Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Ir. Muhrizal Sarwani, M.Sc.
Analis Kebijakan Utama Kementan

Analis Kebijakan Utama Kementerian Pertanian

Swasembada Beras dari Masa ke Masa

Kompas.com - 03/02/2023, 11:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAHUKAH kita Indonesia pernah menjadi eksportir beras? Hal itu terjadi pada 1941, saat pemerintah Hindia Belanda, tepat 4 tahun sebelum kita merdeka.

Padahal 20 tahun sebelumnya, yaitu mulai 1921, pemerintah kolonial mengimpor beras dalam jumlah besar pada waktu itu sebesar 475.000 ton dan 90.000 ton kedelai.

Antara tahun 1926-1935, impor beras dalam jumlah tinggi dengan angka serupa juga dilakukan. Mengapa situasinya bisa berbalik?

Jan H.M. Oudejans menuliskannya dalam Disertasi Ph.D di Landbouw Universiteit Wageningen, Belanda (1999).

Jan H.M. Oudejans adalah seorang ahli pertanian Belanda yang pernah bekerja di Industri Agrokimia, konsultan pertanian di Afrika dan Asia Tenggara dan menjabat sebagai perwakilan FAO di Bangkok serta sebagai pejabat di Kementerian Pertanian dan Perikanan Belanda.

Pada masa kolonial, sawah terbaik di Jawa sebagian ditanami tebu dan sebagian ditanami padi.

Pemerintah kolonial yang terlalu fokus pada tanaman bernilai ekspor seperti tebu dan kopi menyebabkan pertanaman padi sering terlupakan. Pada 1921, pemerintah Hindia Belanda harus melakukan impor beras dan kedelai untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat.

Hal ini dipicu kejadian bencana kelaparan beberapa tahun sebelumnya, di berbagai wilayah di Jawa seperti Karesidenen Cirebon maupun di Karesidenan Semarang (Grobogan dan Demak) (Hasselman 1914 dalam Oudejans 1999).

Kebutuhan beras impor dalam jumlah tinggi terpaksa harus dilakukan antara 1926-1935. Namun, pada 1936, pasokan beras domestik sudah dapat memenuhi kebutuhan beras bagi rakyat sehingga kran impor ditutup. Pada tahun 1941, Indonesia menjadi eksportir beras.

Kedaulatan pangan dicapai karena kebijakan yang tepat oleh pemerintah Hindia Belanda.
Bagaimana hal ini bisa dicapai?

Sebagai respons terhadap krisis ekonomi global tahun 1930-an yang berimbas ke pasar ekspor tradisional Indonesia, pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan harga untuk pangan domestik.

Harga padi diberikan dengan layak sehingga mendorong pertanian rakyat untuk produksi padi. Selain itu, dilakukan cukai khusus pada 1934 sehingga mencegah banjirnya beras murah dari Siam (Thailand), Indocina (Vietnam) dan Burma.

Kemudian, areal yang ditanami padi diperluas. Antara 1921-1941, areal pertanaman padi di lahan berpengairan bertambah lebih dari 1,5 juta ha (Bolhuis, 1950 dalam Oudejans).

Pertambahan luas tanam lebih disebabkan pertambahan intensitas tanam padi pada lahan berpengairan yang semula sekitar dari 100 persen pada tahun 1901 menjadi 140 persen pada 1940.

Namun kita harus mengingat dengan baik bahwa pencapaian swasembada dan ekspor beras tidak mungkin ujug-ujug hanya dengan kebijakan yang tepat. Lebih utama, dilakukan secara terencana dan terstruktur serta bertahap dan tentunya dengan kesungguhan seperti karakter orang Belanda pada umumnya.

Dimulai dengan dibentuknya Deptan (sekarang Kemtan) pada 1 Januari tahun 1905, dipimpin oleh Melchior Treub, seorang peneliti ulung kelas dunia dan berpengalaman dalam hal manajerial karena pernah menjadi Direktur Plantentuin (Kebun Raya) sejak 1880, sebelum diangkat sebagai Direktur Deptan.

Dr. Melchior Treub adalah seorang ahli Botani terkenal yang pada umur 27 tahun telah menjadi anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Belanda yang prestisius.

