Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Henry MP Siahaan
Advokat, Peneliti, dan Dosen

Advokat, peneliti, dan dosen

Menyoal Kecanduan Impor Gula

Kompas.com - 01/02/2023, 09:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PEMERINTAH telah memutuskan membuka keran impor gula kristal putih (gula konsumsi) dan gula kristal rafinasi untuk 2023.

Diperkirakan, kuota impor gula konsumsi mencapai 991.000 ton dan gula rafinasi 3,6 juta ton, sehingga total mencapai sekitar 4,6 juta ton.

Dari pengalaman beberapa tahun terakhir, realisasi impor gula pada 2023 diprakirakan melampaui besaran kuota tersebut, baik karena kemungkinan penambahan kuota atau karena pengiriman barang kuota tahun sebelumnya.

Besar kemungkinan realisasi akan melampaui kuota, jika berkaca pada data impor gula dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang sebanyak 5,48 juta ton dengan nilai mencapai 2,38 miliar dollar pada 2021.

Sementara untuk data resmi 2022 belum dirilis oleh BPS. Meskipun begitu, diprakirakan tak jauh berbeda dalam hal volume dengan 2021, yakni di kisaran 5 juta ton.

Memang tak bisa dipungkiri bahwa volume atau jumlah gula yang diimpor cenderung meningkat selama kurun tahun 2015-2021, meski sempat terjadi penurunan pada tahun-tahun tertentu.

Impor pada tahun 2014 tercatat masih sebesar 2,93 juta ton, tapi saat ini sudah mencapai sekitar 5 juta ton.

Pada saat bersamaan, produksi dalam negeri justru cenderung menurun perlahan. Dari sebesar 2,58 juta ton pada tahun 2014 menjadi 2,35 juta ton pada tahun 2021.

Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula hingga tahun 1930-an dengan mengekspor gula sebanyak 2,4 juta ton per tahun. Sedangkan produksinya di kisaran 3 juta ton.

Pada saat itu, Indonesia menjadi eksportir nomor dua di dunia, hanya kalah dari Kuba.

Era kejayaan tersebut kemudian memudar pada masa akhir pemerintahan Belanda karena berbagai faktor. Dan pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan pun tidak berhasil mengembalikannya.

Lalu beberapa tahun belakangan, nasib Indonesia berbalik arah menjadi pengimpor gula kelas wahid. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Januari-November 2018, impor gula mencapai 4,6 juta ton atau meningkat dibandingkan periode yang sama 2017 sebesar 4,48 juta ton.

Atas data tersebut, Indonesia berada di urutan pertama negara pengimpor gula terbesar di dunia pada periode 2017-2018 dengan volume impor 4,45 juta ton.

Indonesia mengungguli Tiongkok yang berada di posisi kedua dengan 4,2 juta ton dan Amerika Serikat dengan 3,11 juta ton.

Tak pelak, ekonom sekelas Faisal Basri ketika itu akhirnya berteriak di ruang publik. Faisal merasa heran dengan kenaikan impor yang signifikan pada periode tersebut.

Padahal, saat itu tidak ada kenaikan konsumsi gula yang tinggi, walaupun di sisi lain ada penurunan produksi di dalam negeri.

Karena impornya tinggi, stok nasional semakin banyak. Sehingga dapat dipahami mengapa kemudian Faisal mencurigai lonjakan impor tersebut terkait dengan praktik rente para mafia yang menguasai pasar.

Penyiasatan pemerintah pun terlihat cukup "tricky", sebagaimana dicurigai juga oleh ekonom Faisal Basri.

Lihat saja, dengan dalih untuk melindungi produsen gula dalam negeri, pemerintah justru menyiasatinya dengan membuat pengkategorian jenis gula, yakni membedakan antara gula kristal rafinasi (GKR) untuk industri dan gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi masyarakat.

Padahal, impor gula hanya untuk pemenuhan GKR industri, namun dalam perkembangannya GKR justru juga digunakan untuk instrumen stabilisasi harga konsumen.

Artinya, gula tersebut akan sewaktu-waktu ikut bermain di pasar umum untuk konsumen umum. Jadi sangat bisa dipahami mengapa pada akhirnya Indonesia menduduki posisi negara importir gula terbesar di dunia.

Sengkarut berawal di saat Kementerian Perindustrian menargetkan kebutuhan industri terhadap gula rafinasi sebesar 2,8 juta ton tahun itu, sementara Kementerian Perdagangan hanya memberikan kuota impor sebanyak 3,6 juta ton.

