JAKARTA, KOMPAS.com - Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menolak revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Rencana revisi tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 yang ditetapkan pada 23 Desember 2022.
Ketua Umum Gappri Henry Najoan mengatakan, PP 109/2012 yang saat ini berlaku sudah baik dan masih relevan untuk diterapkan, meskipun pelaksanaannya masih banyak kekurangan. Karena itu, menurut dia, pemerintah seharusnya mengutamakan dan memperkuat aspek sosialisasi, edukasi, serta penegakan implementasi.
Baca juga: BPS: Pengaruh Kenaikan Tarif Cukai ke Inflasi Rokok Bertahan Lama
Henry menjelaskan, dalam program penyusunan itu, terdapat 7 pengaturan yang bakal direvisi pada PP 109/2012 yakni penambahan luas prosentase gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada kemasan produk tembakau, ketentuan rokok elektronik, pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau di media teknologi informasi.
Selain itu, ada pelarangan penjualan rokok batangan, pengawasan iklan, promosi, sponsorship produk tembakau di media penyiaran, media dalam dan luar ruang, dan media teknologi informasi, penegakan dan penindakan, dan media teknologi informasi serta penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Henry Najoan mengatakan, isi draf perubahan PP 109/2012 cenderung berisi pelarangan. Hal itu justru semakin restriktif terhadap kelangsungan iklim usaha industri hasil tembakau (IHT) legal di Tanah Air.
“Kalau mengacu ketentuan perundang-undangan, seharusnya dititiktekankan pada pengendalian, tetapi draf yang kami terima justru banyak yang bentuknya pelarangan,” terang Henry Najoan dalam siaran persnya, Senin (13/2/2023).
Saat ini, menurut Henry Najoan, iklim usaha IHT legal tidak sedang baik-baik saja. Pasalnya, kenaikan tarif cukai dan harga rokok yang terjadi hampir setiap tahunnya justru banyak menyebabkan trade off, kenaikan tarif cukai dan harga rokok yang eksesif setiap tahunnya lebih banyak berdampak pada penurunan jumlah pabrikan rokok dan peningkatan peredaran rokok ilegal dibandingkan dengan penurunan jumlah prevalensi merokok secara umum.
Baca juga: Inflasi Januari 2023 Capai 5,28 Persen, Beras hingga Rokok Jadi Penyebabnya
Merujuk kajian Gappri, bahwa tekanan untuk terus menaikkan CHT secara eksesif disebabkan oleh pemahaman bahwa harga rokok di Indonesia dipersepsikan rendah/murah. Kampanye kesehatan yang dinilai secara berlebihan mendesak agar pengendalian prevalensi rokok dilakukan melalui kenaikan CHT yang eksesif dan penyederhanaan layer CHT.
“Padahal, berbagai studi menunjukkan bahwa keterjangkauan rokok di Indonesia termasuk yang paling tidak terjangkau. Artinya fungsi pengendalian konsumsi IHT legal melalui formulasi kebijakan CHT yang eksesif selama ini ternyata tidak efektif,” kata Henry Najoan.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.