TAHUKAH kita Indonesia pernah menjadi eksportir beras? Hal itu terjadi pada 1941, saat pemerintah Hindia Belanda, tepat 4 tahun sebelum kita merdeka.
Padahal 20 tahun sebelumnya, yaitu mulai 1921, pemerintah kolonial mengimpor beras dalam jumlah besar pada waktu itu sebesar 475.000 ton dan 90.000 ton kedelai.
Antara tahun 1926-1935, impor beras dalam jumlah tinggi dengan angka serupa juga dilakukan. Mengapa situasinya bisa berbalik?
Jan H.M. Oudejans menuliskannya dalam Disertasi Ph.D di Landbouw Universiteit Wageningen, Belanda (1999).
Jan H.M. Oudejans adalah seorang ahli pertanian Belanda yang pernah bekerja di Industri Agrokimia, konsultan pertanian di Afrika dan Asia Tenggara dan menjabat sebagai perwakilan FAO di Bangkok serta sebagai pejabat di Kementerian Pertanian dan Perikanan Belanda.
Pada masa kolonial, sawah terbaik di Jawa sebagian ditanami tebu dan sebagian ditanami padi.
Pemerintah kolonial yang terlalu fokus pada tanaman bernilai ekspor seperti tebu dan kopi menyebabkan pertanaman padi sering terlupakan. Pada 1921, pemerintah Hindia Belanda harus melakukan impor beras dan kedelai untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat.
Hal ini dipicu kejadian bencana kelaparan beberapa tahun sebelumnya, di berbagai wilayah di Jawa seperti Karesidenen Cirebon maupun di Karesidenan Semarang (Grobogan dan Demak) (Hasselman 1914 dalam Oudejans 1999).
Kebutuhan beras impor dalam jumlah tinggi terpaksa harus dilakukan antara 1926-1935. Namun, pada 1936, pasokan beras domestik sudah dapat memenuhi kebutuhan beras bagi rakyat sehingga kran impor ditutup. Pada tahun 1941, Indonesia menjadi eksportir beras.
Kedaulatan pangan dicapai karena kebijakan yang tepat oleh pemerintah Hindia Belanda.
Bagaimana hal ini bisa dicapai?
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.