Tugas utama Deptan adalah memperbaiki kondisi pertanian rakyat. Bentuk Deptan diusulkan oleh Treub (1902) seperti Deptan Amerika (USDA), sebuah lembaga teknis dengan basis penelitian pertanian yang kuat tanpa banyak tugas administratif.

Mengapa bentuknya seperti USDA bukan seperti di Jerman atau Inggris yang lebih banyak mengurusi adminitrasi, yang paling banter melakukan kendali teknis terhadap stasiun percobaan dan lembaga pengumpul data?

Treub berkeyakinan bahwa penelitian tropika harus dilakukan spesifik lokasi. Sementara di Hindia Belanda penelitian dasar dapat dilakukan dengan kerjasama dengan kebun-kebun raya (yang membawahi lembaga penelitian) seperti halnya di Amerika.

Di bawah Treub sebagai Direktur Kebun Raya, lembaga penelitian ini sangat terkenal di dunia dan memberikan kontribusi luar biasa bagi perkembangan perkebunan.

Intinya, Deptan yang diinginkan Treub berbasis penelitian dan pengembangannya berbasis penyuluhan bagi perkebunan swasta (Eropa) dan pertanian rakyat di Hindia Belanda.

Oleh sebab itu, pada 1905-1910, berbagai lembaga penelitian di bawah Kebun Raya menjadi inti kekuatan Deptan pada masa itu.

Treub yakin bahwa demonstrasi langsung di persawahan dapat dengan cepat menyalurkan hasil penelitian. Intensifikasi pertanian rakyat dilakukan dengan pemilihan benih padi dan pupuk yang didukung oleh demonstrasi di persawahan.

Petani belajar memilih varietas yang berproduksi tinggi dan tahan hama penyakit. Petani juga diajarkan bertanam dalam baris yang dapat mengurangi jumlah bibit serta dapat menyiang dengan lebih mudah menggunakan alat sederhana.

Infrastruktur pengairan juga dipelihara dengan baik sehingga pertanaman padi rakyat dapat dilakukan dengan baik bahkan luas panenan menjadi meningkat dengan tajam.

Puncaknya, Indonesia dapat memenuhi beras secara swasembada sejak 1936 dan menjadi eksportir beras pada 1941.

Masa pendudukan Jepang 1942-1945 merupakan kemunduran dalam produksi beras Indonesia. Produksi beras mengalami penurunan drastis karena tidak terpeliharanya fasilitas irigasi.

Selain itu, beras untuk kebutuhan militer yang lumayan besar plus berkurangnya ternak kerja pengolahan lahan akibat disembelih untuk keperluan militer Jepang.

Rakyat juga tidak bersemangat untuk berproduksi karena harga yang ditetapkan terlalu rendah. Penurunan hasil mencapai 20 persen pada 1945 dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Tahun 1946/1947, terjadi kekeringan yang hebat sehingga membuat banyak masyarakat di berbagai daerah terutama di Jawa mengalami kekurangan pangan.

Meskipun kondisi membaik pada 1948, tetap saja kekurangan pangan dialami masyarakat di Jawa. Karena itu, pada 1951 diimpor beras sebesar 425.000 ton dari Thailand dan Burma serta Amerika Serikat melalui Agensi Keamanan Pangan (Metclaf, 1952).

Antara tahun 1950-1960-an juga merupakan masa-masa suram bagi produksi beras kita. Tercatat bahwa produksi padi/gabah pada tahun 1951 diperkirakan 6,5 juta ton di Jawa dan di luar Jawa sekitar 3,5 juta ton atau 10 juta ton secara total di Indonesia.

Angka ini serupa dengan jumlah yang dihasilkan sebelum perang, sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang jumlahnya pada 1961 sebanyak 97 juta jiwa. Bandingkan dengan jumlah penduduk kita pada 1930 sebanyak 60 juta jiwa (Oudejans, 1999).

Pemerintah terpaksa harus mengimpor beras sampai 10 persen konsumsi beras domestik (Mears, 1981).

Sampai tahun 1965/1966, situasi tidak terkendali di mana harga-harga melonjak drastis, inflasi tidak terkendali dan diikuti gejolak politik. Kita tahu apa yang terjadi selanjutnya.

