Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tren "Social Commerce" Marak, YLKI: Perlu Diatur agar Data Pengguna Aman

Kompas.com - 03/02/2023, 11:30 WIB
Isna Rifka Sri Rahayu,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Social commerce, tren belanja online melalui platform media sosial mulai marak sejak pandemi Covid-19. Fenomena ini disebut menjadi pesaing baru bagi paltform e-commerce yang selama ini berada di puncak tempat belanja online yang digandrungi masyarakat.

Dengan adanya social commerce, media sosial kini tidak hanya difungsikan sebagai etalase bagi pelaku usaha. Konsumen kini dapat melakukan seluruh proses pembelian tanpa meninggalkan aplikasi media sosial tersebut.

Namun, terdapat risiko di balik maraknya social commerce, terutama terkait manajemen data.

Baca juga: Target Transaksi E-commerce 2022 Tidak Tercapai, akibat Tren Social Commerce?

Sebelum adanya model bisnis social commerce, media sosial telah memiliki akses data yang cukup luas terhadap para pengguna platformnya, termasuk kebiasaan, perilaku, dan berbagai data pribadi lainnya.

Dengan adanya model bisnis social commerce, media sosial dinilai akan semakin memiliki kuasa dan akses atas data pengguna yang berasal tidak hanya dari layanan media sosial, tetapi juga terkait dengan transaksi pembelian mereka.

Pengumpulan data pengguna yang eksesif ini memiliki potensi penyalahgunaan, misalnya praktik monopolistik, seperti cross-sharing data, tying and bundling, tracking self-preferencing, ataupun ranking manipulation yang berujung kepada praktik persaingan usaha yang tidak sehat.

Baca juga: Mengenal Kejahatan Social Engineering dan Modus-modusnya

YLKI: social commerce harus diatur

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, social commerce harus diatur oleh pemerintah. Terutama, terkait penggunaan data pribadi di semua sektor termasuk di media sosial dan sejenisnya.

"Ya kita harus mendorong pemerintah untuk mengatur, memungut dan mengawasi data. Karena memang era digital memang tantangan terbesar ialah keamanan data dan penyalahgunaan data pribadi," ujar Tulus.

Sebab kata Tulus, jika ada penyalahgunaan data pengguna seperti untuk tujuan komersial pemilik platform, maka pengguna lah yang akan merugi.

"Karena kalau nanti ada penyalahgunaan untuk komersial mereka contohnya, dia dapat untung tapi merugikan pengguna dan juga enggak ada izin konsumen, karena dengan adanya UU data pribadi semua harus izin kepada pemiliknya," ucapnya.

Baca juga: Mengapa Berbelanja Via Medsos Digemari Masyarakat?

 

Social commerce harus ikut aturan marketplace

Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar mengatakan, penggunaan media sosial untuk berjualan pada dasarnya bisa disebut sebagai marketplace.

Oleh karena itu, semestinya mereka juga harus mengikuti aturan-aturan yang tertuang dalam PP Nomor 80 tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dan Permendag Nomor 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

"TikTok sendiri sebagai penyedia platform dia harus patuh pada aturan-aturan tersebut, dan membebankan aturan-aturan tersebut kepada usernya yang menggunakan akun mereka untuk jual beli secara online," ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (2/2/2023).

"Artinya secara internal, mereka mengelola itu dan mereka juga menerapkan aturan-aturan e-commerce, terkait dengan perlindungan data dalam konteks e-commerce di dalam marketplace mereka. Seharusnya TikTok juga melakukan hal yang sama begitu sehingga konsumen mendapatkan perlindungan. Termasuk yang terkait dengan perlindungan data itu juga harus diterapkan, " tambahnya.

Sejauh ini, kata dia, instrumen hukum yang bisa digunakan adalah PP Nomor 80 tahun 2019 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Kemudian, sosial commerce juga harus tunduk pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.

"Selain itu juga dalam konteks perlindungan data hari ini kan platform harus sepenuhnya menerapkan Undang Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDT). Jadi sejauh mana juga TikTok mengikuti kewajiban-kewajiban mereka sebagai pengendali data dengan mengacu pada UU PDT," tukasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com