Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Ir. Muhrizal Sarwani, M.Sc.
Analis Kebijakan Utama Kementan

Analis Kebijakan Utama Kementerian Pertanian

Swasembada Beras dari Masa ke Masa

Kompas.com - 03/02/2023, 11:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Namun pada saat kekeringan yang ekstrem pada 1995 kita harus mengimpor lebih dari 3 juta ton beras.

Selama masa krisis ekonomi 1998, kita mengimpor lebih dari 4 juta ton beras, bahkan berlanjut dengan angka yang serupa setiap tahunnya sampai 2003.

Tetapi pada tahun 2004-2010, impor kita bahkan rata-rata kurang dari 400.000 ton beras. Tahun 2011-2021, impor beras cukup berfluktuatif dengan jumlah terbesar impor terjadi pada 2011, yaitu sebesar 2,74 juta ton lalu pada 2012 sebesar 1,8 juta ton.

Setelahnya berada pada angka di bawah 750.000 ton, lalu melonjak kembali pada 2016 yang melebihi angka 1 juta. Bahkan pada 2018 mencapai 2,25 juta ton. Setelahnya di bawah 500.000 ton sampai 2022 lalu.

Terlepas dari niat para mafia beras yang maruk keuntungan sesaat dan sesat dengan mengambil kesempatan untuk rente pada saat negara dalam kesempitan, angka-angka impor di atas sungguh memprihatinkan.

Angka-angka tersebut menunjukkan betapa fragilenya situasi perberasan kita. Apalagi jumlah penduduk kita akan semakin bertambah semakin tahun.

Impor memang jalan termudah untuk memenuhi kebutuhan pangan. Tetapi impor bisa sangat membahayakan karena kita bisa kehilangan devisa, mendistorsi harga beras produksi dalam negeri, dan bisa mengguncang swasembada beras nasional.

Impor juga dapat menjebak negara menjadi fail state. Kita pernah mengalaminya pada tahun 1965 dan 1998.

Tahun lalu, Srilanka mengalami hal serupa, yaitu menjadi fail state. Rajapaksa dipaksa oleh rakyatnya untuk turun, bahkan terpaksa lari ke Singapura.

Strategi swasembada beras ke depan

Nampaknya jika hanya mengandalkan strategi yang hanya itu-itu saja tanpa ada terobosan baru, maka ketahanan pangan apalagi kedaulatan pangan hanya menjadi cita-cita tanpa nyawa.

Erizal Jamal (2022) menulis di Kompas dan mengutip data statistik dari BPS pada kurun waktu 1993-2021 menyatakan bahwa tidak banyak perubahan yang berarti dari kebijakan swasembada pangan kita sejak zaman Hindia belanda.

Beras dari gabah yang dihasilkan petani Jawa mendominasi 58,8 persen pada tahun 1993 dan turun sedikit menjadi 56,4 persen pada tahun 2021.

Upaya pengembangan sentra beras di luar Jawa melalui pengembangan rawa pasang surut secara besar-besaran pada tahun 1969-akhir 1980 hanya berhasil di Sumatera Selatan dengan kontribusi terhadap produksi padi nasional meningkat dari 2,93 persen pada 1993 menjadi 4,69 persen pada tahun 2021.

Namun Kalimantan yang juga menjadi areal pencetakan sawah baru, perannya tidak signifikan dalam produksi beras nasional, malah menurun dari 5,15 persen pada tahun 1993 menjadi 4,38 persen pada tahun 2021.

Apa yang dapat kita dilakukan? Pertama, data sawah kita diaudit kembali dengan menggunakan data satelit dengan presisi sangat tinggi tetapi hasilnya harus sangat detail.

Sebetulnya kita sudah melakukan pada 2018-2019, yang melibatkan banyak ahli dari Kementan (Dit Lahan, BBSDLP), LAPAN (BRIN), BIG dan ATR/BPN. Namun informasi yang dikeluarkan masih kepada luas baku lahan sawah.

Informasi detil yang perlu didapat adalah informasi sawah yang beririgasi, sawah yang dari hujan, sawah dari pasang surut maupun sawah dari rawa lebak dengan dilengkapi atribut kondisi irigasi, produktivitas masing-masing sawah, sehingga data spasial sawah dengan berbagai atribut (kondisi irigasi dan produktivitas) dapat diketahui.

Bappenas sepatutnya mengkoodinasi antar K/L untuk menghasilkan informasi-informasi tersebut.

Kedua, kita usul kepada Bappenas (mungkin sudah dilakukan) menyususn rencana swasembada beras 100 tahun menggunakan informasi tersebut (data spasial sawah dengan berbagai atributnya) tentu dengan berbagai skenario (termasuk tekanan konversi lahan).

Kementan menggunakan rencana tersebut untuk pencapaian swasembada beras secara detail dan presisi.

Sudah saatnya kita, misalnya, fokus menaikkan produktiviats dengan segala upaya pada lahan tadah hujan atau pasang dan lebak dengan yield gap (senjang hasil antara potensi hasil dan realitanya) yang besar.

Teknologi harus masuk pada lokasi dengan yield gap yang tinggi. Sementara pada lahan irigasi fokus mempertahan produktivitas sembari menjaga sawah dari tekanan konversi.

Anny Mulyani dan kawan-kawan dari Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian dan IPB University pada tahun (2022) melakukan kajian terhadap kapasitas produksi sawah kita dengan memasukkan konversi lahan dan konsumsi per kapita sebagai variabel.

Hasilnya sawah irigasi yang ada saat ini berpengaruh sangat besar terhadap kapasitas produksi nasional. Konversi lahan sawah 1 ha saja maka kapasitas produksi akan berkurang 10,2 ton gabah kering giling.

Konversi lahan sawah yang terjadi di lahan irigasi bisa jadi hantu yang sangat menakutkan bagi swasembada beras kita.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com