Swasembada beras setelah merdeka

Tahun 1969, dimulailah Pelita (pembangunan lima tahun) di mana pertanian pangan merupakan prioritas. Infrastruktur pengairan dibuat baru dan direhabilitasi.

Sawah baru dicetak umumnya di luar Jawa. Pabrik pupuk diperluas. Subsidi pupuk dikenalkan. Yang tidak kalah pentingnya adalah bimbingan massal (Bimas) bagi petani.

Cikal bakal dari Bimas ini dimulai pada musim penghujan 1963/1964 dimana IPB mengirimkan 12 orang mahasiswanya tinggal di desa untuk meyakinkan para petani agar menerapkan prinsip intensifikasi.

Karena hasilnya memuaskan (50 persen lebih tinggi dibanding wilayah yang tidak didampingi), maka pada tahun 1964/1965 dilakukan demonstrasi massal (Demas) yang semula hanya 100 ha diperluas menjadi 10.000 ha. Sebanyak 440 mahasiswa dari 9 perguruan tinggi pertanian diterjunkan ke 220 desa.

Hasilnya memuaskan pemerintah sehingga diadopsi menajadi program nasional Bimas.

Meskipun berganti dengan berbagai nama seperti Bimas Gotong Royong (1968-1970) lalu menjadi Bimas Nasional yang disempurnakan (BND) pada 1971-1978, selanjutnya disempurnakan lagi melalui insus (intensifikasi khsusus) pada 1979.

Skala luas yang dicakup dari program nasional ini dari 1,6 juta ha pada tahun 1968 lalu menjadi 2,77 juta ha pada 1971, dan pada 1985 seluas 7,66 juta ha.

Tahun 1984, Indonesia swasembada beras dengan produksi beras 27,01 juta ton untuk mencukupi perut rakyat Indonesia yang pada waktu itu mencapai 170 an juta.

Sebelumnya, sampai tahun 1977, kita adalah importer beras terbesar di dunia, yaitu 2 juta ton beras atau 20 persen dari pangsa pasar dunia pada saat itu.

Upaya panjang masyarakat dan pemerintah yang dimulai oleh 12 mahasiswa IPB, terbayarkan dengan swasembada beras.

Sebuah legacy yang harusnya menjadi tonggak untuk kita membangun swasembada pangan. Prosesnya tidak mudah dan berlangsung lama, tapi benang merahnya hampir serupa dengan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda: Strong leadership (Mechlab/Soeharto), investasi besar-besaran dalam sumber daya untuk membenahi infrastruktur pertanian seperti pengairan, penggunaan benih unggul, pupuk dan pestisida.

Dan but last not the least adalah penelitian dan penyuluhan yang masif (lembaga di bawah Kebun Raya dimasukkan ke Deptan/IPB mengirimkan mahasiswanya ke lapangan)

Sayangnya, keberhasilan swasembada beras tidak dapat dipertahankan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan beberapa kejadian ekstrem, utamanya ledakan hama penyakit khususnya hama wereng coklat.

Namun dengan kebijakan yang berani didukung oleh riset, hal ini dapat diatasi melalui pembatasan 56 merek Pestisida pada tahun 1986 melalui instruksi presiden.

Bahkan Oudejans dalam disertasinya memuji bahwa kebijakan yang diambil berdampak sangat besar dan hanya dapat terjadi di Indonesia.

Kemudian kebijakan program nasional PHT pada padi tahun 1990-an dan Sekolah Lapang PHT pada 1990-an sampai 2000-an mencegah kejadian ekstrem akibat ledakan hama penyakit di Indonesia.

Namun pada saat kekeringan yang ekstrem pada 1995 kita harus mengimpor lebih dari 3 juta ton beras.

Selama masa krisis ekonomi 1998, kita mengimpor lebih dari 4 juta ton beras, bahkan berlanjut dengan angka yang serupa setiap tahunnya sampai 2003.

Tetapi pada tahun 2004-2010, impor kita bahkan rata-rata kurang dari 400.000 ton beras. Tahun 2011-2021, impor beras cukup berfluktuatif dengan jumlah terbesar impor terjadi pada 2011, yaitu sebesar 2,74 juta ton lalu pada 2012 sebesar 1,8 juta ton.

