Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Henry MP Siahaan
Advokat, Peneliti, dan Dosen

Advokat, peneliti, dan dosen

Pentingnya Pembenahan Data Beras Nasional

Kompas.com - 31/01/2023, 11:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAAT mulai menjabat tahun 2014, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan, Indonesia mencapai swasembada beras dalam waktu tiga tahun. Namun target swasembada beras itu selalu meleset. Sejak 2014 hingga saat ini, Indonesia sering kali mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhan pangan warganya.

Trennya bahkan terus meningkat. Tahun 2014, impor beras Indonesia tercatat 844.163 ton. Tahun berikutnya, impor beras naik tipis menjadi 861.601 ton. Pada 2016, impor beras mengalami lonjakan 49 persen menjadi 1,28 juta ton. Namun tahun 2017, impor beras menyusut drastis sebesar 76 persen.

Isu impor beras makin melebar setelah Kementerian Perdagangan (Kemendag) kembali menerbitkan izin impor beras sebanyak 1 juta ton pada Agustus 2018. Artinya, total potensi volume beras bisa mencapai 2 juta ton, walaupun realisasi impor beras Bulog hingga Juni 2018 mencapai 865.519 ton.

Baca juga: Ridwan Kamil: Jawa Barat Tidak Boleh Impor Beras karena Kita Berlebih

Realisasi impor beras tersebut memang sesuai proyeksi FAO, Organisasi Pangan dan Pertanian di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang memperkirakan impor beras Indonesia tahun 2018 sekitar 800 ribu ton saja. Itu artinya, bila terjadi realisasi impor sampai 2 juta ton, maka setara dengan dua kali lipat lebih proyeksi FAO maupun realisasi impor beras tahun-tahun sebelumnya.

Jumlah izin impor beras tahun 2018 yang diberikan kepada Bulog memang cukup besar bila dibandingkan realisasi impor tahun-tahun sebelumnya.

Impor beras seringkali memicu beda pendapat dan data di internal pemerintah terutama oleh Kementerian Pertanian (Kementan). Namun, bedanya tahun 2018, Menteri Pertanian Amran Sulaiman kala itu diklaim sudah memberi lampu hijau karena keputusan izin impor beras sebenarnya adalah hasil keputusan bersama antara Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian, dan Direktur Utama Perum Bulog.

Pertimbangannya ketika itu adalah dengan melihat stok dan kebutuhan nasional saat menghadapi musim kemarau.

Perbedaan Data Produksi Beras

Terkait data, terjadi perbedaan antara Kementan dan Badan Pusat Stastistik (BPS), sehingga para pihak yang berwenang atas kebijakan impor beras acapkali saling klaim dan saling bantah. Kementan pada April 2018 memprediksi produksi beras tahun itu sebesar 80 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara 46,5 juta ton beras. Mereka mengeklaim sumber datanya dari BPS.

Sementara BPS menyebutkan total produksi padi 2018 sebesar 56,54 juta ton GKG. Bila dikonversikan ke beras, maka total produksi beras tahun 2018 sebesar 32,42 juta ton.

Perbedaan angka tersebut menyulut kontroversi saat pemerintah memutuskan untuk mengimpor beras. Kementan mensyaratkan produksi beras nasional harus lebih dari cukup demi memenuhi kebutuhan nasional. Sementara jika berpatokan pada data dari BPS, hasil kebijakannya hampir pasti akan berbeda pula.

Sebenarnya, BPS dan Kementan sudah bekerja sama mengumpulkan data pertanian melalui survei pertanian sejak tahun 1970. Untuk mendapatkan nilai produksi padi, BPS punya rumus: luas panen dikali produktivitas.

Baca juga: Luluh, Mendag Izinkan Keran Impor Beras Ditutup 16 Februari 2023

Data luas panen tersebut diolah dari laporan Statistik Pertanian Tanaman Pangan milik BPS. Data pada laporan tersebut kemudian dikumpulkan melalui penaksiran dan pengamatan mata. Data juga dilengkapi dengan wawancara pada Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL).

Sementara angka produktivitas didapat dari Survei Ubinan yang dilakukan petugas Dinas Pertanian dan Koordinator Statistik Kecamatan. Survei tersebut diterbitkan setiap periode empat bulan dengan hasil angka ramalan (Aram), angka sementara (Asem), dan angka tetap (Atap). Setelah angka produksi padi GKG didapat, barulah bisa dikonversi menjadi produksi beras.

