PASAR batu bara Eropa tahun 2023 kemungkinan akan terlihat sangat berbeda. Sudah waktunya bagi Indonesia untuk meninjau kembali rencana ekspor batu bara dan transisi energinya.
Tahun lalu, penurunan pasokan gas Rusia ke negara-negara Eropa berdampak signifikan pada sektor energi secara global. Akibatnya, terjadi pergeseran terhadap pasar batu bara dan gas yang menyebabkan ketidakseimbangan pasokan dan permintaan, dan berujung kenaikan harga.
Situasi itu semakin diperparah menjelang datangnya musim dingin. Pasokan gas yang terbatas dan harga gas yang meroket membuat Eropa mau tidak mau harus mengaktifkan kembali beberapa pembangkit listrik tenaga uap berbasis batu bara (PLTU).
Baca juga: Abaikan Ancaman Putin, Uni Eropa Lanjut Susun Rencana Patok Harga Gas Rusia
Berdasarkan data dari Kpler, keputusan itu diikuti dengan meningkatnya permintaan batu bara impor yang berasal dari empat negara: Indonesia, Australia, Afrika Selatan, dan Kolombia. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, ekspor batu bara Indonesia ke negara-negara Eropa mencapai rekor baru tahun lalu, yaitu 6,6 juta ton. Rekor sebelumnya adalah 6,2 juta ton pada tahun 2012.
Indonesia pun berencana untuk meningkatkan produksi batu baranya, dari sekitar 620 juta ton di tahun 2022 menjadi hampir 700 juta ton di tahun 2023. Selain alasan utama berupa meningkatnya permintaan domestik, Indonesia melihat meningkatnya permintaan di pasar internasional sebagai salah satu peluang, termasuk asumsi peningkatan permintaan di Eropa.
Walaupun ekspor batu bara Indonesia ke Eropa hanya sekitar 2 persen dari total ekspor dan 1 persen dari total produksi batu bara Indonesia di tahun 2022, peningkatan permintaan pada tahun 2022 tetap menjadi perhatian Indonesia.
Baca juga: Kementerian ESDM: Indonesia Miliki Potensi EBT 3.686 GW untuk Modal Transisi Energi
Apakah Eropa benar-benar tengah kembali ke batu bara? Apa artinya ini bagi upaya Eropa untuk menghentikan penggunaan batu bara?
The European Electricity Review 2023, sebuah laporan yang baru-baru ini diterbitkan EMBER, sebuah lembaga non profit, menjelaskan apa yang terjadi di Eropa tahun lalu. Laporan tersebut mengungkapkan bahwa Eropa menghadapi tiga krisis besar di sektor kelistrikan tahun 2022.
Ketika Eropa sedang berjuang untuk memutuskan hubungan dengan pemasok gas terbesarnya, yaitu Rusia, Eropa menghadapi penurunan produksi listrik tenaga air (hidro) dan nuklir setidaknya dalam dua dekade ke belakang, yang menciptakan defisit sekitar 7 persen dari total permintaan listrik Eropa tahun 2022.
Sebagian dari kekurangan pasokan ini dipenuhi dengan produksi listrik dari PLTU, yang naik 7 persen (YoY), dan secara global menambah 0,3 persen produksi listrik yang bersumber dari PLTU pada tahun lalu. Namun, rekor pertumbuhan pembangkit listrik tenaga angin dan matahari (surya) membantu meredam defisit pembangkit listrik tenaga hidro dan nuklir.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.