Setelahnya berada pada angka di bawah 750.000 ton, lalu melonjak kembali pada 2016 yang melebihi angka 1 juta. Bahkan pada 2018 mencapai 2,25 juta ton. Setelahnya di bawah 500.000 ton sampai 2022 lalu.

Terlepas dari niat para mafia beras yang maruk keuntungan sesaat dan sesat dengan mengambil kesempatan untuk rente pada saat negara dalam kesempitan, angka-angka impor di atas sungguh memprihatinkan.

Angka-angka tersebut menunjukkan betapa fragilenya situasi perberasan kita. Apalagi jumlah penduduk kita akan semakin bertambah semakin tahun.

Impor memang jalan termudah untuk memenuhi kebutuhan pangan. Tetapi impor bisa sangat membahayakan karena kita bisa kehilangan devisa, mendistorsi harga beras produksi dalam negeri, dan bisa mengguncang swasembada beras nasional.

Impor juga dapat menjebak negara menjadi fail state. Kita pernah mengalaminya pada tahun 1965 dan 1998.

Tahun lalu, Srilanka mengalami hal serupa, yaitu menjadi fail state. Rajapaksa dipaksa oleh rakyatnya untuk turun, bahkan terpaksa lari ke Singapura.

Strategi swasembada beras ke depan

Nampaknya jika hanya mengandalkan strategi yang hanya itu-itu saja tanpa ada terobosan baru, maka ketahanan pangan apalagi kedaulatan pangan hanya menjadi cita-cita tanpa nyawa.

Erizal Jamal (2022) menulis di Kompas dan mengutip data statistik dari BPS pada kurun waktu 1993-2021 menyatakan bahwa tidak banyak perubahan yang berarti dari kebijakan swasembada pangan kita sejak zaman Hindia belanda.

Beras dari gabah yang dihasilkan petani Jawa mendominasi 58,8 persen pada tahun 1993 dan turun sedikit menjadi 56,4 persen pada tahun 2021.

Upaya pengembangan sentra beras di luar Jawa melalui pengembangan rawa pasang surut secara besar-besaran pada tahun 1969-akhir 1980 hanya berhasil di Sumatera Selatan dengan kontribusi terhadap produksi padi nasional meningkat dari 2,93 persen pada 1993 menjadi 4,69 persen pada tahun 2021.

Namun Kalimantan yang juga menjadi areal pencetakan sawah baru, perannya tidak signifikan dalam produksi beras nasional, malah menurun dari 5,15 persen pada tahun 1993 menjadi 4,38 persen pada tahun 2021.

Apa yang dapat kita dilakukan? Pertama, data sawah kita diaudit kembali dengan menggunakan data satelit dengan presisi sangat tinggi tetapi hasilnya harus sangat detail.

Sebetulnya kita sudah melakukan pada 2018-2019, yang melibatkan banyak ahli dari Kementan (Dit Lahan, BBSDLP), LAPAN (BRIN), BIG dan ATR/BPN. Namun informasi yang dikeluarkan masih kepada luas baku lahan sawah.

Informasi detil yang perlu didapat adalah informasi sawah yang beririgasi, sawah yang dari hujan, sawah dari pasang surut maupun sawah dari rawa lebak dengan dilengkapi atribut kondisi irigasi, produktivitas masing-masing sawah, sehingga data spasial sawah dengan berbagai atribut (kondisi irigasi dan produktivitas) dapat diketahui.

Bappenas sepatutnya mengkoodinasi antar K/L untuk menghasilkan informasi-informasi tersebut.

Kedua, kita usul kepada Bappenas (mungkin sudah dilakukan) menyususn rencana swasembada beras 100 tahun menggunakan informasi tersebut (data spasial sawah dengan berbagai atributnya) tentu dengan berbagai skenario (termasuk tekanan konversi lahan).

Kementan menggunakan rencana tersebut untuk pencapaian swasembada beras secara detail dan presisi.

Sudah saatnya kita, misalnya, fokus menaikkan produktiviats dengan segala upaya pada lahan tadah hujan atau pasang dan lebak dengan yield gap (senjang hasil antara potensi hasil dan realitanya) yang besar.

