Padahal, saat itu tidak ada kenaikan konsumsi gula yang tinggi, walaupun di sisi lain ada penurunan produksi di dalam negeri.
Karena impornya tinggi, stok nasional semakin banyak. Sehingga dapat dipahami mengapa kemudian Faisal mencurigai lonjakan impor tersebut terkait dengan praktik rente para mafia yang menguasai pasar.
Penyiasatan pemerintah pun terlihat cukup "tricky", sebagaimana dicurigai juga oleh ekonom Faisal Basri.
Lihat saja, dengan dalih untuk melindungi produsen gula dalam negeri, pemerintah justru menyiasatinya dengan membuat pengkategorian jenis gula, yakni membedakan antara gula kristal rafinasi (GKR) untuk industri dan gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi masyarakat.
Padahal, impor gula hanya untuk pemenuhan GKR industri, namun dalam perkembangannya GKR justru juga digunakan untuk instrumen stabilisasi harga konsumen.
Artinya, gula tersebut akan sewaktu-waktu ikut bermain di pasar umum untuk konsumen umum. Jadi sangat bisa dipahami mengapa pada akhirnya Indonesia menduduki posisi negara importir gula terbesar di dunia.
Sengkarut berawal di saat Kementerian Perindustrian menargetkan kebutuhan industri terhadap gula rafinasi sebesar 2,8 juta ton tahun itu, sementara Kementerian Perdagangan hanya memberikan kuota impor sebanyak 3,6 juta ton.
Kuota tersebut dibagi dalam dua semester, yakni semester satu 1,73 juta ton dan semester dua 1,87 juta ton. Namun, realisasi yang terjadi pada semester I 2018 hanya mencapai 1,56 juta ton.
Hal tersebut menggambarkan bahwa industri tidak membutuhkan gula rafinasi sebanyak yang direncanakan pada awal 2018. Akhirnya, Kementerian Perdagangan merevisi kuota dari 3,6 juta ton menjadi 3,15 juta ton.
Namun pada semester II 2018, kuota impor justru melejit hingga realisasi pada akhir 2018 tercatat 3,37 juta ton.
Meskipun masih memenuhi kuota impor saat awal sebesar 3,6 juta ton, namun meleset dari target revisi tengah tahun sebanyak 3,15 juta ton. Realisasi impor itu di luar impor gula untuk konsumsi sebesar 1,01 juta ton pada 2018.
Dengan fakta tersebut, berkemungkinan besar gula yang diimpor tidak hanya untuk kebutuhan industri, namun juga untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri.
Sejauh ini, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian masih bertahan dengan alasan kekurangan stok dalam negeri.
Pemerintah melalui Menteri Perdagangan mengakui bahwa permintaan impor gula industri terus meningkat setiap tahunnya. Peningkatan volume impor gula industri tersebut dipicu oleh permintaan dari industri yang juga tumbuh.
Namun lucunya, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan tak pernah berbicara tentang perbaikan kapasitas produksi gula dalam negeri, seolah-olah solusi satu-satunya hanya impor.