Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tolak Revisi PP 109/2012, Gappri Minta Pemerintah Jaga Iklim Usaha Industri Hasil Tembakau

Kompas.com - 13/02/2023, 17:05 WIB
Elsa Catriana,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menolak revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Rencana revisi tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 yang ditetapkan pada 23 Desember 2022.

Ketua Umum Gappri Henry Najoan mengatakan, PP 109/2012 yang saat ini berlaku sudah baik dan masih relevan untuk diterapkan, meskipun pelaksanaannya masih banyak kekurangan. Karena itu, menurut dia, pemerintah seharusnya mengutamakan dan memperkuat aspek sosialisasi, edukasi, serta penegakan implementasi.

Baca juga: BPS: Pengaruh Kenaikan Tarif Cukai ke Inflasi Rokok Bertahan Lama

Henry menjelaskan, dalam program penyusunan itu, terdapat 7 pengaturan yang bakal direvisi pada PP 109/2012 yakni penambahan luas prosentase gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada kemasan produk tembakau, ketentuan rokok elektronik, pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau di media teknologi informasi.

Selain itu, ada pelarangan penjualan rokok batangan, pengawasan iklan, promosi, sponsorship produk tembakau di media penyiaran, media dalam dan luar ruang, dan media teknologi informasi, penegakan dan penindakan, dan media teknologi informasi serta penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Henry Najoan mengatakan, isi draf perubahan PP 109/2012 cenderung berisi pelarangan. Hal itu justru semakin restriktif terhadap kelangsungan iklim usaha industri hasil tembakau (IHT) legal di Tanah Air.

“Kalau mengacu ketentuan perundang-undangan, seharusnya dititiktekankan pada pengendalian, tetapi draf yang kami terima justru banyak yang bentuknya pelarangan,” terang Henry Najoan dalam siaran persnya, Senin (13/2/2023).

Saat ini, menurut Henry Najoan, iklim usaha IHT legal tidak sedang baik-baik saja. Pasalnya, kenaikan tarif cukai dan harga rokok yang terjadi hampir setiap tahunnya justru banyak menyebabkan trade off, kenaikan tarif cukai dan harga rokok yang eksesif setiap tahunnya lebih banyak berdampak pada penurunan jumlah pabrikan rokok dan peningkatan peredaran rokok ilegal dibandingkan dengan penurunan jumlah prevalensi merokok secara umum.

Baca juga: Inflasi Januari 2023 Capai 5,28 Persen, Beras hingga Rokok Jadi Penyebabnya

Merujuk kajian Gappri, bahwa tekanan untuk terus menaikkan CHT secara eksesif disebabkan oleh pemahaman bahwa harga rokok di Indonesia dipersepsikan rendah/murah. Kampanye kesehatan yang dinilai secara berlebihan mendesak agar pengendalian prevalensi rokok dilakukan melalui kenaikan CHT yang eksesif dan penyederhanaan layer CHT.

“Padahal, berbagai studi menunjukkan bahwa keterjangkauan rokok di Indonesia termasuk yang paling tidak terjangkau. Artinya fungsi pengendalian konsumsi IHT legal melalui formulasi kebijakan CHT yang eksesif selama ini ternyata tidak efektif,” kata Henry Najoan. 

Henry Najoan juga mengatakan, kebijakan yang dibuat pemerintah semakin memberatkan iklim usaha IHT legal yang selama ini kontribusinya sangat besar.

"Seharusnya pemerintah membuat kebijakan yang melindungi kepastian usaha IHT legal di tanah air,” kata Henry.

Baca juga: Rencana Pemerintah Pungut Cukai Plastik dan Minuman Manis di 2023

Dalam konteks inilah, Gappri memberikan 2 rekomendasi bagi pemerintah demi menjaga kelangsungan usaha IHT legal yang berkeadilan di Tanah Air.

Pertama, menjalankan mandat UUD 1945 sebagaimana Pasal 33 Ayat (4), bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Kedua, harmonisasi regulasi demi kelangsungan IHT dan memberi arah yang jelas bagi seluruh stakeholders IHT legal. Terdapat lebih dari 446 regulasi yang diterbitkan oleh berbagai kementerian/lembaga baik di pusat dan daerah. Produk hukum tersebut isinya menekan sisi produksi dan sisi konsumsi produk rokok legal.

Baca juga: Ingat! Cukai Sudah Resmi Naik, Ini Daftar Harga Rokok Eceran 2023

Dari 446 regulasi itu, berdasarkan kajian Gappri, sebanyak 40 (89,68 persen) regulasi yang bicara terkait pembatasan tembakau dan produknya (tobacco control), 41 (9,19 persen) peraturan lokal yang mengatur soal cukai hasil tembakau, sementara 5 (1,12 persen) regulasi yang mengatur isu ekonomi/kesejahteraan.

"Jelas sekali terlihat bahwa hegemoni rezim kesehatan kuat memengaruhi kebijakan tata kelola industri hasil tembakau legal di Indonesia," ungkapnya.

Oleh karena itu, Gappri mendorong para pengambil kebijakan dalam membuat kebijakan tidak melahirkan kegaduhan di masyarakat.

"Kedepankan azas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan,” pungkas Henry Najoan.

Baca juga: Pengusaha Sebut Larangan Penjualan Rokok Eceran Bakal Mematikan Pedagang Kecil

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com