Teknologi harus masuk pada lokasi dengan yield gap yang tinggi. Sementara pada lahan irigasi fokus mempertahan produktivitas sembari menjaga sawah dari tekanan konversi.

Anny Mulyani dan kawan-kawan dari Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian dan IPB University pada tahun (2022) melakukan kajian terhadap kapasitas produksi sawah kita dengan memasukkan konversi lahan dan konsumsi per kapita sebagai variabel.

Hasilnya sawah irigasi yang ada saat ini berpengaruh sangat besar terhadap kapasitas produksi nasional. Konversi lahan sawah 1 ha saja maka kapasitas produksi akan berkurang 10,2 ton gabah kering giling.

Konversi lahan sawah yang terjadi di lahan irigasi bisa jadi hantu yang sangat menakutkan bagi swasembada beras kita.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

BTN Cetak Laba Bersih Rp 860 Miliar pada Kuartal I 2024

BTN Cetak Laba Bersih Rp 860 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
Bulog Siap Jadi Pembeli Gabah dari Sawah Hasil Teknologi Padi China

Bulog Siap Jadi Pembeli Gabah dari Sawah Hasil Teknologi Padi China

Whats New
Bulog Baru Serap 633.000 Ton Gabah dari Petani, Dirut: Periode Panennya Pendek

Bulog Baru Serap 633.000 Ton Gabah dari Petani, Dirut: Periode Panennya Pendek

Whats New
Dari Perayaan HUT hingga Bagi-bagi THR, Intip Kemeriahan Agenda PUBG Mobile Sepanjang Ramadhan

Dari Perayaan HUT hingga Bagi-bagi THR, Intip Kemeriahan Agenda PUBG Mobile Sepanjang Ramadhan

Rilis
INACA: Iuran Pariwisata Tambah Beban Penumpang dan Maskapai

INACA: Iuran Pariwisata Tambah Beban Penumpang dan Maskapai

Whats New
Bank DKI Sumbang Dividen Rp 326,44 Miliar ke Pemprov DKI Jakarta

Bank DKI Sumbang Dividen Rp 326,44 Miliar ke Pemprov DKI Jakarta

Whats New
OASA Bangun Pabrik Biomasa di Blora

OASA Bangun Pabrik Biomasa di Blora

Rilis
Pengumpulan Data Tersendat, BTN Belum Ambil Keputusan Akuisisi Bank Muamalat

Pengumpulan Data Tersendat, BTN Belum Ambil Keputusan Akuisisi Bank Muamalat

Whats New
Cara Hapus Daftar Transfer di Aplikasi myBCA

Cara Hapus Daftar Transfer di Aplikasi myBCA

Work Smart
INA Digital Bakal Diluncurkan, Urus KTP hingga Bayar BPJS Jadi Lebih Mudah

INA Digital Bakal Diluncurkan, Urus KTP hingga Bayar BPJS Jadi Lebih Mudah

Whats New
Suku Bunga Acuan BI Naik, Anak Buah Sri Mulyani: Memang Kondisi Global Harus Diantisipasi

Suku Bunga Acuan BI Naik, Anak Buah Sri Mulyani: Memang Kondisi Global Harus Diantisipasi

Whats New
Ekonom: Kenaikan BI Rate Bakal 'Jangkar' Inflasi di Tengah Pelemahan Rupiah

Ekonom: Kenaikan BI Rate Bakal "Jangkar" Inflasi di Tengah Pelemahan Rupiah

Whats New
Menpan-RB: ASN yang Pindah ke IKN Bakal Diseleksi Ketat

Menpan-RB: ASN yang Pindah ke IKN Bakal Diseleksi Ketat

Whats New
Lebaran 2024, KAI Sebut 'Suite Class Compartment' dan 'Luxury'  Laris Manis

Lebaran 2024, KAI Sebut "Suite Class Compartment" dan "Luxury" Laris Manis

Whats New
Rupiah Melemah Sentuh Rp 16.200, Mendag: Cadangan Divisa RI Kuat, Tidak Perlu Khawatir

Rupiah Melemah Sentuh Rp 16.200, Mendag: Cadangan Divisa RI Kuat, Tidak Perlu Khawatir

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com