Kuota tersebut dibagi dalam dua semester, yakni semester satu 1,73 juta ton dan semester dua 1,87 juta ton. Namun, realisasi yang terjadi pada semester I 2018 hanya mencapai 1,56 juta ton.

Hal tersebut menggambarkan bahwa industri tidak membutuhkan gula rafinasi sebanyak yang direncanakan pada awal 2018. Akhirnya, Kementerian Perdagangan merevisi kuota dari 3,6 juta ton menjadi 3,15 juta ton.

Namun pada semester II 2018, kuota impor justru melejit hingga realisasi pada akhir 2018 tercatat 3,37 juta ton.

Meskipun masih memenuhi kuota impor saat awal sebesar 3,6 juta ton, namun meleset dari target revisi tengah tahun sebanyak 3,15 juta ton. Realisasi impor itu di luar impor gula untuk konsumsi sebesar 1,01 juta ton pada 2018.

Dengan fakta tersebut, berkemungkinan besar gula yang diimpor tidak hanya untuk kebutuhan industri, namun juga untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri.

Sejauh ini, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian masih bertahan dengan alasan kekurangan stok dalam negeri.

Pemerintah melalui Menteri Perdagangan mengakui bahwa permintaan impor gula industri terus meningkat setiap tahunnya. Peningkatan volume impor gula industri tersebut dipicu oleh permintaan dari industri yang juga tumbuh.

Namun lucunya, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan tak pernah berbicara tentang perbaikan kapasitas produksi gula dalam negeri, seolah-olah solusi satu-satunya hanya impor.

Bahkan tahun 2018, Menteri Perdagangan kala itu malah menyalahkan produk gula dalam negeri. Alasannya, kadar gula dalam negeri tidak sesuai dengan kebutuhan industri makanan dan minuman.

Menurut beliau, berdasarkan standar internasional, kadar gula Indonesia memiliki tingkat International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis (ICUMSA) yang tinggi.

Sementara, yang dibutuhkan untuk industri makanan dan minuman harus dalam level rendah. Logika tersebut kemudian menjadi latar kenaikan permintaan impor gula industri.

Memang, jika kita telusuri kemampuan produksi gula nasional, ternyata kapasitasnya terus merosot, pun lahan tebu yang juga terus berkurang.

Pada tahun 2014, lahan tebu masih 450.000 hektar. Tahun 2016 merosot menjadi 425.000 hektar. Tahun 2017 terjadi lagi penurunan 5.000 menjadi 420.000 hektar.

Dengan penurunan luas lahan tersebut, produksi gula nasional ikut merosot. Dari data yang ada terlihat, pada 2014 produksi gula nasional masih mencapai 2,5 juta ton, namun pada tahun 2015 turun menjadi 2,4 juta ton, lalu 2016 kembali turun menjadi 2,2 juta ton, dan 2017 turun menjadi 2,1 juta ton.

Fakta tersebut berseberangan dengan tingkat kebutuhan gula nasional. Untuk gula konsumsi saja, produksi nasional tak mampu memenuhi.

Untuk tahun 2018 lalu, misalnya, kebutuhan konsumsi gula nasional tercatat sekitar 3,2 juta ton. Sementara itu, total produksi nasional diperkirakan hanya 2,1 juta ton. Sementara secara keseluruhan, kebutuham gula nasional berkisar 6 juta ton per tahun.

Kemampuan produksi nasional yang berada di bawah tingkat kebutuhan nasional tersebut, dalam konteks tertentu, dapat merasionalisasi kebijakan impor gula.

Namun jumlah impor yang terus membengkak, dan terkadang utak-atik angka impor yang dibutuhkan pun terkesan sangat dipaksakan, sebagaimana yang pernah dipaparkan oleh ekonom Faisal Basri belum lama ini.

Lebih dari itu, sebelum terus-menerus bergantung pada impor, apalagi sampai terbiasa dengan penurunan produksi nasional, pemerintah perlu menunjukkan "sikap dan kebijakan strategis yang serius dan berpihak" terkait dengan pergulaan nasional.

Kebijakan impor sejatinya dijadikan pertahanan terakhir, setelah pemerintah kehabisan napas di dalam menopang perkembangan produksi gula nasional.

Apakah pemerintah sudah ada dalam posisi itu? Nampaknya ada walaupun masih setengah hati, yaitu dengan membentuk anak perusahaan BUMN yang khusus menangani gula.

Setengah hati karena reformasi kebijakan yang lebih terkonsolidasi masih belum dikeluarkan. Padahal sedari awal pemerintah (semestinya) sudah memahami bahwa revitalisasi gula secara menyeluruh dan terkonsolidasi sangat dibutuhkan, namun pemerintah justru terlambat memperlihatkan reaksi strategis yang berarti dalam mengantisipasinya.

