Jurnal terbaru yang diterbitkan oleh Environmental Research Letter tentang Solusi Iklim Alami (Novita et al 2022 ) menyatakan bahwa potensi maksimal dari ketiga ekosistem penting tersebut dalam upaya mitigasi perubahan iklim adalah 1,3 gigaton CO2 ekuivalen per tahun.
Berdasarkan kajian ini, lahan basah—yakni gambut dan mangrove—berkontribusi sebesar 77 persen dari total potensi mitigasi. Dengan kata lain, ekosistem lahan basah adalah kunci untuk mencapai komitmen perubahan iklim Indonesia.
Mengutip dari jurnal yang sama, lahan gambut menduduki posisi teratas dalam menyumbang penurunan emisi karbon sekitar 960 Megaton CO2 ekuivalen per tahun atau setara dengan 74 persen dari total mitigasi potensi NCS.
Diikuti mangrove yang berkontribusi sebanyak 3 persen terhadap penurunan emisi karbon, yakni 41,1 Megaton CO2 ekuivalen per tahun.
Dengan melakukan tiga aksi solusi iklim alami, yaitu melindungi, mengelola, dan merestorasi lahan gambut dan mangrove, Indonesia bisa mendapatkan keuntungan ganda. Ibarat pepatah, sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Target waktu terpenuhi, target emisi tercapai.
Sebagai catatan, sebelum konferensi perubahan iklim global (COP-27) di Mesir, pada September 2022, Indonesia memutakhirkan target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (Nationally Determined Contribution-NDC) untuk penurunan emisi GRK.
Pemerintah menaikkan target dari 29 menjadi 31,89 persen (dengan upaya sendiri atau setara 915 Megaton CO2 ekuivalen per tahun) dan dari 41 menjadi 43,20 persen (dengan dukungan global setara 1,240 Megaton CO2 ekuivalen per tahun) pada tahun 2030.
Sebagai perbandingan, total target NDC ini sedikit di bawah angka capaian upaya mitigasi melalui solusi iklim alami, untuk periode waktu yang sama.
Demi mencapai komitmen NDC, pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan, salah satunya adalah Indonesia Forestry and Other Land Use (FOLU) Net-Sink 2030.
FOLU Net-Sink 2030 ialah upaya mencapai serapan karbon dari sektor kehutanan dan penggunaaan lahan lainnya (FOLU), yang akan berimbang atau lebih tinggi dari tingkat emisi yang dihasilkan sektor tersebut pada tahun 2030, sebesar 140 juta ton CO2e.
Pentingnya ekosistem lahan basah sudah disadari oleh Pemerintah dengan dimasukkannya strategi mitigasi lahan basah dalam tujuh strategi mitigasi FOLU Net-Sink.
Pada poin kelima, strategi tersebut menyebutkan peningkatan stok karbon hutan, baik di lahan basah maupun lahan kering.
Adapun di poin keenam, secara jelas menyebutkan pengelolaan lahan gambut dapat mengurangi emisi dengan mencegah kebakaran serta dekomposisi gambut.
Kedua strategi tersebut sejalan dengan analisis para peneliti, dengan menjaga gambut dan mangrove, Indonesia mampu mencapai target, bahkan melebihi komitmen penurunan emisi Gas Rumah Kaca dari semua sektor, tak hanya sektor FOLU.
Restorasi lahan basah di Indonesia secara resmi digawangi oleh badan yang baru saja bersalin nama pada 2021 menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya