Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Ir. Muhrizal Sarwani, M.Sc.
Analis Kebijakan Utama Kementan

Analis Kebijakan Utama Kementerian Pertanian

Swasembada Beras dari Masa ke Masa

Kompas.com - 03/02/2023, 11:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Puncaknya, Indonesia dapat memenuhi beras secara swasembada sejak 1936 dan menjadi eksportir beras pada 1941.

Masa pendudukan Jepang 1942-1945 merupakan kemunduran dalam produksi beras Indonesia. Produksi beras mengalami penurunan drastis karena tidak terpeliharanya fasilitas irigasi.

Selain itu, beras untuk kebutuhan militer yang lumayan besar plus berkurangnya ternak kerja pengolahan lahan akibat disembelih untuk keperluan militer Jepang.

Rakyat juga tidak bersemangat untuk berproduksi karena harga yang ditetapkan terlalu rendah. Penurunan hasil mencapai 20 persen pada 1945 dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Tahun 1946/1947, terjadi kekeringan yang hebat sehingga membuat banyak masyarakat di berbagai daerah terutama di Jawa mengalami kekurangan pangan.

Meskipun kondisi membaik pada 1948, tetap saja kekurangan pangan dialami masyarakat di Jawa. Karena itu, pada 1951 diimpor beras sebesar 425.000 ton dari Thailand dan Burma serta Amerika Serikat melalui Agensi Keamanan Pangan (Metclaf, 1952).

Antara tahun 1950-1960-an juga merupakan masa-masa suram bagi produksi beras kita. Tercatat bahwa produksi padi/gabah pada tahun 1951 diperkirakan 6,5 juta ton di Jawa dan di luar Jawa sekitar 3,5 juta ton atau 10 juta ton secara total di Indonesia.

Angka ini serupa dengan jumlah yang dihasilkan sebelum perang, sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang jumlahnya pada 1961 sebanyak 97 juta jiwa. Bandingkan dengan jumlah penduduk kita pada 1930 sebanyak 60 juta jiwa (Oudejans, 1999).

Pemerintah terpaksa harus mengimpor beras sampai 10 persen konsumsi beras domestik (Mears, 1981).

Sampai tahun 1965/1966, situasi tidak terkendali di mana harga-harga melonjak drastis, inflasi tidak terkendali dan diikuti gejolak politik. Kita tahu apa yang terjadi selanjutnya.

Swasembada beras setelah merdeka

Tahun 1969, dimulailah Pelita (pembangunan lima tahun) di mana pertanian pangan merupakan prioritas. Infrastruktur pengairan dibuat baru dan direhabilitasi.

Sawah baru dicetak umumnya di luar Jawa. Pabrik pupuk diperluas. Subsidi pupuk dikenalkan. Yang tidak kalah pentingnya adalah bimbingan massal (Bimas) bagi petani.

Cikal bakal dari Bimas ini dimulai pada musim penghujan 1963/1964 dimana IPB mengirimkan 12 orang mahasiswanya tinggal di desa untuk meyakinkan para petani agar menerapkan prinsip intensifikasi.

Karena hasilnya memuaskan (50 persen lebih tinggi dibanding wilayah yang tidak didampingi), maka pada tahun 1964/1965 dilakukan demonstrasi massal (Demas) yang semula hanya 100 ha diperluas menjadi 10.000 ha. Sebanyak 440 mahasiswa dari 9 perguruan tinggi pertanian diterjunkan ke 220 desa.

Hasilnya memuaskan pemerintah sehingga diadopsi menajadi program nasional Bimas.

Meskipun berganti dengan berbagai nama seperti Bimas Gotong Royong (1968-1970) lalu menjadi Bimas Nasional yang disempurnakan (BND) pada 1971-1978, selanjutnya disempurnakan lagi melalui insus (intensifikasi khsusus) pada 1979.

Skala luas yang dicakup dari program nasional ini dari 1,6 juta ha pada tahun 1968 lalu menjadi 2,77 juta ha pada 1971, dan pada 1985 seluas 7,66 juta ha.

Tahun 1984, Indonesia swasembada beras dengan produksi beras 27,01 juta ton untuk mencukupi perut rakyat Indonesia yang pada waktu itu mencapai 170 an juta.

Sebelumnya, sampai tahun 1977, kita adalah importer beras terbesar di dunia, yaitu 2 juta ton beras atau 20 persen dari pangsa pasar dunia pada saat itu.

Upaya panjang masyarakat dan pemerintah yang dimulai oleh 12 mahasiswa IPB, terbayarkan dengan swasembada beras.

Sebuah legacy yang harusnya menjadi tonggak untuk kita membangun swasembada pangan. Prosesnya tidak mudah dan berlangsung lama, tapi benang merahnya hampir serupa dengan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda: Strong leadership (Mechlab/Soeharto), investasi besar-besaran dalam sumber daya untuk membenahi infrastruktur pertanian seperti pengairan, penggunaan benih unggul, pupuk dan pestisida.

Dan but last not the least adalah penelitian dan penyuluhan yang masif (lembaga di bawah Kebun Raya dimasukkan ke Deptan/IPB mengirimkan mahasiswanya ke lapangan)

Sayangnya, keberhasilan swasembada beras tidak dapat dipertahankan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan beberapa kejadian ekstrem, utamanya ledakan hama penyakit khususnya hama wereng coklat.

Namun dengan kebijakan yang berani didukung oleh riset, hal ini dapat diatasi melalui pembatasan 56 merek Pestisida pada tahun 1986 melalui instruksi presiden.

Bahkan Oudejans dalam disertasinya memuji bahwa kebijakan yang diambil berdampak sangat besar dan hanya dapat terjadi di Indonesia.

Kemudian kebijakan program nasional PHT pada padi tahun 1990-an dan Sekolah Lapang PHT pada 1990-an sampai 2000-an mencegah kejadian ekstrem akibat ledakan hama penyakit di Indonesia.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com