Oleh: Frangky Selamat*
WALAU pandemi belum dinyatakan resmi berakhir, kehidupan telah kembali normal seperti sedia kala. Roda bisnis kembali berputar.
Yang belum sepenuhnya pulih menggapai asa untuk bangkit. Yang sempat berhenti atau tutup mencoba memulai lagi dengan semangat baru.
Di balik bisnis yang bertahan mengarungi badai krisis, terungkap sejumlah fakta yang mungkin bisa mengurai pertanyaan mengenai perilaku selama dua tahun terakhir.
Sebutlah Budi, bukan nama sebenarnya, yang tetap berdagang makanan di pasar dalam dua tahun pandemi meski keuntungan merosot dibandingkan kondisi normal.
Baginya tidak ada pilihan lain yang lebih baik untuk menyambung hidup selain berdagang.
Dalam kondisi sulit dia telah menghitung risiko yang siap ditanggung, yaitu kerugian jika barang dagangannya tidak laku. Bahkan hingga jumlah detail kerugian yang masih sanggup ia tanggung.
Jika dirasa telah jauh melampaui kemampuan menanggung rugi, Budi mungkin sudah “melempar handuk”.
“Tapi pilihan lain apa?” tanyanya pada diri sendiri sambil menggelengkan kepala.
Maka setiap hari Budi berjuang keras agar kerugian itu tidak terjadi atau seminimal mungkin. Atau jika tak terhindarkan lagi, Budi telah siap cara moril dan materil.
Sekarang dengan kondisi pandemi yang telah berangsur membaik dan pemulihan ekonomi yang terjadi, usaha Budi dan juga usaha-usaha kecil menengah lainnya, terus berjalan. “Hantu” kerugian tidak lagi menjadi momok menakutkan.
Selalu ada risiko yang harus dihadapi, tetapi dengan tingkat ketidakpastian yang lebih rendah.
Perilaku Budi atau pemilik usaha lain yang siap atau rela menanggung kerugian dikenal sebagai affordable loss.
Perilaku ini didefinisikan sebagai apa yang mampu oleh pengusaha dan apa yang bersedia mereka hilangkan (loss) dalam investasi kewirausahaan (Dew dkk, 2009).
Pengusaha yang menerapkan pendekatan affordable loss memperhatikan kerugian dari investasi daripada memprediksi keuntungan finansial di masa depan.