Dengan asumsi itu, pemerintah terlihat seperti "spekulan gula" yang "riang gembira" menyaksikan merosotnya kapasitas produksi nasional, kemudian merasionalisasi kebijakan impor.

Sebenarnnya logika yang sama juga menjangkiti komoditas lain, seperti beras, daging, jagung, dan garam.

Tak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mengetahui penurunan kapasitas produksi nasional masing-masing komoditas tersebut, namun pada akhirnya kebutuhan atas kebijakan impor dianggap rasional secara matematis dan politis.

Dan sebagai tambahan, kondisi serupa pula yang membuat kita semua harus menyaksikan gejala deindustrialisasi di negeri ini, tren kontribusi sektor industri terus merosot.

Hampir semua pihak mengetahui hal tersebut sedari dulu, tapi pemerintah memilih tidak melakukan mitigasi secara berarti, selain keranjingan dengan "proyek-proyek infrastruktur" yang menurut majalah Economist sekalipun, tak membuahkan peningkatan signifikan pada investasi langsung asing. Bahkan tak jarang justru menggerus produksi beberapa komoditas dalam negeri, seperti semen dan besi-baja.

Karena investor asing juga mempertimbangkan nasib investasinya karena penegakan dan kepastian hukum yang sangat lemah di Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sambil Makan Durian, Luhut dan Menlu China Bahas Kelanjutan Kereta Cepat

Sambil Makan Durian, Luhut dan Menlu China Bahas Kelanjutan Kereta Cepat

Whats New
Ciptakan Ekosistem Perkebunan yang Kompetitif, Kementan Gelar Kegiatan Skena 

Ciptakan Ekosistem Perkebunan yang Kompetitif, Kementan Gelar Kegiatan Skena 

Whats New
Menteri ESDM Pastikan Harga BBM Tak Naik hingga Juni 2024

Menteri ESDM Pastikan Harga BBM Tak Naik hingga Juni 2024

Whats New
Konflik Iran-Israel Menambah Risiko Pelemahan Rupiah

Konflik Iran-Israel Menambah Risiko Pelemahan Rupiah

Whats New
Kemenhub Mulai Hitung Kebutuhan Formasi ASN di IKN

Kemenhub Mulai Hitung Kebutuhan Formasi ASN di IKN

Whats New
BEI: Eskalasi Konflik Israel-Iran Direspons Negatif oleh Bursa

BEI: Eskalasi Konflik Israel-Iran Direspons Negatif oleh Bursa

Whats New
IHSG Turun 1,11 Persen, Rupiah Melemah ke Level Rp 16.260

IHSG Turun 1,11 Persen, Rupiah Melemah ke Level Rp 16.260

Whats New
IPB Kembangkan Padi 9G, Mentan Amran: Kami Akan Kembangkan

IPB Kembangkan Padi 9G, Mentan Amran: Kami Akan Kembangkan

Whats New
Konsorsium Hutama Karya Garap Proyek Trans Papua Senilai Rp 3,3 Triliun

Konsorsium Hutama Karya Garap Proyek Trans Papua Senilai Rp 3,3 Triliun

Whats New
Kementerian PUPR Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan S1, Ini Syaratnya

Kementerian PUPR Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan S1, Ini Syaratnya

Work Smart
Juwara, Komunitas Pemberdayaan Mitra Bukalapak yang Antarkan Warung Tradisional Raih Masa Depan Cerah

Juwara, Komunitas Pemberdayaan Mitra Bukalapak yang Antarkan Warung Tradisional Raih Masa Depan Cerah

BrandzView
Rupiah Melemah Tembus Rp 16.200 Per Dollar AS, Apa Dampaknya buat Kita?

Rupiah Melemah Tembus Rp 16.200 Per Dollar AS, Apa Dampaknya buat Kita?

Whats New
Dollar AS Tembus Rp 16.200, Kemenkeu Antisipasi Bengkaknya Bunga Utang

Dollar AS Tembus Rp 16.200, Kemenkeu Antisipasi Bengkaknya Bunga Utang

Whats New
Bawaslu Buka 18.557 Formasi CPNS dan PPPK 2024, Ini Prioritas Kebutuhannya

Bawaslu Buka 18.557 Formasi CPNS dan PPPK 2024, Ini Prioritas Kebutuhannya

Whats New
Ingin Produksi Padi Meningkat, Kementan Kerahkan 3.700 Unit Pompa Air di Jatim

Ingin Produksi Padi Meningkat, Kementan Kerahkan 3.700 Unit Pompa Air di Jatim

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com