Konversi GKG ke beras dilakukan menggunakan angka konversi rendemen penggilingan. BPS dalam Survei Konversi GKG ke beras tahun 2005-2007 menetapkan angka konversi 62,74 persen. Angka tersebut diperbarui menjadi 62,47 persen pada survei 2012, namun belum digunakan.

Sementara Kementan dalam laman resminya menggunakan angka konversi 58,13 persen.

Meskipun menetapkan angka konversi, akan tetapi BPS tak merilis secara resmi jumlah produksi beras. BPS dalam laman resminya selalu memperbarui data produksi GKG dan luas lahan panen hingga 2015. Setelah periode itu, BPS vakum merilis secara resmi data tersebut. BPS absen selama hampir tiga tahun merilis data luas panen padi dan GKG.

Kementan tetap mengeluarkan data produksi padi. Data yang dikeluarkan tersebut diklaim merupakan hasil rapat koordinasi dengan BPS dalam menetapkan Atap ataupun Aram mengenai data luas panen dan GKG.

Setelah vakum merilis data luas panen dan GKG, BPS mulai melakukan uji coba metode Kerangka Sampel Area (KSA) sebagai pengganti metode pengamatan mata Statistik Pertanian yang dinilai kurang akurat untuk mengetahui luas panen hingga GKG. Kegiatan tersebut sudah direkomendasikan sejak adanya Unit Kerja Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) pada saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Metode KSA merupakan perhitungan luas panen dengan memanfaatkan citra satelit milik Badan Informasi Geospasial (BIG) dan peta lahan baku sawah milik Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Selain menghitung luas panen dengan metode KSA, BPS juga menyempurnakan metodologi menghitung produktivitas per hektar.

Penyempurnaan tersebut melalui perubahan metode ubinan berbasis rumah tangga menjadi metode ubinan berbasis sampel KSA. BPS juga menetapkan angka konversi GKG ke beras terbaru melalui survei di dua periode berbeda dengan basis provinsi.

Penerapan metode tersebut juga bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).

Dalam Pedoman Pelaksanaan Uji Coba Sistem KSA 2015, BPS menyebutkan untuk memperoleh data yang akurat diperlukan pengukuran langsung terhadap objek. Sedangkan untuk mendapat informasi tepat waktu dilakukan dengan dua tahapan: pengukuran terhadap sampel untuk mengestimasi populasi, kemudian pengiriman data melalui teknologi SMS gateway dari lapangan ke pusat pengolah data.

Hasilnya, dalam rentang waktu tiga tahun, perbedaan tersebut bisa didamaikan oleh pemerintah dan secara strategis bisa mengubah defisit produksi beras menjadi surplus dalam dua tahun terakhir.

Puncak prestasinya tercatat pada 14 Agustus 2022 ketika Presiden Jokowi menerima penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI). Penghargaan diberikan IRRI karena menilai Indonesia berhasil menerapkan swasembada pangan dan sistem pertanian yang tangguh.

Namun belum reda euphoria swasembada pangan tersebut, empat bulan kemudian, tepatnya menjelang akhir tahun 2022, Indonesia justru mengambil langkah mengejutkan dengan membuka izin impor beras hingga 500 ribu ton lewat Perum Bulog. Rencananya, realisasi impor akan bertahap, yaitu 200 ribu ton sampai akhir 2023, dan sisanya 300 ribu ton hingga sebelum panen raya atau Februari 2023.

Jadi, tak heran mengapa hari ini Bulog mendapat tambahan cadangan beras pemerintah (CBP) 10.000 ton. Kapal impor perdana dari Vietnam belum lama ini tiba dengan membawa 5.000 ton di Tanjung Priok (Jakarta) dan 5.000 ton di Merak (Banten).

Berdasarkan keterangan pemerintah, beras akan terus bertambah karena sudah banyak kapal impor dari Vietnam, Thailand, Pakistan, dan Myanmar yang sudah antre untuk bersandar di pelabuhan.

Lagi-lagi keputusan impor ini didahului perbedaan data antara Kementan, Kemendag, dan Bulog. Ketiga institusi berbeda pandangan soal tingkat kesediaan beras nasional.

Menurut Kementan, cadangan beras nasional masih sangat mencukupi dan belum diperlukan pasokan baru impor. Menurut Kemendag dan Bulog malah sebaliknya.

