Saya justru khawatir bila suatu hari nanti, ketika perusahaan mampu mengikuti peraturan ISPO dan RSPO, maka siapa yang akan mau membeli sawit dari petani?
Sebagai catatan saja, RSPO merupakan asosiasi nirlaba internasional yang berdiri pada tahun 2004 dan mempersatukan para pemangku kepentingan dari tujuh sektor industri minyak sawit yang bertujuan mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk minyak sawit berkelanjutan (Certified Sustainable Palm Oil/CSPO).
Sedangkan ISPO adalah suatu kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Pertanian dengan tujuan meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia, dan ikut berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen Presiden Republik Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca serta memberi perhatian terhadap masalah lingkungan.
Kegelisahan ini akhirnya menggerakkan semua produksi agar diproses di daerah Seruyan sebuah kawasan pengolahan sawit di Provinsi Kalimantan Tengah dan disertifikasi sebagai produk sawit berkelanjutan. Atau lebih dikenal dengan singkatan sertifikasi yurisdiksi.
Sebenarnya, petani sendiri sudah memahami perihal perkebunan berkelanjutan. Pasalnya sudah menjadi tuntutan pasar saat sekarang ini.
Namun memang butuh waktu, pasalnya sejauh ini petani mandiri masih banyak belum bergabung ke dalam wadah semacam kelompok petani. Alhasil, informasi dan pengetahuan perihal perkebunan berkelanjutan masih berjalan lambat.
Berdasarkan data sampai hari ini, luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia selama tujuh tahun terakhir cenderung menunjukkan peningkatan, naik sekitar 3,27 persen sampai dengan 1,33 persen per tahun.
Pada tahun 2009, lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia tercatat seluas 7,95 juta ha, meningkat menjadi 10,46 juta ha pada tahun 2013.
Pada tahun 2014, diperkirakan luas areal perkebunan sawit masih meningkat sebesar 4,69 persen tahun 2013 menjadi 10,96 juta ha dan tahun 2015 meningkat sebesar 4,46 persen menjadi 11,44 juta ha.
Indonesia masih memuncaki posisi teratas produsen CPO terbesar di dunia. Indonesia adalah produsen 40 juta ton lebih minyak sawit, sedangkan Malaysia 30 ton. Kedua negara ini menguasai 85 persen produksi sawit dunia.
Sayangnya, Indonesia masih kesusahan untuk memasarkan produk CPO. Isu lingkungan terus saja menghantam, padahal Indonesia telah memiliki ISPO yang semestinya mampu menepis tudingan-tudingan negatif produk CPO.
Lalu bagaimana dengan petani sawit? Sudah terlalu banyak lahan yang berubah menjadi perkebunan sawit, baik yang dibuka oleh korporasi multinasional maupun oleh petani secara mandiri.
Sebagian besar, pada awal booming commodities awal tahun 2000-an lalu, terlihat cukup besar imbasnya terhadap peningkatan kesejahteraan petani.
Namun seiring berjalannya waktu, harga minyak dunia makin melandai, harga komoditas pun terbawa jatuh, berbagai isu mulai mencongkaki geliat bisnis sawit ini.
Petani menjadi salah satu pihak yang terpukul. Harga rendah menjadi pemandangan yang biasa lantaran tak memiliki standar produksi (mulai dari penanaman, pemupukan, perawatan buah, sampai panen) yang diakui pihak pengolah.
Hari ini dunia sawit alih-alih membaik, justru kian tak pasti, terutama untuk kalangan petani. Dan belakangan ditambah pula dengan kebijakan yang diambil Uni Eropa tersebut.
Bagaimana pemerintah menyikapi tudingan bahwa CPO dan sawit Indonesia dianggap tidak ramah lingkungan?
Selain terus memperkenalkan RSPO dan ISPO, sebenarnya pada tahun 2016 lalu, pemerintah sudah menyiapkan moratorium untuk lahan kelapa sawit dan lahan tambang.
Menurut Presiden RI Joko Widodo kala itu, lahan kelapa sawit yang telah ada saat ini dinilai sudah cukup dan dapat ditingkatkan lagi kapasitas produksinya dengan memaksimalkan potensi yang ada.
Menurut dia, asalkan pemilihan bibitnya benar, serta dikerjakan dengan baik, maka produksi sawit diperkirakan bisa lebih dari dua kali lipat.
Keputusan pemerintah untuk memoratorium lahan kelapa sawit ketika itu diharapkan menjadi kesempatan untuk meningkatkan kapasitas produksi kebun kelapa sawit yang dimiliki masyarakat.
Data sementara menunjukkan bahwa tingkat produktivitas perkebunan rakyat masih sekitar 4 juta ton per tahun. Jumlah ini tentu masih bisa ditingkatkan sama dengan tingkat produktivitas perkebunan milik perusahaan swasta, yakni menjadi 6-8 juta ton per tahun.
Kebijakan tersebut memang selayaknya harus dicermati dan dievaluasi secara inkremental dan simultan karena masih banyak warga yang bergantung pada perkebunan kelapa sawit.