Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Achmed Shahram Edianto
Asia Electricity Policy Analyst

Analis kebijakan ketenagalistrikan untuk Asia Tenggara di lembaga think thank yang berbasis di London, EMBER; Sebelumnya bekerja dengan perusahaan BUMN energi terbarukan sebagai konsultan dan program kordinator pada tim Climate and Energy WWF-Indonesia; S3 dalam bidang ilmu lingkungan, dengan kekhususan pada kebijakan dan ekonomi energi.

Momen Batu Bara di Eropa Berakhir, Bagaimana Target Ekspor Indonesia?

Kompas.com - 06/02/2023, 12:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PASAR batu bara Eropa tahun 2023 kemungkinan akan terlihat sangat berbeda. Sudah waktunya bagi Indonesia untuk meninjau kembali rencana ekspor batu bara dan transisi energinya.

Tahun lalu, penurunan pasokan gas Rusia ke negara-negara Eropa berdampak signifikan pada sektor energi secara global. Akibatnya, terjadi pergeseran terhadap pasar batu bara dan gas yang menyebabkan ketidakseimbangan pasokan dan permintaan, dan berujung kenaikan harga.

Situasi itu semakin diperparah menjelang datangnya musim dingin. Pasokan gas yang terbatas dan harga gas yang meroket membuat Eropa mau tidak mau harus mengaktifkan kembali beberapa pembangkit listrik tenaga uap berbasis batu bara (PLTU).

Baca juga: Abaikan Ancaman Putin, Uni Eropa Lanjut Susun Rencana Patok Harga Gas Rusia

Cara Eropa Atasi Krisis di Sektor Kelistrikan

Berdasarkan data dari Kpler, keputusan itu diikuti dengan meningkatnya permintaan batu bara impor yang berasal dari empat negara: Indonesia, Australia, Afrika Selatan, dan Kolombia. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, ekspor batu bara Indonesia ke negara-negara Eropa mencapai rekor baru tahun lalu, yaitu 6,6 juta ton. Rekor sebelumnya adalah 6,2 juta ton pada tahun 2012.

Indonesia pun berencana untuk meningkatkan produksi batu baranya, dari sekitar 620 juta ton di tahun 2022 menjadi hampir 700 juta ton di tahun 2023. Selain alasan utama berupa meningkatnya permintaan domestik, Indonesia melihat meningkatnya permintaan di pasar internasional sebagai salah satu peluang, termasuk asumsi peningkatan permintaan di Eropa.

Walaupun ekspor batu bara Indonesia ke Eropa hanya sekitar 2 persen dari total ekspor dan 1 persen dari total produksi batu bara Indonesia di tahun 2022, peningkatan permintaan pada tahun 2022 tetap menjadi perhatian Indonesia.

Baca juga: Kementerian ESDM: Indonesia Miliki Potensi EBT 3.686 GW untuk Modal Transisi Energi

Apakah Eropa benar-benar tengah kembali ke batu bara? Apa artinya ini bagi upaya Eropa untuk menghentikan penggunaan batu bara?

The European Electricity Review 2023, sebuah laporan yang baru-baru ini diterbitkan EMBER, sebuah lembaga non profit, menjelaskan apa yang terjadi di Eropa tahun lalu. Laporan tersebut mengungkapkan bahwa Eropa menghadapi tiga krisis besar di sektor kelistrikan tahun 2022.

Ketika Eropa sedang berjuang untuk memutuskan hubungan dengan pemasok gas terbesarnya, yaitu Rusia, Eropa menghadapi penurunan produksi listrik tenaga air (hidro) dan nuklir setidaknya dalam dua dekade ke belakang, yang menciptakan defisit sekitar 7 persen dari total permintaan listrik Eropa tahun 2022.

Sebagian dari kekurangan pasokan ini dipenuhi dengan produksi listrik dari PLTU, yang naik 7 persen (YoY), dan secara global menambah 0,3 persen produksi listrik yang bersumber dari PLTU pada tahun lalu. Namun, rekor pertumbuhan pembangkit listrik tenaga angin dan matahari (surya) membantu meredam defisit pembangkit listrik tenaga hidro dan nuklir.

Dengan adanya lebih banyak kapasitas listrik tenaga surya dan angin yang tersedia, maka penggunaan batu bara menjadi lebih rendah. Hanya seperenam dari defisit itu dipenuhi dengan batu bara. Sedangkan produksi listrik dari pembangkit listrik tenaga gas tetap tidak berubah.

Produksi listrik PLTU turun selama empat bulan terakhir tahun 2022 di Eropa, dibandingkan dengan bulan yang sama tahun 2021, dan penurunan ini kemungkinan akan berlanjut hingga tahun 2023. Walaupun terdapat 26 unit PLTU yang diumumkan akan kembali aktif di negara-negara Eropa, namun, unit-unit ini tidak menghasilkan listrik secara signifikan dan hanya menambahkan kurang dari 1 persen tambahan listrik dari produksi listrik yang dihasilkan oleh PLTU yang masih beroperasi.

PLTU itu disiapkan untuk menghadapi krisis gas musim dingin yang tidak pernah datang. Karena itu, hanya sepertiga dari batu bara yang diimpor oleh negara-negara Eropa, yang benar-benar digunakan. Sedangkan dua pertiga dari batu bara impor tersebut (nyatanya) tidak pernah dibutuhkan.

Indonesia tidak dapat mengharapkan Eropa untuk terus menggunakan batu bara. Tahun 2023 akan membawa kisah yang sangat berbeda: prakiraan dari laporan European Electricity Review 2023 menunjukkan bahwa total pembangkitan bahan bakar fosil di Eropa akan turun sebesar 20 persen – dua kali lipat dari rekor sebelumnya yang terjadi pada tahun 2020 selama pandemi Covid-19.

Harga gas yang lebih mahal daripada batu bara, diperkirakan membuat penggunaan gas akan mengalami penurunan yang lebih cepat. Di saat yang bersamaan, penurunan yang signifikan pada penggunaan PLTU juga diharapkan tetap berjalan sesuai rencana.

Dengan turunnya produksi listrik dari PLTU - dan dengan tambahan stok batu bara - Eropa kemungkinan akan mengimpor lebih sedikit batu bara pada tahun 2023 dibandingkan pada tahun 2022.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com