Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menakar Prospek IHSG pada 2023 di Tengah Risiko Normalisasi Harga Komoditas

Kompas.com - 20/01/2023, 06:00 WIB
Rully R. Ramli,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kinerja pasar saham Indonesia diproyeksi tetap positif pada tahun 2023. Meskipun demikian, sejumlah sentimen berpotensi menghambat perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), salah satunya normalisasi harga komoditas.

Schroders Indonesia menyatakan, prospek IHSG pada tahun ini akan tetap solid, namun tidak secerah tahun 2022. Ini selaras dengan harga komoditas yang mengalami normalisasi, terutama harga batu bara.

Fenomena itu kemudian akan berdampak terhadap pendapatan perusahaan. Sebagaimana diketahui, pertumbuhan pendapatan signifikan emiten berbasis komoditas menjadi salah satu pendongkrak kinerja IHSG pada tahun lalu.

"Tingkat pertumbuhan market earnings diharapkan menjadi satu digit rendah pada tahun 2023," tulis Schroders Indonesia, dalam Schroders Indonesia Outlook, dikutip Kamis (19/1/2023).

Baca juga: Melihat Prospek IHSG Pasca Kembali Dinaikannya Suku Bunga Acuan BI

Namun demikian, jika tidak memperhitungkan sektor komoditas, pertumbuhan pendapatan emiten Bursa Efek Indonesia (BEI) masih akan tumbuh pesat, mencapai dua digit. Pertumbuhan ini akan ditopang oleh sektor perbankan dan konsumen.

"Karena pertumbuhan pinjaman meningkat sementara perusahaan konsumen melihat pemulihan marjin dari harga soft commodities yang lebih rendah," tulis Schroders Indonesia.

Sementara itu, sektor teknologi diproyeksi masih berada di bawah tekanan. Ini selaras dengan masih tingginya suku bunga acuan.

"Namun demikian, pelonggaran kebijakan moneter paling awal yang kami perkirakan hanya akan terjadi menjelang tahun 2023," tulis Schroders Indonesia.

Baca juga: Mirae Asset Proyeksi IHSG Tembus 7.880 pada 2023, Sektor-sektor Saham Ini Jadi Pilihan

Risiko 2023

Schroders Indonesia menilai, terdapat sejumlah risiko yang dapat menjadi sentimen negatif bagi pasar saham nasional. Pertama, tingkat inflasi tinggi yang berpotensi menggerus daya beli masyarakat.

Kemudian, penurunan harga komoditas yang berlangsung secara cepat. Ini berisiko negatif terhadap pasar saham dan mata uang Indonesia.

"Meskipun menurut kami musim dingin dan ketegangan geopolitik akan membuat penurunan harga komoditas berlangsung lebih bertahap," tulis Schroders Indonesia.

Ketiga, perbaikan lanskap politik dan makro China. Ini termasuk pembuatan kebijakan yang akan menarik uang asing kembali ke China.

Risiko keempat menurut Schroders ialah pemulihan AS. Maklum saja, pemulihan AS berpotensi mendorong uang asing kembali ke Negeri Paman Sam.

"Kelima, mungkin ada gangguang yang datang dari lanskap politik menjelang pemilihan presiden di tahun 2024," tulis Schroders Indonesia.

Baca juga: Manulife Investment Management Proyeksi IHSG Capai 8.040 hingga Akhir 2023

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com