SAAT mulai menjabat tahun 2014, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan, Indonesia mencapai swasembada beras dalam waktu tiga tahun. Namun target swasembada beras itu selalu meleset. Sejak 2014 hingga saat ini, Indonesia sering kali mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhan pangan warganya.
Trennya bahkan terus meningkat. Tahun 2014, impor beras Indonesia tercatat 844.163 ton. Tahun berikutnya, impor beras naik tipis menjadi 861.601 ton. Pada 2016, impor beras mengalami lonjakan 49 persen menjadi 1,28 juta ton. Namun tahun 2017, impor beras menyusut drastis sebesar 76 persen.
Isu impor beras makin melebar setelah Kementerian Perdagangan (Kemendag) kembali menerbitkan izin impor beras sebanyak 1 juta ton pada Agustus 2018. Artinya, total potensi volume beras bisa mencapai 2 juta ton, walaupun realisasi impor beras Bulog hingga Juni 2018 mencapai 865.519 ton.
Baca juga: Ridwan Kamil: Jawa Barat Tidak Boleh Impor Beras karena Kita Berlebih
Realisasi impor beras tersebut memang sesuai proyeksi FAO, Organisasi Pangan dan Pertanian di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang memperkirakan impor beras Indonesia tahun 2018 sekitar 800 ribu ton saja. Itu artinya, bila terjadi realisasi impor sampai 2 juta ton, maka setara dengan dua kali lipat lebih proyeksi FAO maupun realisasi impor beras tahun-tahun sebelumnya.
Jumlah izin impor beras tahun 2018 yang diberikan kepada Bulog memang cukup besar bila dibandingkan realisasi impor tahun-tahun sebelumnya.
Impor beras seringkali memicu beda pendapat dan data di internal pemerintah terutama oleh Kementerian Pertanian (Kementan). Namun, bedanya tahun 2018, Menteri Pertanian Amran Sulaiman kala itu diklaim sudah memberi lampu hijau karena keputusan izin impor beras sebenarnya adalah hasil keputusan bersama antara Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian, dan Direktur Utama Perum Bulog.
Pertimbangannya ketika itu adalah dengan melihat stok dan kebutuhan nasional saat menghadapi musim kemarau.
Terkait data, terjadi perbedaan antara Kementan dan Badan Pusat Stastistik (BPS), sehingga para pihak yang berwenang atas kebijakan impor beras acapkali saling klaim dan saling bantah. Kementan pada April 2018 memprediksi produksi beras tahun itu sebesar 80 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara 46,5 juta ton beras. Mereka mengeklaim sumber datanya dari BPS.
Sementara BPS menyebutkan total produksi padi 2018 sebesar 56,54 juta ton GKG. Bila dikonversikan ke beras, maka total produksi beras tahun 2018 sebesar 32,42 juta ton.
Perbedaan angka tersebut menyulut kontroversi saat pemerintah memutuskan untuk mengimpor beras. Kementan mensyaratkan produksi beras nasional harus lebih dari cukup demi memenuhi kebutuhan nasional. Sementara jika berpatokan pada data dari BPS, hasil kebijakannya hampir pasti akan berbeda pula.
Sebenarnya, BPS dan Kementan sudah bekerja sama mengumpulkan data pertanian melalui survei pertanian sejak tahun 1970. Untuk mendapatkan nilai produksi padi, BPS punya rumus: luas panen dikali produktivitas.
Baca juga: Luluh, Mendag Izinkan Keran Impor Beras Ditutup 16 Februari 2023
Data luas panen tersebut diolah dari laporan Statistik Pertanian Tanaman Pangan milik BPS. Data pada laporan tersebut kemudian dikumpulkan melalui penaksiran dan pengamatan mata. Data juga dilengkapi dengan wawancara pada Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL).
Sementara angka produktivitas didapat dari Survei Ubinan yang dilakukan petugas Dinas Pertanian dan Koordinator Statistik Kecamatan. Survei tersebut diterbitkan setiap periode empat bulan dengan hasil angka ramalan (Aram), angka sementara (Asem), dan angka tetap (Atap). Setelah angka produksi padi GKG didapat, barulah bisa dikonversi menjadi produksi beras.
Konversi GKG ke beras dilakukan menggunakan angka konversi rendemen penggilingan. BPS dalam Survei Konversi GKG ke beras tahun 2005-2007 menetapkan angka konversi 62,74 persen. Angka tersebut diperbarui menjadi 62,47 persen pada survei 2012, namun belum digunakan.
Sementara Kementan dalam laman resminya menggunakan angka konversi 58,13 persen.