau dia sudah menjadi aluminium, bisa di atas 2.300 dollar AS, jadi nilai tambahnya luar biasa. Dan pemerintah menyadari bahwa sebagian eksportir itu melakukan investasi yang tidak sepenuhnya direalisasikan,” papar Airlangga.

Tak hanya itu, pemerintah juga akan merivisi aturan terkait devisa hasil ekspor (DHE). Rencananya, sektor yang wajib memakirkan devisa hasil ekspornya di dalam negeri akan diperluas, selain itu akan ditetapkan jangka waktu tertentu.

Saat ini, menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019, devisa hasil ekspor sumber daya alam yang berasal berasal dari sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan wajib masuk dalam sistem keuangan Indonesia.

Baca juga: Bank Dunia Proyeksi Ekonomi Global 2023 Turun Tajam, Hanya Tumbuh 1,7 Persen

Namun, aturan DHE saat ini tak mewajibkan penempatan dana dalam jangka waktu tertentu. Hal ini berbeda dengan sejumlah negara yang mewajibkan dalam jangka waktu tertentu, seperti India dan Thailand yang harus memarkir DHE selama beberapa bulan di dalam negeri.

"Kalo devisanya parkir di negara sendiri, kayak Thailand itu mewajibkan 3 bulan, nah itu akan memperkuat cadangan devisa kita dan akan memperkuat kurs rupiah. Inilah yang diperlukan di tahun 2023. Dengan ekspor yang baik, kita minta dollar-nya itu pulang," kata Airlangga.

Baca juga: Ekonomi China Tumbuh 3 Persen, Terendah dalam 50 Tahun Terakhir

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com