Perlu Pembenahan

Pendeknya, terlepas apakah kemudian pemerintah memutuskan untuk memilih kebijakan impor atau tidak, keduanya sama-sama tidak didukung oleh basis data yang komprehensif. Beberapa institusi yang terkait dengan penghimpunan data pangan masih bersitegang satu sama lain terkait validitas data pangan.

Hal itu tentu sangat disayangkan. Ke depan, dengan metode yang lebih sempurna seharusnya persoalan data produksi beras bisa diatasi agar tak menjadi masalah menahun. Beberapa variabel penting seperti angka konversi GKG setara beras harus disinergikan. Juga metode penghitungan luas panen perlu segera dibenahi.

Baca juga: Indonesia Sudah Impor Beras tapi Kok Masih Mahal? Bos Bulog: Bukti Kebutuhan Banyak, Stoknya Kurang

Selain itu, koordinasi antar lembaga sangat penting terutama BPS, Kementan, Perum Bulog, dan Kemendag. Hasil koordinasi atas soliditas dan validitas data akan sangat menentukan bagi pemerintah dalam mengambil keputusan impor beras.

Validitas dan kredibilitas data perberasan nasional tidak saja terkait dengan popularitas dan legitimasi politik penguasa, tetapi yang lebih penting dari itu adalah soal nasib sektor pertanian beserta petani kita di satu sisi dan soal masa depan ketahanan pangan di sisi yang lain.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pegadaian Bukukan Laba Bersih Rp 1,4 Triliun pada Kuartal I 2024

Pegadaian Bukukan Laba Bersih Rp 1,4 Triliun pada Kuartal I 2024

Whats New
Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun, Bulog Tunggu Arahan Pemerintah

Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun, Bulog Tunggu Arahan Pemerintah

Whats New
BTN Cetak Laba Bersih Rp 860 Miliar pada Kuartal I 2024

BTN Cetak Laba Bersih Rp 860 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
Bulog Siap Jadi Pembeli Gabah dari Sawah Hasil Teknologi Padi China

Bulog Siap Jadi Pembeli Gabah dari Sawah Hasil Teknologi Padi China

Whats New
Bulog Baru Serap 633.000 Ton Gabah dari Petani, Dirut: Periode Panennya Pendek

Bulog Baru Serap 633.000 Ton Gabah dari Petani, Dirut: Periode Panennya Pendek

Whats New
Dari Perayaan HUT hingga Bagi-bagi THR, Intip Kemeriahan Agenda PUBG Mobile Sepanjang Ramadhan

Dari Perayaan HUT hingga Bagi-bagi THR, Intip Kemeriahan Agenda PUBG Mobile Sepanjang Ramadhan

Rilis
INACA: Iuran Pariwisata Tambah Beban Penumpang dan Maskapai

INACA: Iuran Pariwisata Tambah Beban Penumpang dan Maskapai

Whats New
Bank DKI Sumbang Dividen Rp 326,44 Miliar ke Pemprov DKI Jakarta

Bank DKI Sumbang Dividen Rp 326,44 Miliar ke Pemprov DKI Jakarta

Whats New
OASA Bangun Pabrik Biomasa di Blora

OASA Bangun Pabrik Biomasa di Blora

Rilis
Pengumpulan Data Tersendat, BTN Belum Ambil Keputusan Akuisisi Bank Muamalat

Pengumpulan Data Tersendat, BTN Belum Ambil Keputusan Akuisisi Bank Muamalat

Whats New
Cara Hapus Daftar Transfer di Aplikasi myBCA

Cara Hapus Daftar Transfer di Aplikasi myBCA

Work Smart
INA Digital Bakal Diluncurkan, Urus KTP hingga Bayar BPJS Jadi Lebih Mudah

INA Digital Bakal Diluncurkan, Urus KTP hingga Bayar BPJS Jadi Lebih Mudah

Whats New
Suku Bunga Acuan BI Naik, Anak Buah Sri Mulyani: Memang Kondisi Global Harus Diantisipasi

Suku Bunga Acuan BI Naik, Anak Buah Sri Mulyani: Memang Kondisi Global Harus Diantisipasi

Whats New
Ekonom: Kenaikan BI Rate Bakal 'Jangkar' Inflasi di Tengah Pelemahan Rupiah

Ekonom: Kenaikan BI Rate Bakal "Jangkar" Inflasi di Tengah Pelemahan Rupiah

Whats New
Menpan-RB: ASN yang Pindah ke IKN Bakal Diseleksi Ketat

Menpan-RB: ASN yang Pindah ke IKN Bakal Diseleksi Ketat

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com