Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Henry MP Siahaan
Advokat, Peneliti, dan Dosen

Advokat, peneliti, dan dosen

Menyoal Kecanduan Impor Gula

Kompas.com - 01/02/2023, 09:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bahkan tahun 2018, Menteri Perdagangan kala itu malah menyalahkan produk gula dalam negeri. Alasannya, kadar gula dalam negeri tidak sesuai dengan kebutuhan industri makanan dan minuman.

Menurut beliau, berdasarkan standar internasional, kadar gula Indonesia memiliki tingkat International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis (ICUMSA) yang tinggi.

Sementara, yang dibutuhkan untuk industri makanan dan minuman harus dalam level rendah. Logika tersebut kemudian menjadi latar kenaikan permintaan impor gula industri.

Memang, jika kita telusuri kemampuan produksi gula nasional, ternyata kapasitasnya terus merosot, pun lahan tebu yang juga terus berkurang.

Pada tahun 2014, lahan tebu masih 450.000 hektar. Tahun 2016 merosot menjadi 425.000 hektar. Tahun 2017 terjadi lagi penurunan 5.000 menjadi 420.000 hektar.

Dengan penurunan luas lahan tersebut, produksi gula nasional ikut merosot. Dari data yang ada terlihat, pada 2014 produksi gula nasional masih mencapai 2,5 juta ton, namun pada tahun 2015 turun menjadi 2,4 juta ton, lalu 2016 kembali turun menjadi 2,2 juta ton, dan 2017 turun menjadi 2,1 juta ton.

Fakta tersebut berseberangan dengan tingkat kebutuhan gula nasional. Untuk gula konsumsi saja, produksi nasional tak mampu memenuhi.

Untuk tahun 2018 lalu, misalnya, kebutuhan konsumsi gula nasional tercatat sekitar 3,2 juta ton. Sementara itu, total produksi nasional diperkirakan hanya 2,1 juta ton. Sementara secara keseluruhan, kebutuham gula nasional berkisar 6 juta ton per tahun.

Kemampuan produksi nasional yang berada di bawah tingkat kebutuhan nasional tersebut, dalam konteks tertentu, dapat merasionalisasi kebijakan impor gula.

Namun jumlah impor yang terus membengkak, dan terkadang utak-atik angka impor yang dibutuhkan pun terkesan sangat dipaksakan, sebagaimana yang pernah dipaparkan oleh ekonom Faisal Basri belum lama ini.

Lebih dari itu, sebelum terus-menerus bergantung pada impor, apalagi sampai terbiasa dengan penurunan produksi nasional, pemerintah perlu menunjukkan "sikap dan kebijakan strategis yang serius dan berpihak" terkait dengan pergulaan nasional.

Kebijakan impor sejatinya dijadikan pertahanan terakhir, setelah pemerintah kehabisan napas di dalam menopang perkembangan produksi gula nasional.

Apakah pemerintah sudah ada dalam posisi itu? Nampaknya ada walaupun masih setengah hati, yaitu dengan membentuk anak perusahaan BUMN yang khusus menangani gula.

Setengah hati karena reformasi kebijakan yang lebih terkonsolidasi masih belum dikeluarkan. Padahal sedari awal pemerintah (semestinya) sudah memahami bahwa revitalisasi gula secara menyeluruh dan terkonsolidasi sangat dibutuhkan, namun pemerintah justru terlambat memperlihatkan reaksi strategis yang berarti dalam mengantisipasinya.

Dengan asumsi itu, pemerintah terlihat seperti "spekulan gula" yang "riang gembira" menyaksikan merosotnya kapasitas produksi nasional, kemudian merasionalisasi kebijakan impor.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com